"Tarian di Atas Bara"
(Kisah Nyata Seorang Istri Bertahan dalam Keabsurdan)
Aku seorang wanita lembut dan penuh kasih, menikah dengan Andi, seorang pria yang awalnya sangat kusayangi. Namun, setelah pernikahan, Andi berubah menjadi sosok yang kejam dan manipulatif, menampakkan sisi gelapnya yang selama ini tersembunyi.
Aku terjebak dalam pernikahan yang penuh dengan penyiksaan fisik, emosional, dan bahkan seksual. Andi dengan seenaknya merendahkan, mengontrol, dan menyakitiku, bahkan di depan anak-anak kami. Setiap hari, Aku harus berjuang untuk sekedar bertahan hidup dan melindungi anak-anakku.
Meski hampir putus asa, Aku terus berusaha untuk mengembalikan Andi menjadi sosok yang dulu kucintai. Namun, upayaku selalu sia-sia dan justru memperparah penderitaanku. Aku mulai mempertanyakan apakah pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik, atau harus selamanya terjebak dalam keabsurdan rumah tanggaku?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bintang Ju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Bubur Campur Pasir
Pagi itu, aku menyiapkan bubur untuk sarapan putraku yang belum berusia 2 tahun. Namun, saat si kecil Tri sedang berjalan menenteng piring berisi bubur, tiba-tiba ia tergelincir yang mengakibatkan bubur itu jatuh dari tanganku dan tumpah berceceran di lantai.
"Ya ampun, Tri. Hati-hati kalau melangkah nak, buburnya jatuh sayang," ucapku panik seraya membersihkan tumpahan bubur tersebut.
Tapi belum sempat aku menyelesaikannya, Andi tiba-tiba masuk ke dapur dengan wajah m4rah.
"Apa yang terjadi?! Kenapa berantakan sekali?!" bentaknya.
Aku tersentak kaget dan segera berdiri, mencoba menenangkannya.
"Maafkan aku, Andi. Tri tidak sengaja menjatuhkannya saat hendak melangkah," jelasku gemetar.
Namun, bukannya memaklumi, Andi malah berjalan menghampiri putraku yang sedang duduk di kursi makan.
"Betul-betul Kau ya!" tunjuknya pada Tri.
"Lihatlah hasil ulahmu. Bubur ini jadi berserakan semua. Dasar anak tidak berguna!"
Tri yang masih kecil itu hanya memandang ayahnya dengan tatapan polos, dia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi.
Andi lalu mengambil bubur yang sudah berserakan di lantai dan sudah bercampur dengan pasir lalu memasukkannya ke dalam mulut Tri anak kami.
"Nah, sekarang kau harus makan bubur ini! Itu hukum4nmu yang sudah membuang-buang makanan ini!" perintahnya.
Tri menangis ketakutan, berusaha menolak bubur itu. Tapi Andi tetap mem4ksanya untuk makan, seolah tidak peduli dengan tang1san putranya.
Aku yang menyaksikan semua itu menjadi emosi namun tidak bisa berbuat apa-apa. Hatiku hancur melihat putraku diperlakukan dengan begitu kejam. Air mataku pun tak kuasa kubendung.
"Hentikan, Andi! Jangan sakiti anak kita!" seruku sambil terisak.
“Kau sangat keterlaluan Andi. Dia anakmu, dia masih kecil dan belum tahu apa-apa”.
Tapi Andi seakan tuli. Ia terus memaksa Tri untuk menghabiskan bubur yang sudah tercampur dengan pasir itu.
“Diam kau. Kalau perlu dengan kau yang makan bubur campur pasir ini. Ini semua gara-gara kau yang tidak bisa menjadi ibu yang baik. Jaga anak saja tidak becus”. Bentak Andi.
Pemandangan itu sangat menyakitkan bagiku. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa untuk melindungi putraku dari keker4san Andi.
***
Melihat Andi yang terus memaksa Adi memakan bubur bercampur pasir itu, hatiku serasa teriris. Aku tidak bisa membiarkan putraku diperlakukan dengan begitu kej4m.
Dengan segera, aku berdiri dan berusaha menghalangi Andi.
"Hentikan, Andi! Jangan sakiti Tri lagi!" teriakku.
Namun, Andi justru membentak balik.
"Diam kau!”
“Ini urusanku dengan anak ini! Jadi jangan ikut campur!" bentaknya murka.
Aku tersentak kaget mendengar bentakannya yang begitu keras. Tapi aku tetap bersikeras untuk melindungi Anakku.
"Tapi dia anakmu juga, Andi! Tidakkah kau kasian sama dia. Kau tidak bisa memperlakukannya seperti ini!" ucapku lagi dengan suara bergetar.
Bukannya mendengarkan, Andi malah mendorong tubuhku dengan k4sar, membuatku terhuyung ke belakang.
"Sudah kubilang, diam! Kau tidak berhak mengaturku!" teriaknya lagi.
Aku langsung terduduk di lantai, masih berusaha menghalangi Andi. Tapi Andi terus memaks4 Tri untuk menghabiskan bubur yang sudah tercampur pasir itu.
Sementara Tri terus menang1s ket4kutan, berusaha menolak, tapi Andi tetap tidak peduli. Hatiku remuk menyaksikan pemandangan itu. Aku ingin melindungi putraku, tapi aku sendiri tidak berdaya menghadapi kemar4han Andi.
Air mataku pun kembali mengalir deras. Aku merasa begitu tak berdaya, tak mampu melakukan apa-apa untuk menghentikan perlakuan suamiku terhadap anak kandungnya sendiri.
***
Kejadian di dapur itu membuat suasana di rumah menjadi semakin teg4ng. Ada rasa bersalah di dalam hatiku karena tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolong anakku. Sementara Andi juga masih marah dan tidak mau mendengarkan penjelasanku. Sedangkan Tri masih ketakutan dan menangis setelah dipaks4 memakan bubur bercampur pasir.
Aku berusaha menenangkan Tri dan membersihkannya. Setelah itu, kami bertiga makan malam dalam diam. Andi tidak berbicara sama sekali kepadaku.
Saat aku sedang menyuap makananku, Andi tiba-tiba berdiri dan memuku1 kepalaku dengan keras.
"Argh!" Aku menjerit kesakitan. Pukulan itu membuatku hampir terjatuh dari kursi.
"Apa yang kau lakukan?!" teriakku dengan mata berkaca-kaca.
Tapi Andi hanya menatapku dengan tatapan penuh kem4rahan.
"Diam kau! Ini semua gara-gara kau!" bentaknya.
“Apalagi Andi? Apa salahku?”
“Kau dan anakmu itu selalu saja membuatku kesal. Dasar tak berguna”
“Hanya jadi beban hidupku saja, cih” Kata Andi sambil meludah ke samping.
“Apa maksudmu Andi? Apa sebenarnya yang terjadi?”
“Kau selalu saja mar4h dengan tiba-tiba, tanpa ada sebab. Lalu selalu aku dan anak kita yang menjadi k0rban”.
“Aku mau kau urus cerai dariku. Aku tidak mau kalian menjadi beban hidupku” Kata Andi penuh amarah.
Hatiku semakin terasa tercabik-cabik. Belum saja dia jelaskan sebabnya memukul1ku, sekarang minta aku mengurus perceraian kami. Air mataku menetes tak terbendung.
Anakku Tri yang melihat kejadian itu pun langsung men4ngis histeris. Dalam tangisku, Aku berusaha menenangkannya, tapi karena rasa sakit di kepalaku membuat sulit berkonsentrasi.
"Kenapa kau perlakukan kami seperti ini Andi? Memukul, terus minta cerai. Apa salahku?" tanyaku dengan suara bergetar.
"Salahmu? Salahmu adalah kau tidak bisa mengurus rumah tangga dengan benar! Lihat, kau bahkan menumpahkan bubur tadi pagi!" sembur Andi.
Aku tercekat. Jadi, hanya gara-gara insiden bubur itu, Andi menyerangku secara tiba-tiba tanpa sebab yang jelas?
“Ya Allah Andi. Bukannya itu sudah kejadian tadi pagi, kok masih dibawa-bawa sampai sekarang?”
“Iya betul tadi pagi. Tapi aku belum puas karena kalian belum merasakan yang lebih s4kit”
Air mataku semakin deras mengalir. Aku tidak mengerti mengapa Andi bisa menjadi semarah itu hanya karena hal sepele. Hatiku sakit melihat betapa berubahnya sikap Andi terhadapku dan anakku Tri.
Aku hanya bisa menangis dalam diam, sementara Andi pergi meninggalkanku dan Tri yang masih histeris. Aku benar-benar merasa sangat sedih dan tersiks4 berada di tengah-tengah rumah tangga yang dipenuhi dengan kekerasan dan nestapa.
“Sabar nak. Kamu belum mengerti semua yang terjadi tapi kamu sudah merasakan kepedihanku selama ini”
***
Keesokan harinya, aku masih merasakan s4kit di kepalaku akibat dipukul Andi semalam. Tapi aku berusaha tabah dan tetap melakukan aktivitas rumah tangga seperti biasa.
Saat aku sedang membereskan kamar, tiba-tiba ibu mertua datang dengan wajah marah.
"Apa yang kau lakukan? Kenapa rumah anakku berantakan seperti ini?" bentaknya.
Aku terkejut mendengar nada suaranya yang begitu kas4r.
"Maaf, Bu. Saya sementara membersihkan kamar, sebentar lagi aku bersihkan di bagian yang lain" jawabku takut-takut.
Tapi bukannya mengerti, ibu mertua malah mendorong tubuhku dengan kuat.
"Kau ini istri tidak becus ya! Apa saja yang kau lakukan seharian?" semburnya lagi.
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Andi datang dan ikut memarahiku.
"Apa yang kau lakukan pada ibuku? Kau ini benar-benar tidak berguna!" bentaknya sambil men4rik rambutku.
Aku meringis kesakitan. Aku benar-benar tidak mengerti apa kesalahan yang telah aku perbuat.
"Tapi... aku tidak buat apa-apap. Aku hanya membersihkan kamar kita," ucapku terbata-bata.
Bukannya mendengarkan, Andi malah mend0rong tubuhku ke lantai dengan k4sar.
"Diam kau! Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan selama ini?" teriaknya.
Aku menangis terisak-isak melihat Andi dan ibu mertua memperlakukanku dengan begitu kej4m. Aku benar-benar tidak mengerti apa kesalahan yang telah aku perbuat.
Andi lalu m3mukul kepalaku dengan ker4s, membuat pandanganku berkunang-kunang. Ibu mertua pun ikut men3ndang-n3ndang tubuhku.
“Dasar, perempuan miskin, tidak beradab. Memang dari nenek moyangmu miskin sampai anak keturunannya juga miskin”. Kata ibu mertua dengan penuh kebencian.
Aku tidak bisa melawan, aku hanya bisa men4ngis dan memohon ampun.
“Maafkan aku bu. Tolong lepaskan aku”
“Ya Allah kenapa mereka tega memperlakukanku seperti ini? Apakah aku benar-benar seburuk itu di mata mereka?” Kataku dalam hati.
Aku terus meringkuk, berharap siksaan ini segera berakhir. Tapi tampaknya Andi dan ibu mertua belum puas menyiks4ku. Air mataku terus mengalir deras, bercampur dengan darah yang mengalir dari luka-luka di tubuhku.
“Kau ini, kalau sudah salah kerjanya hanya bisa minta maaf, menangis. Tangisanmu itu tidak akan menyelesaikan masalah. Itu hanya air mata buaya supaya kami bisa simpatik dan kasian sama kamu. Dasar perempuan tak berguna”. Kata Andi
Salah seorang tetangga yang mendengar suara ribut dan tangisanku, langsung berteriak dari luar
“Bunuh saja perempuan itu, dia tidak punya saudara dan keluarga disini. Kalau dia cepat mati, kalian tidak akan dapat tempat melampiaskan em0si kalian” Teriaknya dari luar rumah.
Mendengar teriakan itu, Andi dan ibu mertua pun berhenti dan diam. Entah mereka takut ketahuan telah meny1ksaku atau karena sadar dari perlakuan kasar mereka kepadaku. Tapi kata-kata tetangga tadi betul-betul menghentikan perlakuan kas4rnya kepadaku secara spontan.
“Rupanya ada yang tahu tindakan kita ini bu” kata Andi panik.
“Sssst, tenanglah Andi, mungkin dia hanya menebak-nebak begitu saja” Jawab Ibu mertua yang juga terlihat panik.
“Berdiri kau dan segera bersihkan badanmu, rapikan rambutmu. Dan teruslah bersihkan seluruh rumah ini”. Kata Andi dengan nada rendah tapi penuh ketegasan.
“Aku pulang dulu ya nak” pamit ibu mertua yang langsung keluar dan pergi berlalu meninggalkan rumah kami.
Aku pun langsung ke dapur untuk melakukan suruhan Andi tadi dan kembali membeersihkan rumah. Aku harus bertingkah seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Aku melanjutkan pekerjaan membersihkan rumah dengan diam tanpa berkata-kata meski hatiku menangis terluka.
“Mengapa mereka perlakukan seperti ini?. Tidak bisaka aku rasakan ketenangan dan kedamaian walau sejenak?”.