Tarian Di Atas Bara
Pesta itu ramai dan penuh orang-orang yang saling berbincang. Aku berdiri di sudut ruangan, merasa sedikit canggung sebagai satu-satunya remaja di sana. Baru saja lulus SMK, aku masih belum terbiasa dengan suasana pesta yang lebih didominasi oleh orang dewasa.
Tiba-tiba, pandanganku bertemu dengan sepasang mata yang tengah menatapku intens. Seorang pria dewasa yang terlihat elegan dan matang berdiri di sana, seolah terpaku melihatku. Ada sesuatu dalam caranya menatapku yang membuat jantungku berdegup kencang.
Perlahan, pria itu melangkah menghampiriku. Senyum hangat terkembang di wajahnya yang tampan. "Hai, aku belum pernah melihatmu di sini sebelumnya," sapanya ramah.
"I-iya, saya baru lulus SMK," jawabku dengan suara agak bergetar. Rasa malu bercampur dengan rasa berdebar yang aneh.
"Ah, pantas saja wajahmu terlihat begitu cantik dan bersinar," pujinya tulus. "Perkenalkan, namaku Andi."
"Saya Tari," balasku pelan, berusaha menahan senyum.
Entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang istimewa dalam pertemuan ini. Tatapan Andi seolah menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar perkenalan biasa. Mungkinkah dia juga merasakan hal yang sama denganku?
Beberapa minggu setelah pertemuan pertama kami di pesta, Andi semakin sering menemuiku. Ia selalu mencari alasan untuk datang ke rumahku, mengajakku jalan-jalan, atau hanya sekadar mengobrol. Aku mulai merasakan ada perasaan yang tumbuh di antara kami.
Suatu hari, Andi mengajakku makan malam di sebuah restoran. Dengan perasaan berdebar, aku menerima ajakannya. Ketika kami sedang menikmati makan malam, Andi tiba-tiba menggenggam tanganku erat.
"Tari, aku ingin kau menjadi kekasihku," ungkapnya tulus. "Selama ini aku sudah memutuskan hubunganku dengan pacarku. karena dia itu jel3k, pendek, hitam, m1skin pula. Aku hanya ingin bersamamu."
Mendengar pengakuannya, hatiku terasa melayang. Tanpa ragu, aku menerima cintanya. Kami pun resmi berpacaran, membagi kebahagiaan bersama.
Namun, beberapa hari kemudian, Andi datang dengan raut wajah yang berbeda. Ia terlihat gelisah dan gusar.
"Tari, aku harus jujur padamu," ucapnya dengan nada bersalah. "Aku sebenarnya belum memutuskan hubunganku dengan pacarku. Orang tuaku yang tidak mengijinkan aku menikah dengannya karena ada sesuatu yang mereka sembunyikan."
Mendengar pengakuannya, hatiku serasa hancur. Aku dibohongi selama ini. Air mata mengalir deras membasahi pipiku. Betapa sakitnya aku mengetahui bahwa cinta Andi tidaklah tulus.
Pertemuan pertamaku dengan Andi terjadi hanya satu bulan yang lalu di pesta tetangga. Saat itu, kami baru saja berkenalan dan mulai merasakan adanya ketertarikan satu sama lain. Namun, siapa sangka, hanya dalam waktu sesingkat itu, Andi tiba-tiba memintaku untuk menjAdi istrinya.
Hari itu, Andi datang ke rumahku dengan wajah berseri-seri. Ia langsung memegang tanganku erat dan menatapku dalam-dalam.
"Tari, maukah kau menikah denganku?" tanyanya tiba-tiba, tanpa basa-basi.
Aku terkejut bukan main. Bagaimana mungkin ia memintaku menikah, padahal kami baru saja mengenal satu sama lain? Kami belum saling mengenal kepribadian masing-masing, belum saling memahami keinginan dan harapan masa depan. Kami bahkan belum pernah berkencan layaknya sepasang kekasih.
"Ta-tapi Kak Andi, bukankah ini terlalu cepat?" protesku dengan panik. "Kita bahkan belum lama saling mengenal."
Andi tersenyum lembut. "Aku tahu, Tari. Tapi aku yakin, kau adalah wanita yang tepat untukku. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihatmu. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu."
Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Pernyataan cinta Andi membuatku bingung sekaligus terharu. Namun, di sisi lain, aku merasa ini terlalu terburu-buru. Akankah keputusan ini membawa kebahagiaan atau justru malapetaka bagi kami?
Setelah Andi melamarku dengan tergesa-gesa, aku langsung menceritakan hal ini kepada keluargaku. Ayah dan ibu tentu saja terkejut dengan lamaran Andi yang begitu cepat. Mereka khawatir jika kami terburu-buru dalam memutuskan untuk menikah.
"Dina, kamu baru mengenalnya satu bulan. Bukankah ini terlalu cepat?" tanya ibu dengan nada cemas.
"Kami takut jika kalian tidak saling mengenal dengan baik dan nantinya malah akan menyesal," tambah ayah.
Aku mencoba menjelaskan bahwa Andi sangat tulus dan sungguh-sungguh mencintaiku. Namun, ayah dan ibu tetap pada pendiriannya. Mereka menolak lamaran Andi dan memintaku untuk menunda pernikahan hingga kami saling mengenal lebih dalam.
Ketika Andi datang kembali ke rumah, ayah dan ibu dengan tegas menyampaikan penolakan mereka. Andi terlihat kecewa, namun ia tidak menyerah begitu saja.
"Paman, Bibi, saya sungguh-sungguh mencintai Dina. Saya yakin dia adalah jodoh saya," ujarnya penuh keyakinan. "Saya mohon, restuilah pernikahan kami."
Ayah dan ibu tetap bersikukuh pada pendiriannya. Mereka khawatir jika kami terlalu terburu-buru dan nantinya akan menyesal. Andi terus memohon, namun tetap tidak mendapatkan restu.
Melihat keteguhan Andi, aku mulai tergerak. Namun, di sisi lain, aku juga tidak ingin mengecewakan keluargaku. Aku berada dalam dilema yang sulit.
Meskipun mendapat penolakan dari keluargaku, Andi tetap bersikeras untuk menikahiku. Ia datang berkali-kali ke rumah, berusaha meyakinkan ayah dan ibu agar merestui hubungan kami.
Awalnya, aku merasa bimbang. Aku tidak ingin mengecewakan keluargaku, tapi di sisi lain, aku juga tidak bisa menolak cinta tulus Andi. Setelah pertimbangan panjang, akhirnya aku memutuskan untuk menikah dengan Andi, tanpa restu orang tuaku.
Hari pernikahan pun tiba. Ayah dan ibu datang, namun mereka hanya duduk diam dengan wajah sedih. Mereka tidak memberkati pernikahan kami dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Andi menyadari hal ini, namun ia tetap tersenyum bahagia. Ia memelukku erat dan berbisik, "Tidak apa-apa, Tari. Selama kita saling mencintai, itu sudah cukup bagiku."
Upacara pernikahan pun berlangsung dengan khidmat, meskipun tanpa doa restu dari keluargaku. Aku berusaha tersenyum, namun di dalam hati, aku merasa bersalah telah membuat orang tuaku kecewa.
Seusai acara, ayah dan ibu langsung pulang tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku ingin mengejar mereka, tapi Andi menahan tanganku dan berkata, "Biarkan mereka, Tari. Suatu hari nanti, mereka pasti akan menerima kita."
Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Hatiku campur aduk antara bahagia dan sedih. Aku berharap, suatu hari nanti, keluargaku dapat menerima pernikahan kami.
Saat pesta pernikahan kami sedang berlangsung, tiba-tiba langit yang semula cerah berubah menjadi gelap pekat. Awan-awan tebal berkumpul, disusul dengan suara gemuruh petir yang menggelegar.
Aku dan Andi saling berpandangan, merasa khawatir. Apakah ini pertanda buruk bagi pernikahan kami yang tidak mendapat restu dari keluargaku?
Tamu-tamu undangan mulai berbisik-bisik dan terlihat cemas. Beberapa wanita bahkan ada yang menangis ketakutan.
Ayah dan ibu, yang duduk di barisan depan, hanya diam dengan wajah tertunduk. Mereka seolah-olah sudah menduga akan terjadi sesuatu yang tidak baik.
Tiba-tiba, angin kencang bertiup dengan kencang, membuat dekorasi dan tenda di pesta pernikahan kami berantakan. Beberapa orang panik dan berteriak.
Andi mendekapku erat, berusaha menenangkanku. "Tenanglah, Tari. Semua akan baik-baik saja," ujarnya, meski tersirat kekhawatiran di wajahnya.
Hujan deras pun turun dengan derasnya, disertai kilatan petir yang menyambar-nyambar. Kami semua terpaksa berlari mencari perlindungan.
Suasana pesta yang tadinya penuh kegembiraan, kini berubah menjadi mencekam. Aku tak kuasa menahan air mata, takut jika semua ini adalah pertanda buruk bagi pernikahan kami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments