Anna, seorang wanita yang berjuang dari penderitaannya karena mendapatkan suami pemalas dan juga mertua yang membencinya serta istri dari ipar-iparnya yang selalu menghasut sang mertua untuk menciptakan kebencian padanya. siapakah Ana sebenarnya, bagaimana kisah masa lalunya, sehingga membuat ibu mertuanya begitu membencinya dan siapa dalang dari semua kebencian tersebut?
Bagaimana kelanjutannya, ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode-14
Aku berjalan menuju lemari es. Ku letakkan kembali kaleng susu kental sisa untuk Alif barusan agar awet. Lalu aku menuju masakan yang sudah selesai dimasak untuk ditata diatas bak mobil pick up dan nantinya akan diantar ke kantin oleh bang Johan.
Setelah itu aku kembali masuk untuk membersihkan dapur yang masih berserakan.
Ku lihat Wita kembali menghampiriku dengan wajah yang masam. Sepertinya ia merasa sangat iri karena Fina mendapatkan uang kontan 30 juta, sedangkan ia hanya 10 juta saja, namun ia tidak berfikir jika 20 juta sudah melayang begitu saja karena untuk menyuap petugas agar berkas suaminya tidak dinaikkan.
"Kak Ann, aku jijik kali liat si Fina itu. Padahal dia udah dibeliin sofa baru, ini minta duit lagi sama ibu! Dasar serakah!" omelnya dengan kesal. Ia sepertinya belum puas meluapkan segala rasa iri hatinya.
Aku menarik nafasku yang terasa sesak. Ada gumpalan rasa sakit yang tak dapat ku ungkapan, bagiku mereka sama saja, sama-sama serakah dan tamak.
"Kalau mau protes jangan sama kakak, protes saja sama ibu, dia yang punya uang," jawabku dengan ketus.
Melihatku tak menanggapi ucapannya, ia mencebikkan bibirnya ke sudut atas kiri, lalu meninggalkanku dan mungkin ia akan ke kantin untuk mencuri hati ibu mertua ataupun mencuri apa yang bisa ia curi.
Tak berselang lama, ku lihat bang Johan sudah pulang ke rumah. Entah sejak kapan ia tiba, akupun tak begitu perduli, entah rumah tangga seperti apa.yang kami jalani.
Breeeeemmm....
Terdengar suara mesin motor berhenti dihalaman rumah. Ku dengar derap langkah kaki yang begitu terburu-buru memasuki rumah. Aku tau, itu ayah mertuaku.
"Johan! Johan!" teriak ayah mertua memanggil suamiku.
Bang Johan yang baru saja tiba dengan matanya yang cerah, ku pastikan ia.malam tadi memakai barang haram tersebut, sehingga membuatnya tidak merasa kantuk.
Namun aku sudah sangat malas ribut, dan ini sangat membuat beban fikiranku bertambah, maka lebih baik aku hanya diam saja.
Bang Johan meletakkan teh hangat yang baru saja akan diminumnya saat mendengar sang ayah meneriakinya.
"Ada apa, Yah!" tanyanya dengan nada sedikit tinggi. Ia tidak suka jika seseorang meneriakinya, kecuali aku, maka ia akan diam saja tanpa menjawab apapun.
"Kenapa kau ambil sawit ayah, hah! Bukankah bagian untuk kalian sudah ada sendiri, punya ayah jangan kalian sentuh!" hardiknya. pria tua itu sudah membiarkan setengah hektar kebunnya untuk diambil keempat anak lelakinya secara bergiliran, namun jangan coba sentuh yang menjadi miliknya, karena itu tandanya ngajak ribut dengannya.
Ku lihat Bang Johan menggenggam erat gelas diatas meja, lalu.
praaaaaaannnk...
Ia menghempaskannya ke dinding, dan tentu saja menimbulkan suara dentingan yang sangat kuat dan benda kaca itu hancur berderai menjadi serpihan yang tak mungkin lagi dapat untuk disatukan.
"Aku, aku, aku terus!" sergahnya dengan nada yang begitu tinggi. Tak pernah ku lihat ia semarah itu, meskipun kami sering bertengkar, dan aku meninggikan suaraku, ia hanya diam saja tanpa jawaban apapun. Namun, kali ini amarahnya seolah meledak. Aku tersentak kaget mendengarnya, begitu juga dengan ayah mertuaku yang sama kagetnya denganku.
Hal tersebut membuat ibu mertuaku yang baru saja selesai berdandan terburu-buru keluar dari kamar dan.melihat apa yang terjadi.
"Ada apa ini?" tanyanya dengan rasa penasaran.
"Siapa yang mencuri sawitku!" tanya Ayah mertuaku dengan.sengit.
"Johan, bukankah kamu kemarin yang ke kebun ibu, seharusnya kamu tau siapa yang mencuri sawit ayahmu!" ucap Rumi sang ibu yang membuat amarah bang Johan semakin meledak.
"Aku ini siapa?! Aku anak siapa! Mengapa kalian memperlakukanku berbeda!" tiba-tiba bang Johan mengeluarkan pertanyaan yang tidak ku duga sama sekali.
Seketika semuanya terdiam, suasana hening. Ku lihat ibu mertua berjalan menghampiri bang Johan yang masih dalam kondisi penuh amarah.
"Siapa bilang kamu bukan anakku, kamu anakku, Nak. Lahir dari rahim ibuk," ucap Rumi dengan wajah sendu dan mencoba mendekap pria yang ia akui sebagai puteranya.
Bang Johan menarik nafasnya berat. Lalu ia beranjak pergi sebelum Rui sempat untuk mendekap tubuhnya.
"Aku benci, kalian!!" ucapnya dengan kasar, lalu pergi meninggalkan rumah.
Aku terdiam terpaku, dan tak dapat mengatakan apapun. Seketika ibu mertuaku menatapku dengan tajam, lalu ia berjalan menghampiriku.
"Ini semua karenamu! Aku membencimu! Aku tidak pernah merestui pernikahan anakku denganmu, dasar janda jalang!!" ucapnya padaku dengan kalimat yang begitu menyakitkan sembari jemari telunjuknya ia arahkan ke wajahku.
"Kau tidak pantas untuk anakku! Strata kita berbeda!" ucapnya lagi tanpa perasaan.
Duuuuuaaaar....!!
Bagaikan petir yang menyambar telingaku. Akhirnya ia mengucapkan kalimat tersebut. Sakit rasanya hatiku mendapatkan penghinaan seperti itu.
Ku letakkan piring kotor yang akan ku cuci. Ku cari Alif ke ruang keluarga, lalu ke gendong tubuhnya, dan ku bawa keluar dari rumah.
Kemana, kemana aku harus mengadu? Diperantauan seorang diri. Aku merasa rapuh.
Ku langkahkan kakiku menyusuri jalanan dengan air mata yang mengalir deras disudut mataku, hingga membuatnya sembab.
Alif tidak mengerti apa yang terjadi. Ia hanya memandangiku dengan bingung. Aku berhenti disebatang pohon yang rindang. Ku raih benda pipih disaku celana lee ku, ku cari nama seseorang dikontak ponsel. Satu nama 'Mami Uji'.
Aku sangat putus asa. Ku pandang nama kontak tersebut, namun tiba-tiba ku urungkan, lalu menutup layar ponsel tersebut, dan kutarik nafasku yang terasa berat. "Mbak Lisa," satu nama yang kini ku ingat dibenakku.
Ku langkahkan kaki menyusuri jalanan dibawah teriknya mentari dan rumah itu akan menjadi tujuanku saat ini.
Dari kejauhan ku lihat pintu rumahnya tertutup, tetapi aku mendengar suara televisi begitu sangat kuat. Aku yakin ia ada dirumah.
Kembali air mataku mengalir tanpa dapat ku cegah. Tiba-tiba puteraku menyekanya, dan itu membuatku sedikit bahagia.
Langkahku semakin dekat dengan rumah Mbak Lisa. Ku ketuk pintu, tak ada sahutan. Lalu ku coba yang kedua kalinya, dan terdengar suara langkah kaki menuju ke.pintu depan.
Kreeeeekk...
Suara pintu depan terbuka. Kulihat wanita berhijab itu berdiri diambang pintu. "Anna," ucapnya kaget. "Ya ampun, ayo masuk," ajaknya dengan cepat. Sepertinya ia mengetahui jika aku sedang bersedih, tentu saja, sebab mataku sangat sembab.
Aku menganggukkan kepalaku dengan cepat, tak lupa aku menenteng sendal jepitku masuk ke rumah, agar bang Johan tak mencariku.
"Maaf, rumah mbak masih berantakan," ucapnya padaku merasa sungkan, sebab ia belum sempat membersihkan rumah.
"Tak mengapa, Mbak. Aku yang salah bertamu sangat pagi," ucapku dengan lirih, namun tiba-tiba aku tersedu. Rasa sakit akan ucapan ibu mertuaku masih terdengar jelas diingatanku.