Tuhan, Apa Salahku?

Tuhan, Apa Salahku?

Awal

Praaaang....

Sebuah piring dihempaskan dilantai dan ini sudah menjadi kebiasaan buat sang ibu mertua jika ada yang membuatnya merasa kesal.

Aku tersentak kaget dan meninggalkan beras yang masih ku cuci diwash taple begitu saja. Aku bergegas menghampiri sang ibu mertua yang memandangku dengan begitu bengis.

"Lamban sekali kamu, hanya mencuci beras begitu saja! Ini sudah siang, semua harus siap sebelum pukul 7 pagi," omelan ibu mertua mendenging ditelingaku yang terdengar sangat menyakitkan.

Kulirik pembayanku, alias istri dari adik iparku sedang sibuk mencuci sayuran untuk dimasak, ia seolah tak melihat apa yang terjadi. Namun ku berusaha untuk bersabar. Ya, beginilah hidup seatap dengan mertua.

Suamiku Johan masih tertidur pulas dipembaringannya, dan ia seolah tutup mata atas apa yang terjadi setiap pagi.

Berulangkali aku mengajaknya untuk mencari rumah kontrakan, namun ia tak mendengarkanku, dan ini saru kelemahanku, aku sebatang kara diperantauan karena ikut dengan keluarga suamiku.

Aku menarik nafasku dengan berat, memunguti semua pecahan piring yang berserakan. Aku tak mengerti mengapa akhir-akhir ini ibu mertuaku sering marah-marah tidak jelas padaku, semua itu bermula sejak kehadiran menantunya yang paling bungsu ke rumah ini dan ikut tinggal seatap juga denganku.

Setelah selesai memunguti semua pecahan kaca tersebut, aku kembali menanak nasi. Semua ini kami kerjakan sejak pukul 4 subuh dan dipukul 5 subuh, aku harus berjibaku ke pasar untuk berbelanja dan ini sangat melelahkan, namun aku sadar, jika aku menumpang dirumah ibu mertuaku, dan aku harus sadar diri.

Adzan subuh berkumandang, itu tandanya waktu subuh telah tiba. Aku menunggu hingga selesai, lalu meraih jaketku lalu keluar dari rumah, dan ku lihat ibu mertua sudah menunggu didepan rumah. Aku mencoba melupakan kejadian barusan, dan menguatkan hatiku.

Ku ambil motor dari garasi dan ibu mertua naik diboncengan, aku mengemudikannya dengan kecepatan sedang dan harus berpacu dengan waktu dan melawan dinginnya udara pagi yang menusuk tulang.

Sekuat tenaga aku menyeimbangkan tubuhku yang mungil untuk membonceng sang ibu mertua yang bertubuh bongsor dan dimana pulangnya aku juga harus menahan beban belanja yang cukup lumayan banyak.

lima belas menit berlalu, aku tiba dipasar dan aku memarkirkan motorku, lalu mengekori sang ibu mertua membawa dua keranjang belanja ditangan kanan dan kiriku.

"Kita ke tukang daging," ajaknya dengan nada datar.

"Ya," sahutku cepat.

Setibanya disana, ia memilah daging untuk direndang. "Kamu mau yang mana, nanti kita masak sop yang enak," ia menawarkan padaku.

Aku mengamati daging segar tersebut, satu yang menarik perhatianku. "Yang ini, Bu," saranku.

"Ya, sudah," ia mengambil potongan daging yang terkihat tanpa serat, lalu meminta untuk sang pedagang menimbangnya.

Begitulah ibu mertuaku, kadang lembut, kadang kasar, aku tidak tahu menebak hatinya.

*****

Semua sudah selesai dimasak. Suamiku sudah terbangun dan bersiap mandi. Sebab ia yang akan mengantar semua bahan dagangan ke kantin dengan menggunakan mobil bak terbuka.

Kami sudah bersiap dan akan berangkat, begitu juga Wita yang merupakan pembayan ku juga bersiap dengan membawa anak lelakinya. Ya, aku juga memiliki satu anak lelaki yang sebaya dengan anaknya.

Kami juga ikut ke kantin karena membantu melayani pembeli, jangan tanya bagaimana rasanya lelah tubuh ini, namun aku tak memiliki pilihan lain, semua harus aku jalani.

Ku lihat ayah mertuaku pergi menggunakan motor dan tujuannya adalah ke kota untuk menemui istri mudanya, dan itu sudah menjadi pemandangan yang biasa, disaat ibu mertuaku berjibaku dengan pekerjaan, ia memilih pergi kerumah madu ibu mertuaku.

Sebelumnya aku ingin mengenalkan jika aku adalah menantu ke tiga dari 4 menantu perempuannya, sebab suamiku 4 bersaudara dan Mas Johan anak ke tiga, bisa bayangkan bagaimana persaingan dari para menantu lainnya yang saling mencari muka alias perhatian dari sang ibu mertua.

Namun kakak iparku yang pertama sudah menduda karena perceraian dengan sang istri, juga mendapatkan satu anak lelaki yang masih kelas tiga sekolah dasar dan ikut tinggal juga seatap dengan ibu mertuaku.

Setibanya dikantin perusahaan yang disewa oleh ayah mertuaku, kami menata semua bahan dagangan dengan terampil, karena sudah terbiasa. Pembayan ku dulunya adalah karyawan dikantin ibu mertuaku, dan nikahi oleh adik iparku, dan sejak itulah semua terasa berubah.

Aku mulai melayani pembeli yang datang, dan entah mengapa mereka sangat senang aku layani, sebab mereka mengatakan aku ini sangat ramah.

Banyaknya pembeli membuat kami sering telat makan dan itu adalah awal aku sering terkena sakit asam lambung.

Aku melirik jam didinding kantin menunjukkan pukul 10 pagi, dan aku harus segera mengisi perutku, karena sangat perih.

Aku menyendokkan nasi dipiring, dan membuka rantang isi soup yang pagi tadi dimasak, dan kulihat kosong, tidak lagi bersisa.

"Dik, dimana soupnya?" tanyaku pada Wita yang saat itu baru saja keluar dari kamar mandi.

"Habis, aku dan Ifan yang makan, kenapa rupanya?" tanyanya dengan wajah tak senang.

Aku termangu. "Kenapa gak sisain buat mbak?"

Wita menatapku dengan bibir mencebik. "Itu saja jadi masalah, kan masih bisa makan sayur nangka, kenapa diributin, sih?" jawabnya dengan kesal.

"Aku merasa nelangsa, sebab soup itu sudah aku bayangkan sejak dipasar tadi, dan kini sudah habis tampa sisa.

Tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiri. "Ada apa, sih, ribut-ribut!"

"Itu, Bu, kak Anna, aku hanya makan sedikit soup dagingnya untuk Ifan juga, tetapi dia justru marah-marah gak jelas," sahut Wita cepat.

Ibu mertuaku menatapku. "Sudahlah, Anna, itu saja kamu ributin, buatin kopi untuk pelanggan, buruan!" titah ibu mertuaku.

Aku menatap sendu, rasanya bulir bening disudut mataku tak dapat untuk ku tahan, namun aku tidak ingin terlalu rapuh, sebab itu akan menjadi kebahagiaan untuk sang pembayanku yang saat ini tersenyum mengejek padaku.

Aku bergegas membuatkan kopi, lalu mengantar pada pelangganku, dan kembali melanjutkan sarapanku yang tertunda dan hanya dengan sayur gulai nangka saja, sebab lauk pauk untuk dagangan tidak boleh dimakan.

Aku menyuapkan makanku dengan perasaan sakit, soup daging yang sudah ku bayangkan harus melayang begitu saja.

Sesaat aku melihat pembayan ku berjalan menuju kamar mandi dengan terburu-buru, entah apa yang sedang dikerjakannya, tetapi pergerakannya sangat mencurigakan.

Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan wajah yang tanpa masalah, dan aku mengabaikannya.

Hari menjelang sore, kami bersiap untuk pulang, sebab akan ada kakak iparku yang pertama yang akan menjaga kantin untuk shift malam.

Ibu mertuaku menghitung jumlah pendapatannya, dan ia mengerutkan keningnya. "Mengapa jumlah uang tidak sesuai dengan hasil yang terjual?" gumamnya dengan nada mencurigai dan ia melirik ke arahku.

Terpopuler

Comments

Ira Sulastri

Ira Sulastri

Baru mulai baca tp sdh mulai gregetan, Ana lain kali kl mmg sdh tau tabiat atau kebiasaan saudara ipar ga bener begitu kl selesai masak pisahkan dlm tempat atau kantong plastik untuk dirimu sendiri. Harus belajar tegas dan jangan mau di tindas

2024-06-24

0

N Wage

N Wage

duh udah mulai nyesel nih😢

2024-06-17

0

PociPan

PociPan

awal yg baik...

2024-05-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!