NovelToon NovelToon
Sebuah Titik Di Horizon

Sebuah Titik Di Horizon

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:960
Nilai: 5
Nama Author: Gama Lubis

Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.


Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saudara

"Assalamualaikum. Bang, jemput gue ya di masjid dekat Stasiun Gubeng. Jangan ngaret," ucap Malik dengan nada tegas di sambungan telepon, suaranya terdengar seperti perintah daripada permintaan. Dia baru saja turun dari kereta, membawa ransel kecil di pundaknya.

Di seberang telepon, Haris, yang sedang bersiap membuka mulut untuk menjawab salam adiknya, hanya bisa terdiam sejenak mendengar permintaan yang terkesan tanpa basa-basi itu. Dia mendengus pelan, setengah sebal. "Waalaikumsalam, ya," balasnya singkat.

"Itu aja, makasih bang. Assalamualaikum," lanjut Malik dengan cepat sebelum Haris sempat protes lebih jauh.

"Waalaikumsalam," jawab Haris akhirnya, meski terdengar setengah terpaksa.

Malik mematikan sambungan telepon tanpa ragu. Dia menarik napas dalam-dalam, mengangkat ranselnya sedikit lebih nyaman di bahu, lalu melangkah mantap menuju masjid yang sudah dia tunjuk sebagai tempat pertemuan mereka. Langkahnya ringan namun pasti, menembus keramaian stasiun yang mulai memudar seiring malam tiba.

Teman-temannya sudah turun di pemberhentian sebelumnya, menyisakan Malik seorang diri. Namun, dia tak keberatan. Kesendirian seperti ini memberinya ruang untuk berpikir dan menikmati perjalanan tanpa gangguan.

Langit malam sudah sepenuhnya gelap ketika Malik tiba di masjid. Lampu-lampu di pelataran masjid menyala temaram, memantulkan cahaya ke lantai marmer yang bersih. Suara imam yang sedang memimpin shalat berjamaah terdengar samar dari dalam. Malik segera melepas sepatunya, mengambil wudhu di tempat yang tersedia, membiarkan air dingin menyentuh kulitnya, menyegarkan tubuhnya yang lelah setelah perjalanan panjang.

Dia masuk ke masjid dengan langkah tenang, lalu menunaikan salat Isya terlebih dahulu. Setelah itu, dia men-jama shalat Maghrib yang sempat tertinggal selama perjalanan. Setiap gerakan dalam salatnya dilakukan dengan penuh khusyuk. Saat ruku dan sujud, ia menitipkan segala lelah dan penatnya, membiarkan hatinya sedikit lebih ringan setelah menghadap Sang Pencipta.

Salam menjadi penutup salatnya. Malik menurunkan tangannya perlahan, membiarkan keheningan masjid memeluk dirinya. Udara panas yang ia rasakan selama perjalanan kini berubah dingin dan sejuk, menyelusup di sela-sela kulitnya yang lembap oleh wudu.

Ia tidak langsung beranjak. Malik memilih untuk tetap duduk bersila di atas sajadah, menundukkan kepala, dan menutup matanya sejenak. Doa-doanya mengalir pelan, meminta perlindungan dan petunjuk. Ia memohon agar diberi kesabaran—untuk memahami, untuk menunggu, dan untuk menerima apa pun yang akan terjadi.

Namun, di tengah ketenangan itu, pikirannya kembali terseret pada sosok Naima. Gadis itu. Kejadian di kereta beberapa waktu lalu terulang lagi di benaknya. Wajah Naima yang tampak frustasi, sorot matanya yang hampa, seakan menyiratkan ada beban berat yang ia bawa. Malik tak bisa menghapus pemandangan itu dari pikirannya.

Yudha. Sosok itu, nama itu, kembali terlintas. Sosok seperti apa Yudha bagi Naima? Apa yang membuat Naima begitu terluka karenanya? Malik tidak tahu pasti, tapi hatinya cemas setiap kali mengingatnya.

Dia menarik napas panjang, mencoba mengatur kembali pikirannya yang bercabang. “Kenapa aku peduli sejauh ini?” tanyanya dalam hati, tapi pertanyaan itu tak memiliki jawaban yang jelas.

Namun, satu hal yang ia tahu, ia ingin menjadi seseorang yang bisa membantu Naima, setidaknya menjadi tempat yang nyaman baginya.

Malik membuka matanya perlahan, menatap lurus ke depan. Tidak mudah, pikirnya, tapi jika ada satu hal yang ia pelajari hari ini, itu adalah bahwa langkah kecil tetap lebih baik daripada tidak melangkah sama sekali.

Malik merogoh saku celananya, mengambil ponsel, dan mengecek notifikasi. Ada pesan dari Haris: "Gw bakal nyusul lo abis Isya. Tunggu di sana, jangan ngeluyur." Pesan itu dikirim beberapa waktu lalu, tepat setelah telepon mereka berakhir. Malik mengangguk kecil, lalu mengunci ponselnya kembali.

Perutnya mulai terasa kosong, rasa lapar yang tertunda sepanjang perjalanan kini datang menyerang. Ia melirik ke luar masjid, memandang ke arah deretan lampu jalanan yang bersinar temaram.

Di ujung pandangannya, ia melihat sebuah gerobak nasi goreng yang masih buka, asap mengepul dari wajan besar yang beradu dengan bunyi spatula dan aroma khas bumbu yang terbawa angin malam. Malik tersenyum tipis, menyadari bahwa makanan itu bisa menjadi solusi perut laparnya.

Tanpa berpikir lama, ia melangkah keluar dari masjid, menembus hawa dingin malam. Sepatu ketsnya menginjak perlahan trotoar yang basah oleh embun, langkahnya menuju gerobak yang dikelilingi beberapa pengunjung.

"Bang, nasi goreng satu ya, pake telur dadar," ucapnya ramah, menyapa penjual yang tengah sibuk mengaduk nasi di atas wajan.

Penjual nasi goreng itu menoleh, tersenyum sambil mengangguk. "Langsung makan di sini, Mas?" tanyanya.

"Iya, Bang. Di sini aja," jawab Malik.

Ia duduk di bangku panjang yang tersedia di dekat gerobak, mengamati suasana sekitar. Orang-orang berlalu lalang, kendaraan melintas perlahan di jalanan depan stasiun. Hawa malam yang dingin terasa kontras dengan panasnya api dari wajan di depannya.

Tak lama, sepiring nasi goreng dengan telur dadar mengepul tiba di hadapannya. Malik mengucapkan terima kasih sebelum menyendokkan nasi ke mulutnya. Rasa gurih dan hangatnya makanan membuat tubuhnya sedikit lebih rileks.

Sambil makan, pikirannya kembali melayang. Haris mungkin akan datang sebentar lagi, tapi yang memenuhi benaknya saat ini bukanlah kakaknya—melainkan Naima. Ia menghela napas panjang, mencoba mengalihkan perhatian dengan menikmati suapan demi suapan nasi gorengnya.

“Laper banget ya, Mas?” tukang nasi goreng itu membuka pembicaraan sambil mengaduk nasi di wajan.

Malik tersenyum kecil, menyeka bibirnya dengan tisu. “Ah iya, Pak. Nasi gorengnya juga enak. Pas banget buat perut kelaparan begini.”

Penjual itu tersenyum lebar, wajahnya terlihat bangga. “Saya seneng deh dengernya, Mas. Kalau pelanggan suka, itu kebahagiaan saya. Abis dari mana, Mas?”

Malik meletakkan sendoknya sejenak, mengusap perutnya yang mulai terasa lebih kenyang. “Dari Gunung Dieng, Pak. Baru turun gunung tadi pagi. Abis mendaki bareng teman-teman.”

Mata si penjual sedikit berbinar mendengar itu. “Ah, Dieng ya... Saya juga dulu pernah ke sana tuh, waktu masih muda. Jalurnya indah, tapi dinginnya nggak ketulungan.”

Malik tertawa kecil, mengangguk setuju. “Iya, dinginnya menusuk tulang, Pak. Apalagi kalau malam. Tapi pemandangannya luar biasa, nggak ada yang bisa ngalahin.”

Si penjual menghela napas pelan, seperti mengenang masa lalu. “Betul itu, Mas. Waktu saya ke sana, kabutnya tebal banget, tapi begitu kabutnya hilang, wah... surga rasanya ngeliat hamparan awan dan hijau gunung. Kalau sekarang mungkin lebih ramai ya, Mas?”

“Iya, Pak. Tapi tetep aja, Dieng punya daya tarik yang nggak pernah hilang. Rasanya tenang, kayak semua masalah hilang sesaat.” Malik tersenyum simpul, ingatan tentang perjalanan mendakinya dan teman-temannya terlintas lagi.

Si penjual menepuk-nepuk wajan yang kini kosong. “Wah, jadi nostalgia nih, Mas. Kapan-kapan kalau ada waktu lagi, saya pengen ngajak anak-anak ke sana. Biar mereka tau keindahan alam Indonesia.”

“Boleh tuh, Pak. Jalan-jalan keluarga pasti seru.” Malik meraih gelas teh hangatnya, menyesapnya perlahan. “Tapi jangan lupa bawa jaket tebal, Pak. Dieng itu ujian buat yang nggak tahan dingin.”

Keduanya tertawa kecil. Suasana malam yang tadinya dingin terasa lebih hangat berkat obrolan sederhana itu. Sampai tak terasa nasi goreng Malik susah tandas.

"Dieng juga cocok buat ngungkapin perasaan, Pak. Banyak pujangga yang datang ke sana bareng cewek untuk lamaran atau semacamnya." Suara seseorang tiba-tiba muncul, membuat Malik sedikit terlonjak. Orang itu mengambil posisi duduk di depan Malik sambil tersenyum penuh arti. "Banyak yang berhasil, tapi bukan berarti nggak ada yang gagal. Ya kan, Malik?"

Malik mendongak, mendapati Haris yang tiba-tiba muncul tanpa aba-aba. Kakaknya mengedipkan mata, jelas-jelas mengejek.

Penjual nasi goreng melirik, sedikit bingung mendapati tamu tambahan di meja tempatnya berdagang. Pandangannya dengan Haris bertemu, dan Haris membalasnya dengan senyum ramah. "Nasi gorengnya dua ya, Pak. Dibungkus aja."

Malik mendengus, sedikit heran bagaimana Haris bisa menemukannya di tempat ini tanpa kabar lebih lanjut. "Lo kok bisa tahu gue di sini?" tanyanya dengan nada curiga.

Haris terkekeh kecil, tak menjawab langsung. Sebaliknya, ia menatap Malik lekat-lekat. Malik refleks menjauhkan wajahnya, merasa risih. "Kenapa lo liatin gue begitu?" tanyanya, mencoba menutupi rasa gelisah.

Haris menghela napas pendek, menyandarkan punggungnya ke kursi. "Hm, ya. Kalau ngeliat muka lo yang asem begitu, gue tau. Doi belum kasih lo jawaban, ya?"

Malik mengalihkan pandangan ke arah lain, mencoba menghindar. "Itu urusan gue," jawabnya ketus.

"Ini udah dua bulan, Mal," lanjut Haris, suaranya lebih serius sekarang. "Lo masih belum ada perkembangan apa-apa. Itu, menurut gue, patut dipertanyakan."

Malik mendengus pelan, menyandarkan kepala ke sandaran kursi. "Gue nggak mau buru-buru," ucapnya dengan nada yang lebih tenang, meski terdengar lelah.

Haris tertawa kecil, menggeleng pelan. "Nggak mau buru-buru? Serius, Mal? Kalau lo kelamaan santai, dia malah makin ragu sama lo."

Malik menoleh, kali ini menatap Haris dengan serius. "Gue cuma nggak mau bikin dia tertekan," ujarnya, nada suaranya sedikit tegas. "Gue mau dia yakin dulu, tanpa gue paksa."

Haris mengangguk pelan, tapi senyum tipisnya penuh sindiran halus. "Lo emang nggak mau maksa, tapi jangan sampe kesannya lo nggak serius. Cewek itu, Mal, kalau lo kasih mereka terlalu banyak ruang, kadang malah bikin mereka ngerasa lo nggak niat."

Malik terdiam, menatap ke arah penjual nasi goreng yang sibuk membungkus pesanan Haris. Kata-kata Haris mulai meresap, meski ia enggan mengakuinya.

Haris menepuk pundak adiknya dengan lembut. "Gini aja, lo coba tanya langsung ke dia. Tapi santai, jangan yang nge-push. Kasih tau kalau lo serius, tapi lo juga nggak mau buru-buru. Intinya, kasih dia kepastian kalau lo bakal nunggu, tapi jangan terlalu lama."

Malik mengangguk perlahan, tetap diam. Dalam hatinya, ia tahu Haris benar. Tapi, seperti biasa, mengakui hal itu di depan kakaknya terasa seperti kekalahan kecil yang sulit ditelan. Lagipula dia sudah melakukannya dan ya… gadis itu menjauh seperti biasa.

Penjual nasi goreng menyerahkan bungkus pesanan Haris sambil tersenyum ramah. "Ini dua bungkusnya, Mas."

Haris berdiri sambil meraih bungkusnya, mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet. "Makasih, Pak. Sekalian buat bujang lapuk satu ini." Ucapannya disertai senyum miring yang jelas-jelas menyindir adiknya.

Penjual nasi goreng hanya terkekeh kecil sambil merapikan kembali meja dagangannya. Ia tampak terbiasa mendengar candaan semacam itu dari pelanggan.

Malik melirik Haris dengan pandangan yang penuh rasa sebal, tapi ia memilih untuk diam. Ia tahu, meladeni sindiran kakaknya hanya akan memperpanjang percakapan yang tak ada ujungnya.

"Ayo, Mal, jangan lama-lama. Nasi gorengnya keburu dingin, kayak hati lo kalau kelamaan nunggu jawaban," ujar Haris sambil berbalik menuju mobil, masih menyisipkan ejekannya di akhir.

Malik mendesah panjang, melangkah malas mengikuti Haris. Dalam hati, ia hanya bisa bergumam, "Menyebalkan.”

1
sSabila
Hai kak aku udah baca beberapa part dan sudah aku like, ceritanya bagus banget kak

Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"

Ditunggu ya kak
Beerus
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
gamingmato channel
Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕
☯THAILY YANIRETH✿
Mantap jiwaa!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!