Demi menghindari bui, Haira memilih menikah dengan Mirza Asil Glora, pria yang sangat kejam.
Haira pikir itu jalan yang bisa memulihkan keadaan. Namun ia salah, bahkan menjadi istri dan tinggal di rumah Mirza bak neraka dan lebih menyakitkan daripada penjara yang ditakuti.
Haira harus menerima siksaan yang bertubi-tubi. Tak hanya fisik, jiwanya ikut terguncang dengan perlakuan Mirza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membatalkan
Mirza bersandar di herboard. Menatap ke arah luar jendela. Pusingnya mereda setelah minum obat yang diberikan Erkan. Ia menyibak selimut. Kakinya bergerak turun, lalu berjalan ke arah lemari. Menatap wajahnya dari pantulan cermin. Tidak ada yang salah, hanya hatinya yang saat ini tidak bersahabat dengan keadaan.
"Kamu harus bisa, Za."
Menyemangati dirinya sendiri untuk bisa melupakan Haira. Mirza meraih ponselnya yang berdering. Ia menempelkan di telinganya sambil duduk di tepi ranjang.
"Tuan, penggusuran akan dilakukan sekarang juga," ucap seseorang yang ada di balik benda pipihnya.
"Lebih cepat lebih baik," jawab Mirza kemudian.
"Tapi __" Terdengar lagi suara yang lumayan berat untuk melanjutkan.
"Tapi apa? Jangan bilang kalau mereka nggak mau digusur, aku sudah memberi imbalan besar."
Dada Mirza mulai menguap, hanya masalah itu yang sering didengar saat penggusuran lahan.
"Ada satu perempuan yang tidak mau pindah dari tempatnya. Padahal itu tanah masih milik PT."
"Apa?" pekik Mirza. "Baiklah, aku akan segera kesana."
Mirza bergegas mengganti bajunya. Kali ini ia memakai kaos bermerek berwarna hitam dengan celana jeans yang senada.
"Ada-ada saja orang kampung, kalau digusur pasti banyak alasan, padahal itu bukan haknya."
Mirza menemui Erkan dan Aslan, memberi tahu pada mereka perihal masalah yang ada di pertambangan.
"Kalau menghadapi orang kampung memang susah, Za." Mengikuti langkah lebar Mirza yang mulai keluar hotel.
"Masalahnya bukan itu, tapi tanah nya masih milikku," bentak Mirza menghentikan langkahnya, membuat jidat Aslan terbentur punggung lebar pria itu.
Mereka masih berbicara dengan bahasa Turki hingga menjadi pusat perhatian semua orang yang melintas, sedangkan Erkan yang sedikit demi sedikit bisa bahasa Indonesia pun hanya diam selama tak dibutuhkan untuk bicara.
Tiga puluh menit, akhirnya Mirza tiba di tempat lokasi. Banyak warga berdatangan menghampirinya. Dari sekian banyak orang, mereka nampak baik-baik saja, bahkan ada yang bertepuk tangan saat mobil Mirza berhenti.
"Sepertinya mereka fine-fine saja," ucap Aslan melihat satu persatu warga yang berdiri di sisi kiri kanan jalan. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Mirza turun dari mobil. Ia melihat beberapa rumah yang memang masuk dalam peta. Itu artinya mereka yang bersalah, bukan dirinya, lalu matanya tertuju pada anak kecil yang sedang duduk menyendiri di bawah terik yang menyengat.
"Siapa dia?" tanya Mirza menyungutkan kepalanya ke arah bocah yang nampak punggungnya.
"Itu anak dari wanita yang saya maksud, Tuan. Sepertinya dia memang sengaja memperalat anaknya untuk menghalangi kami." Seorang mandor memberi laporan, seolah-olah menyudutkan Haira.
Kaki Mirza melangkah pelan mendekati bocah itu. Lalu duduk di sampingnya. Menatap ke arah yang sama.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Mirza tanpa menoleh.
"Menunggu Tuhan mengirim Daddy untukku," ucap Kemal lirih, ia mendongak, menatap wajah Mirza yang sangat tampan, lalu mencondongkan kepalanya ke arah tubuh Mirza. Menghirup dalam-dalam aroma parfum yang melekat di tubuh pria itu.
Mirza sedikit heran dengan nada bicara bocah itu, meskipun dengan bahasa Indonesia, tetap saat panggilan yang disematkan untuk seorang ayah itu terdengar aneh.
"Memangnya Daddy kamu ke mana?" tanya Mirza lagi.
"Kata Mommy, Daddy tidak akan pernah ada di antara kami."
Seketika itu Mirza menoleh ke arah Kemal.
Deg
Jantung Mirza seakan berhenti berdetak. Tubuhnya membeku saat melihat wajah Kemal yang tak asing baginya. Itu seperti bayangannya saat dirinya masih kecil.
Seandainya waktu itu aku tidak menyuruh Haira meminum pil kb, pasti dia akan melahirkan anak setampan ini. Tapi sekarang, aku tidak hanya kehilangan anak, tapi juga Haira.
Buliran bening tak sengaja mengalir membasahi pipi Mirza. Ia segera mengusap dan tersenyum. Menoleh ke belakang, menatap beberapa bocah yang asyik bermain, lalu beralih menatap Kemal lagi yang sangat berbeda dari mereka. Hidungnya mancung dengan mata coklat serta kulit yang putih serta rambut yang sedikit pirang. Menunjukkan jika itu bukan anak warga kampung.
"Nama kamu siapa?" tanya Mirza mengulurkan tangannya, bersalaman.
"Kemal, Om," jawab Mirza pelan. Menerima uluran tangan Mirza dan menggenggamnya erat.
Tubuh Mirza terasa bergetar saat menyentuh jari lentik Kemal, ia pun tak tahu perasaan yang menyelimuti nya saat ini.
"Kenapa kamu tidak bermain bersama mereka?" tanya Mirza menunjuk beberapa anak yang sibuk bermain di area perumahan.
Kemal menggeleng tanpa suara. Wajahnya kian meredup mengingat Toni yang sering mengejek nya. Juga tak mau berteman dengannya karena tak punya mainan.
"Bagaimana, Tuan. Apa yang harus saya lakukan dengan rumah itu?" Menunjuk rumah Haira.
Mirza mengangkat tangannya, menandakan jika ia menyuruh mereka untuk menghentikan sejenak.
"Kemal tinggal di rumah itu?" tanya Mirza.
Kemal mengangguk.
"Dengan siapa saja?"
"Hanya Mommy, jangan digusur ya, Om. Kasihan mommy nggak punya tempat tinggal lagi. Dia sudah nggak punya uang. Setiap hari harus bayar listrik, air, membayar hutang di warung, membeli tempe dan beras." Kemal menghitung dengan jarinya.
Sekian lama hatinya yang sekeras batu kini luluh mendengar ucapan Kemal yang nampak memelas.
"Erkan, kamu bilang pada yang lain untuk membatalkan penggusuran. Sepertinya lokasi ini cukup luas untuk membuat proyek baru."
"Baik, Tuan." Setelah mendengar ucapan Mirza, Erkan memberitahu semua orang untuk menyingkirkan alat-alat berat itu.
"Sekarang Kemal pulang saja. Kemal bisa menempati rumah itu selamanya."
Kemal beranjak dari duduknya, lalu memeluk Mirza.
"Terima kasih ya, Om. Kemal akan memberi tahu mommy tentang ini. Biar dia nggak nangis lagi."
Ada sebuah kehangatan yang tak bisa Mirza ungkapkan dengan kata-kata. Tubuh mungil Kemal seakan mengobati rasa gundahnnya selama ini.
"Memangnya mommy nya Kemal sering nangis?" tanya Mirza menyelidik, hatinya bak teriris seribu pisau mendengar ucapan Kemal yang bernada curhat.
Kemal mengangguk. "Bu Jamilah sering memarahi mommy, katanya perempuan miskin dan suka menggoda suami orang."
Kemal mengucap seperti saat Bu Jamilah berteriak di depan mommy nya.
Apa ibunya Kemal seorang janda? Hanya bertanya dalam hati.
"Apa aku boleh ikut ke rumah Kemal?" tanya Mirza.
Kemal melepaskan pelukannya. Ia menunduk, mengingat kata mommy nya yang tak boleh dekat dengan orang asing.
"Om hanya ingin berteduh di teras rumah Kemal, di sini panas."
Kemal mengangguk berat. Takut jika mommy nya marah karena sudah membawa orang asing pulang. Namun, ia tak mungkin menolak permintaan orang yang sudah berbuat baik padanya.
Mirza meraih tubuh mungil Kemal dan menggendong nya. Melintasi beberapa orang yang memenuhi tempat itu.
Kok anak itu mirip dengan Mirza, ucap Aslan dalam hati.
"Mommy," teriak Kemal sembari membuka pintu depan.
Mirza berdiri di ambang pintu. Menatap ke mana Kemal melangkah.
"Mommy, aku pulang."
Seorang wanita cantik keluar dari arah belakang membuat mata Mirza terbelalak.
𝚑𝚎𝚕𝚕𝚘 𝚐𝚊𝚗𝚝𝚎𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚔𝚗𝚕 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚊𝚞𝚗𝚝𝚢 𝚊𝚗𝚐𝚎𝚕𝚊 🤣🤣