Di jantung kota Yogyakarta, yang dikenal dengan seni dan budayanya yang kaya, tinggal seorang wanita muda bernama Amara. Dia adalah guru seni di sebuah sekolah menengah, dan setiap harinya, Amara mengabdikan dirinya untuk menginspirasi siswa-siswanya melalui lukisan dan karya seni lainnya. Meski memiliki karir yang memuaskan, hati Amara justru terjebak dalam dilema yang rumit: dia dicintai oleh dua pria yang sangat berbeda.
Rian, sahabat masa kecil Amara, adalah sosok yang selalu ada untuknya. Dia adalah pemuda yang sederhana, tetapi penuh perhatian. Dengan gitar di tangannya, Rian sering menghabiskan malam di kafe-kafe kecil, memainkan lagu-lagu yang menggetarkan hati. Amara tahu bahwa Rian mencintainya tanpa syarat, dan kehadirannya memberikan rasa nyaman yang sulit dia temukan di tempat lain.
Di sisi lain, Darren adalah seorang seniman baru yang pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan tatapan yang tajam dan senyuman yang memikat, Darren membawa semangat baru dalam hidup Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon All Yovaldi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13_ Patah Hati dan Harapan
Di hari yang cerah itu, Amara merasa campur aduk. Antara rasa cemas dan harapan, dia berjalan menuju tempat pertemuan dengan Rian. Hatinya berdebar, dan pikirannya terus melayang antara kemungkinan yang akan terjadi. “Apa yang mau dia katakan? Apakah dia juga merasakan kebingungan yang sama?” pikir Amara dalam perjalanan.
Sesampainya di taman, Amara melihat Rian duduk di bangku, menunggu dengan wajah serius. Ketika matanya bertemu dengan Rian, senyumnya terlukis penuh harapan. Namun, Amara bisa merasakan ketegangan di udara. Rian terlihat lebih dewasa dari biasanya, seolah dia siap untuk berbicara tentang hal yang penting.
“Mara, lo datang,” sapa Rian, suaranya penuh dengan kelegaan.
“Gue udah bilang, kan? Gue akan datang,” jawab Amara sambil tersenyum tipis. Mereka berdua duduk berhadapan, dengan Rian mengamati wajah Amara dengan tatapan yang serius.
“Gue ingin ngomongin tentang kita,” kata Rian, langsung ke inti.
“Gue juga ada yang mau dibicarakan,” balas Amara, merasakan ketegangan di antara mereka.
Rian mengangguk, menandakan bahwa dia siap mendengarkan. “Jadi, setelah ngobrol sama lo kemarin, gue merenung. Lo layak untuk bahagia, Mara. Dan kalau lo merasa lo harus memilih, gue menghormati keputusan itu.”
Amara terdiam. “Rian, lo tahu bahwa gue suka sama lo, kan? Tapi di saat yang sama, ada juga perasaan buat Darren.”
Rian menghela napas, ekspresinya terlihat lebih lembut. “Gue paham. Emang nggak mudah buat milih antara dua orang yang berarti. Cuma, lo harus ingat satu hal: lo nggak bisa nyakitin diri lo sendiri dengan memilih orang yang salah.”
“Gue bener-bener bingung, Rian,” Amara mengakui, hatinya mulai bergetar. “Gue nggak mau kehilangan lo.”
“Lo nggak bakal kehilangan gue. Kita tetap bisa jadi teman, walau apapun keputusan lo,” jawab Rian, suaranya tenang.
Mendengar itu, Amara merasa sedikit lebih tenang. “Tapi… apa lo benar-benar siap dengan itu?”
Rian tersenyum pahit. “Cinta itu bukan hanya tentang memiliki. Kadang, mencintai seseorang juga berarti membiarkan dia bahagia dengan pilihan yang dia ambil.”
“Gue nggak ingin memperumit hubungan kita,” kata Amara, merasakan air mata di ujung matanya.
Rian menggenggam tangan Amara, membuatnya merasa nyaman. “Gue percaya lo bisa melewati ini. Apa pun pilihan lo, gue akan mendukung.”
Setelah beberapa detik hening, Amara mulai berbicara lagi. “Jadi, gue beneran harus pilih? Dan kalau iya, gimana caranya?”
“Lo harus jujur sama diri lo sendiri, Mara. Tanya hati lo, siapa yang bikin lo lebih bahagia?”
Amara merasa pertanyaan itu menghujam ke dalam jiwanya. Dia menyadari bahwa dalam ketidakpastian ini, satu hal yang dia yakini adalah bahwa dia ingin bahagia. Rian dan Darren adalah dua sosok yang berbeda, tetapi sama-sama penting dalam hidupnya.
“Gue… gue butuh waktu lagi buat mikirin semua ini,” ujar Amara dengan suara lirih.
“Lo nggak perlu terburu-buru. Cuma ingat, hidup ini pendek, jadi jangan sia-siakan momen berharga,” kata Rian, melepaskan tangan Amara dan memberikan senyuman lembut.
Setelah perbincangan itu, Amara merasakan campur aduk antara kesedihan dan harapan. Dalam perjalanan pulang, dia merenung tentang semua hal yang telah terjadi. Apakah Rian benar? Apakah cinta bisa menjadi alasan untuk melepaskan?
---
Keesokan harinya, suasana di sekolah terasa berbeda. Amara berusaha berfokus pada pelajaran, tetapi pikirannya terus melayang. Semua orang seakan sibuk dengan urusannya masing-masing, sementara Amara terjebak dalam kebingungan. Tania dan Sari melihatnya dengan penuh perhatian, tetapi Amara tidak bisa membagi beban itu kepada mereka.
Saat istirahat, Sari mendekati Amara. “Mara, lo baik-baik aja? Lo kelihatan bingung banget.”
“Gue cuma lagi banyak pikiran, Sari,” Amara menjawab sambil mengalihkan pandangan.
“Bisa cerita ke kita. Kita teman, lo tahu itu,” Tania menambahkan.
Amara merasa tertekan. “Gue harus milih, tapi rasanya berat banget.”
“Milih apa?” tanya Sari penasaran.
Amara terpaksa menjelaskan. “Gue suka sama Rian, tapi di saat yang sama, gue juga punya perasaan buat Darren.”
Tania mengangguk, paham dengan situasi Amara. “Cinta emang bikin kita bingung, tapi lo harus jujur sama perasaan lo. Jangan sampai lo nyesel.”
Kata-kata itu mengingatkan Amara pada percakapannya dengan Rian. Dia tahu bahwa setiap pilihan pasti memiliki konsekuensi.
---
Setelah sekolah, Amara kembali ke rumah dan mendapati ibunya menunggunya. “Mara, ada yang ingin Mama bicarakan,” kata ibunya dengan nada serius.
Amara merasa jantungnya berdebar. “Ada apa, Ma?”
“Mama dengar dari tetangga kalau lo sedang bingung tentang cinta. Mama hanya ingin bilang, jangan ragu untuk bahagia,” kata ibunya lembut.
Air mata Amara mulai menetes. “Tapi, Ma, kadang gue merasa enggak adil buat orang-orang yang gue sayang.”
“Setiap orang berhak bahagia, sayang. Yang terpenting adalah lo berani mengambil keputusan yang terbaik untuk diri sendiri,” nasihat ibunya.
Mendengar itu, Amara merasa lega. Dia tahu bahwa ibunya mendukungnya, dan itu memberi kekuatan baru untuk membuat pilihan.
---
Keesokan harinya, Amara memutuskan untuk bertemu dengan Darren. Dia sudah terlalu lama membiarkan ketidakpastian ini berlangsung. Di kafe tempat mereka biasa bertemu, Amara duduk menunggu sambil mengatur kata-kata di benaknya.
Ketika Darren datang, senyumnya terlihat cerah. “Mara! Senangnya ketemu lagi!”
“Hai, Darren,” Amara menyapa dengan hangat.
Setelah memesan minuman, suasana menjadi lebih santai. Namun, Amara tahu bahwa dia harus segera mengungkapkan perasaannya.
“Darren, kita perlu bicara,” katanya serius.
“Gimana, Mara? Ada yang salah?”
“Enggak ada yang salah. Cuma, gue butuh lo tahu tentang perasaan gue.”
Darren tampak tertarik. “Gue denger dari Rian bahwa lo bingung. Apa lo siap untuk memilih?”
Amara mengangguk. “Iya. Dan setelah merenung, gue tahu siapa yang pengen gue pilih.”
Darren menatapnya tajam, seakan menunggu penjelasan. “Jadi, siapa yang lo pilih?”
Air mata mulai mengalir di pipi Amara. “Gue… gue merasa bahwa… gue harus pergi dengan Rian.”
Ekspresi wajah Darren langsung berubah. “Oh… jadi, itu keputusan lo?”
Amara merasakan sakit di hatinya. “Maaf, Darren. Lo orang baik, dan gue menghargai semua yang lo lakukan untuk gue.”
Darren terdiam, terlihat mencerna kata-kata Amara. “Gue hanya ingin yang terbaik untuk lo, Mara. Lo berhak bahagia.”
Setelah beberapa saat hening, Amara berbicara lagi. “Gue nggak akan melupakan semua kenangan kita. Lo punya tempat spesial di hati gue.”
Darren mengangguk, meskipun wajahnya terlihat sedih. “Gue mengerti. Semoga lo bisa bahagia.”
---
Amara keluar dari kafe dengan perasaan campur aduk. Dia sudah membuat keputusan, tapi hatinya masih merasa sakit. Setiap langkah terasa berat, tetapi dia tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik. Dalam perjalanan pulang, dia merenung tentang perjalanan cinta ini dan apa yang akan terjadi ke depannya.
Ketika dia membuka pintu rumah, ibunya menyambut dengan senyuman. “Gimana, sayang? Ada berita baik?”
Amara menatap ibunya, air mata mengalir lagi. “Mama, gue udah buat keputusan. Tapi rasanya berat banget.”
“Kadang, yang terbaik memang nggak selalu yang termudah. Tapi Mama bangga sama lo. Lo sudah berani mengambil langkah,” jawab ibunya.
Mendengar kata-kata itu, Amara merasa lebih kuat. Dia tahu bahwa hidupnya adalah miliknya, dan dia akan terus berjuang untuk menemukan kebahagiaan.
---
🤗🤗🤗🤗Dengan harapan baru, Amara bersiap untuk menghadapi hari-hari berikutnya.!!!!!
#Jangan ya dek ya
Next part.....
semangat berkarya../Determined//Determined//Determined/