Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 - Oh, Dari Istrinya?
"Kenapa? Kaget?" tanya Ervano bersedekap dada.
Haura yang tadi berusaha berpikir positif dan menyimpulkan bahwa pakaiannya diganti oleh pelayan seketika dibuat bungkam.
Dapat Ervano lihat seberapa malu dirinya. Sengaja Ervano bahas agar Haura tahu bahwa yang ada di otaknya tidak melulu ke arah sana. Picik sekali Haura jika berpikir Ervano sebe-jat itu.
Dari sekian banyak kesempatan yang bisa dia gunakan untuk menikmati Haura, bahkan setelah menikah tidak dia lakukan. Jika memang mau, detik ini pun sebenarnya Ervano bisa memanfaatkan kesempatan.
Terlebih lagi, sejak tadi malam Ervano sudah mendapat dukungan dari keluarga Haura. Baik dari kedua orang tua maupun saudara ipar sama saja, tidak ada yang menganggap Ervano musuh atau semacamnya.
"Mau bilang apa sekarang? Hem?" tanya Ervano sekali lagi dan kali ini Haura tak menjawab.
Melainkan beranjak pergi dan berlalu ke kamar tanpa permisi. Tidak lupa dia menutup pintu dengan sedikit tenaga dalam sampai Ervano tergelak dalam kesendirian.
Lucu sekali pikirnya, perut Ervano sampai sakit mengingat bagaimana Haura yang menghentakkan kaki tatkala meninggalkannya.
Selama ini dia hanya bisa menerka-nerka bagaimana sikap Haura sebenarnya, sedikit mengejutkan ternyata cukup manja.
Ya, manja. Walau memang belum terlihat jelas, tapi Ervano bisa menyimpulkan wanita itu sangat manja. Terbukti jelas dari caranya memberontak dan tak mau kalah, sekalinya kalah masuk kamar dan membanting pintu yang memang menjadi andalan para anak manja.
"Tidak heran, dia perempuan satu-satunya ... mana mungkin tidak manja," gumam Ervano kemudian setelah terbahak begitu puasnya.
Orang-orang yang ada di villa tersebut sampai terheran mendengar gelak tawanya, karena memang ini kali pertama Ervano tertawa puas.
Sudah tentu tidak hanya membuat heran, Ervano juga menjadi topik pembicaraan mereka. Kebetulan sejak semalam memang kurang kerjaan, pasalnya Ervano tidak lagi memerintahkan apa-apa selain berjaga.
Untuk urusan belanja kebutuhan Haura dan semacamnya dijalani sendiri, tidak heran jika orang-orang yang mengenalnya selama ini bingung seketika.
"Tuan muda kenapa kira-kira?" Grite, wanita yang bertanggung jawab menemani Haura sejak awal kedatangannya di kamar mulai membuka suara.
"Masih nanya, jelas karena sedang bahagia ... tidak dengar tadi ketawanya selepas itu? Sebelumnya mana ada, senyum saja sudah dianggap anugerah," sahut salah-satu temannya.
"Iya juga sih, anyway kalian tahu 'kan beliau nikah lagi?"
"Hem, terus kenapa?" tanya Ardito dan Rosemary secara bersamaan.
"Kira-kira sudah izin belum sama Nona Sofia? Juga, apa Tuan besar bagaimana? Mustahil tidak marah andai tahu berita ini!!"
Ervano yang menikah, tapi mereka yang heboh sendiri. Tanpa terduga, dari belakang mereka mata tajam Ervano sudah menatap tiga orang anak buahnya yang berani lancang membicarakan masalah pribadi.
"Tapi kurasa akan lebih baik begini, seperti yang kita ketahui pernikahan Tuan Vano dan Nona Sofia dingin sekali, seperti tidak saling menginginkan bahkan yang bulan madu terakhir mereka pisah ranjang!!" aku Ardito semangat sekali mengingat bagaimana pengalamannya beberapa bulan lalu.
"Oh iya!! Aku ingat, bahkan mereka jalan masing-masing ... aku jadi bingung, apa yang terjadi dengan mereka? Padahal kalau dilihat-lihat mereka pasangan yang ideal, satu cantik satunya tampan kurang apa coba?" tanya Grite pada kedua temannya dengan wajah bingung.
Alih-alih menjawab, Ardito dan Rosemary justru terpaku dan menunduk secara bersamaan hingga Grite panik dibuatnya.
"Ih? Kalian kenapa? Ja-jangan bikin gugup dong!!"
"A-aku mau ke belakang, tadi banyak daun kering yang masuk kolam ... bye!!" pamit Ardito kini lari tunggang langgang.
"Ikut, Dit!! Pasti susah kan bersihin kolam tanpa bantuan?"
Keduanya berlari meninggalkan Grite sendirian. Dengan perasaan kurang enak, Grite perlahan menoleh dan benar saja, Ervano sudah berdiri dengan tangan yang masuk di saku celana.
"Tu-tuan? Ada yang bisa saya bantu?"
"Tentu saja ada."
"Apa itu?" tanya Grite gemetar dengan tangan yang kini panas dingin.
Tidak segera menjawab, Ervano menatap sekeliling dan menyerahkan kartu miliknya.
"Hem? Apa maksud_"
"Kalian semua butuh hiburan, 'kan?"
"Eh?" Grite benar-benar dibuat kebingungan tatkala Ervano justru melontarkan pertanyaan semacam itu.
"Silakan bersenang-senang ... Ardito tahu PINnya, jangan pulang sebelum saya perintahkan dan berhenti menjadikan saya sebagai topik pembicaraan, bisa?" Demi membuat mulut mereka diam, Ervano rela mengorbankan sejumlah uang sebagai uang tutup mulut.
Tentu saja hal itu berhasil, siapapun tahu bahwa 85 persen masalah di dunia akan selesai dengan uang. Tanpa menunggu lama, Grite segera menerima tawaran Ervano dan berlari menghampiri teman-temannya yang lain.
.
.
Selepas kepergian anak buahnya, Ervano kembali masuk dengan langkah gontai. Hampir saja dia marah, beruntung masih bisa bersabar dan berpikir jernih.
Tidak jarang dia menjadi topik pembicaraan semacam itu oleh orang-orang yang mengenalnya. Pertanda bahwa pernikahannya bersama Sofia sangatlah buruk.
Awal dinikahkan sebenarnya Ervano sudah mencoba menerima Sofia dan mengubur mimpinya untuk hidup bersama gadis yang berhasil membuatnya jatuh cinta tepat di pandangan pertama, Haura.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Sofia yang begitu dingin membuatnya menyerah. Sudah berapa kali Ervano menurunkan ego dan memposisikan diri sebagai suami yang baik sesuai perintah Papanya, tapi Sofia justru tidak bisa diajak kerja sama.
Selama satu tahun bisa dihitung jari kapan mereka tidur di atas ranjang yang sama, itu pun hanya dilakukan di saat orangtua mereka datang saja.
Ervano sudah mencoba memperbaiki hubungan, bertanya baik-baik apa alasan Sofia terus menolaknya, tapi tetap tidak ada jawaban.
Sewaktu diminta melakukan perceraian Sofia juga menolak. Namun, di sisi lain Sofia juga tidak melarang Ervano untuk menjalin hubungan dengan wanita manapun, entah itu sekadar pacaran atau menikah, Sofia tidak peduli.
Dan sekarang, Ervano telah melakukan hal itu. Dia nekat menikahi Haura, wanita yang dia impikan sejak lama, jauh sebelum menikahi Sofia.
Mengingat Haura, Ervano bergegas menghampiri wanita itu karena seingatnya Haura tadi marah besar. Begitu tiba, pintu ternyata tidak dikunci dari dalam hingga Ervano bisa masuk sesuka hatinya.
"Ra?"
Tidak ada tanggapan, Haura kini tengah berbaring dengan posisi menghadap ke pantai. Bermodalkan mental coba-coba, Ervano mendekat dan berbaring tepat di sisi Haura.
Niat awal hanya berbaring, tapi tangannya lancang dan tergerak sendiri untuk memeluk tubuh sang istri dari belakang.
Tidak ada penolakan, batin Ervano berteriak kegirangan. Akan tetapi, kebahagiaan itu hanya berlaku sementara karena pasrahnya Haura justru menimbulkan tanya.
"Ra? Kamu kenapa diam?"
"Terus maunya aku gimana? Teriak-teriak?" tanya Haura menatap datar nanar tanpa arah.
Terbiasa dengan penolakan dan kata-kata ketus Haura, begitu istrinya pasrah Ervano bingung juga.
"Tidak juga cuma maksud_"
Drrrt Drrrt Drrrt
Ucapan Ervano terhenti, dia merogoh ponselnya. Begitu membacanya sontak Ervano duduk dan melepas Haura.
"Lusa papa datang untuk makan malam bersama kita, aku harap kamu bisa pulang ke rumah karena aku tidak punya jawaban andai kata beliau tanya kamu dimana, Mas."
Ervano membacanya begitu hati-hati, tanpa sadar bahwa sepasang mata yang cukup kepo itu juga turut mengintai dari belakang.
"Oh dari istrinya? Wajar langsung dilepas."
Deg
.
.
- To Be Continued -