Aku di kenal sebagai gadis tomboy di lingkunganku. Dengan penampilanku yang tidak ada feminimnya dan hobby ku layaknya seperti hobby para lelaki. Teman-teman ku juga kebanyakan lelaki. Aku tak banyak memiliki teman wanita. Hingga sering kali aku di anggap penyuka sesama jenis. Namun aku tidak perduli, semua itu hanya asumsi mereka, yang pasti aku wanita normal pada umumnya.
Dimana suatu hari aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya, kami bertemu dalam suatu acara tanpa sengaja dan mengharuskan aku mengantarkannya untuk pulang. Dari pertemuan itu aku semakin dekat dengannya dan menganggap dia sebagai ibuku, apalagi aku tak lagi memiliki seorang ibu. Namun siapa sangka, dia berniat menjodohkan ku dengan putranya yang ternyata satu kampus dengan ku, dan kami beberapa kali bertemu namun tak banyak bicara.
Bagaimana kisah hidupku? yuk ikuti perjalanan hidupku.
Note: hanya karangan author ya, mohon dukungannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Pergulatan dalam Hati
Hari itu terasa sangat berbeda. Aku duduk sendirian di kafe kecil milikku, tempat yang sudah kuanggap sebagai rumah kedua. Udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya, dan aku bisa mendengar bunyi mesin kopi yang mengalun lembut, menyatu dengan riuhnya percakapan pelanggan yang datang dan pergi. Suasana kafe selalu bisa menenangkan pikiranku, namun hari ini, rasanya tak ada yang bisa menenangkan kegelisahan di hatiku.
Beberapa hari setelah percakapan dengan Ummi Ratna, perasaanku semakin kacau. Aku masih belum tahu harus berbuat apa dengan perasaan ini. Aku memang merasa ada sesuatu yang istimewa dengan Galaksi, namun apakah perasaan itu cukup kuat untuk membuatku siap untuk menikah dengannya? Apakah aku siap menghadapi perubahan besar dalam hidup?
Sore itu, aku sudah menyiapkan meja di dekat jendela. Biasanya, jika ada waktu senggang, Galaksi akan datang ke kafe untuk membantu dan kami akan mengobrol santai. Tetapi kali ini, aku merasa cemas menunggunya, karena dia belum juga datang. Biasanya, aku tidak perlu menunggu lama, tetapi kali ini, aku harus menunggu lebih lama dari biasanya. Perasaan cemas ini semakin mengganggu pikiranku. Ada sesuatu yang tak beres, sesuatu yang membuatku merasa tidak nyaman.
Aku memutuskan untuk mengirimkan pesan kepadanya, mencoba menenangkan diri sambil menunggu balasan.
“Galaksi, kenapa belum datang? Ada apa?”
Namun, beberapa menit berlalu dan belum ada balasan. Aku berusaha tidak panik, mencoba menenangkan diriku dengan membuka buku yang tertinggal di atas meja. Tapi pikiranku terus melayang. Ada rasa khawatir yang tak bisa kujelaskan. Kenapa tiba-tiba dia menghindar? Kami tak pernah sejauh ini sebelumnya.
Akhirnya, pesan itu datang juga, namun bukan dari Galaksi sendiri, melainkan dari teman kelompoknya, Raka.
“Senja, maaf banget, Galaksi lagi sibuk banget dengan tugas penelitian. Dia harus pergi dua hari ke luar kota sama kami kelompoknya, handphone milik galaksi kehabisan baterai dan ia titip pesan untuk mengabari kami, dan juga ada Maya juga di sana, kami harus menyelesaikan beberapa proyek penting. Jadi, mungkin dia nggak bisa datang ke kafe hari ini, begitu pesannya.”
Maya, nama itu membuat hatiku sedikit berdebar. Aku tidak tahu banyak tentang Maya, hanya bahwa dia adalah teman sekelompok Galaksi di kampus. Namun, aku bisa merasakan ada sesuatu yang tak beres. Tidak seharusnya aku merasa cemburu, tetapi kenapa hatiku terasa seperti ditarik ke dalam kegelapan saat mendengar nama itu?
Aku meletakkan ponsel di atas meja dan menatap kosong ke luar jendela. Dalam keheningan kafe, pikiranku terperangkap dalam satu perasaan yang sulit dijelaskan. Apa yang sedang terjadi antara aku dan Galaksi? Kami sudah berbicara tentang masa depan, tentang perasaan, dan tentang kemungkinan pernikahan, tetapi sekarang semuanya terasa kabur dan samar.
Setelah beberapa menit, aku memutuskan untuk fokus kembali pada kafe. Ada beberapa pelanggan yang datang, dan aku mulai sibuk menyiapkan pesanan mereka. Namun, meskipun aku mencoba untuk tersenyum dan bersikap profesional, pikiranku terus teralihkan pada Galaksi dan Maya.
Aku tahu, hubungan ini tak boleh dipaksakan. Jika memang ada perasaan di antara kami, itu harus tumbuh dengan sendirinya. Tetapi sekarang, aku merasa cemas. Jika Galaksi mulai merasa nyaman dengan Maya, bagaimana dengan aku? Apakah aku cukup berarti untuknya?
Tak lama kemudian, aku kembali duduk di meja yang telah disiapkan untuk kami berdua. Seharusnya Galaksi ada di sini, membantu, atau sekadar menemani. Tapi, hari ini, semuanya terasa berbeda. Semua pertanyaan yang selama ini aku simpan di dalam hati terasa begitu nyata. Apakah perasaan ini bisa bertahan? Apakah aku benar-benar siap menjalani hidup bersama seseorang, seperti yang diinginkan oleh Ummi Ratna?
Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Rasanya aku tak tahu harus berbuat apa. Setiap pilihan terasa seperti mengambil langkah ke arah yang tak pasti.
Saat itulah, pintu kafe terbuka, dan aku mendengar suara familiar.
“Senja, maaf aku telat,” kata Galaksi, sambil berjalan masuk ke dalam kafe.
Aku terkejut, lalu tersenyum sedikit kecut. “Galaksi, kamu... kenapa bisa datang?”
“Urusan ku baru saja selesai, dan aku langsung ke sini. Aku tahu kamu pasti nungguin, jadi aku datang,” jawabnya dengan senyuman khas yang selalu membuat hatiku merasa tenang, meskipun kali ini ada perasaan aneh yang menyelubungi.
Aku mengangguk pelan, merasa lega sekaligus cemas. “Aku sudah dikabarin soal perjalanan penelitianmu,” kataku sambil menyusun cangkir-cangkir di atas meja.
Galaksi duduk di kursi seberangku dan langsung menatap wajahku dengan serius. “Maaf banget kalau aku nggak bisa datang lebih awal. Tugas ini cukup penting, dan aku harus fokus di sana. Tapi aku janji, kita akan bicara lebih banyak nanti. Aku nggak mau ada yang salah paham.”
Mendengar kata-katanya, aku merasa sedikit lebih tenang. Namun, dalam hatiku, ada perasaan yang masih mengganggu. Maya, kenapa dia harus ikut dalam kelompok penelitian ini? Apakah itu hanya kebetulan, atau ada yang lebih dari itu?
“Apa kamu baik-baik saja? Kamu kelihatan sedikit cemas,” tanya Galaksi, seakan membaca pikiranku.
Aku mencoba tersenyum, meskipun masih ada keraguan yang membebani pikiranku. “Aku cuma... agak bingung dengan semuanya. Tentang kita, tentang perasaan ini, tentang apa yang akan terjadi ke depan.”
Galaksi terdiam sejenak, lalu mendekat dan meraih tanganku dengan lembut. “Senja, aku paham kamu butuh waktu. Aku nggak akan memaksakanmu. Kita akan jalani ini dengan pelan-pelan, dan aku akan menunggu sampai kamu siap.”
Aku menarik tanganku pelan, aku ingat perkataan ummi, kami tetap harus menjaga batasan. Aku tahu, aku bukan wanita Sholehah yang benar-benar taat, tapi aku mencoba menghargai kepercayaan yang diberikan ummi kepadaku. Dan galaksi tak tersinggung sedikitpun dengan sikapku.
Aku menatap matanya, mencoba mencari kepastian. Tapi di dalam hatiku, masih ada keraguan yang tak bisa kuhilangkan begitu saja.
“Terima kasih, Galaksi,” kataku pelan. “Aku butuh waktu untuk merenung, untuk memastikan apa yang benar-benar aku inginkan.”
Galaksi mengangguk. “Aku menghargai itu. Aku akan ada di sini, Senja. Aku nggak akan pergi kemana-mana.”
Dan entah sejak kapan obrolan kami menjadi lebih ringan. Bahasa yang kami sematkan tak lagi Lo gue, tapi aku kamu, rasanya seperti pasangan sungguhan.
Kami duduk diam untuk beberapa saat, menikmati keheningan yang mengisi ruang kafe. Namun, di dalam diriku, perasaan cemas dan kebingunganku belum juga mereda. Aku harus memikirkan semuanya dengan hati-hati. Masa depan adalah sesuatu yang tidak bisa diputuskan begitu saja. Aku harus memilih dengan bijak, untuk diriku sendiri dan untuk orang-orang yang aku sayangi.
To Be Continued...
apa yg dikatakan Senja benar, Galaksi. jika mmg hanya Senja di hatimu, tidak seharusnya memberi Maya ruang dalam hidupmu. padahal kamu tahu betul, Maya jatuh hati padamu.
Tidak bisa menjaga hati Senja, berarti kesempatan lelaki lain menjaganya. jangan menyesal ketika itu terjadi, Galaksi