• Cek umur sebelum membacanya.
Kendrick Davino Tan adalah seorang casanova, hidup dengan banyak wanita yang memuaskan gairahnya.
Dia bahkan menampung seorang wanita malam di mansion miliknya, yaitu Maurin. Maurin tak sendiri, dia bersama anak gadisnya, Zoya.
Yang diam-diam Ken jadikan fantasinya saat bercinta dengan Maurin dan banyak wanita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ntaamelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ke Rumah Sakit
Entah sebab apa, Maurin tiba-tiba jatuh dari atas tangga, kepalanya terbentur keras mengenai ujung tangga yang berbentuk runcing itu, akibatnya darah segar langsung mengalir deras dari pelipis Maurin.
Ken yang kala itu sedang menikmati makan siang, segera berlari saat mendengar teriakkan Maurin, dan dia mendapati wanita itu sudah tidak sadarkan diri.
Dia hendak membawa Maurin ke rumah sakit, tetapi sebelum mengangkat tubuh Maurin, Zoya justru datang dan memekik penuh pilu, karena terlalu terkejut melihat ibunya sudah bersimbah darah.
Akhirnya kedua orang itu sama-sama membawa Maurin ke rumah sakit. Dengan kecepatan cukup tinggi Ken membawa kijang besi itu sendiri, dia ikut was-was karena takut terjadi sesuatu pada Maurin.
Zoya terus menangis sambil memeluk Maurin yang senantiasa memejamkan mata. Dia begitu kalut, mendapati sang ibu yang tertimpa musibah dengan begitu tiba-tiba.
"Mommy, please. Open your eyes, jangan buat Zoya takut, ayo buka matamu, Mommy," ujarnya sesenggukan, air matanya senantiasa menderas hingga mengenai pipi Maurin yang berlumuran darah.
Sementara Ken fokus pada jalan raya. Dia beberapa kali mengumpat karena tercekal macet, dan juga lampu merah. Ken memejamkan matanya sejenak, dalam hatinya terus berdoa agar Maurin bisa terselamatkan.
Hingga tak berapa lama kemudian, mereka sampai di rumah sakit. Ken langsung mengangkat tubuh Maurin dan dia letakkan di atas brankar. Dengan cepat para perawat mendorong brankar tersebut untuk masuk ke dalam Unit Gawat Darurat (UGD).
Ken dan Zoya menunggu dokter memeriksa Maurin. Dan selama itu Zoya tak bisa untuk bersikap tenang, dia terus saja meneteskan air matanya, takut terjadi sesuatu pada ibunya. Apalagi mereka habis bertengkar.
Kedua orang berbeda usia itu langsung bangkit, begitu dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Pria dengan jubah putih itu langsung menanyakan keluarga pasien.
"Kami berdua keluarganya, Dok," jawab Ken.
Dokter itu mengangguk, lalu menjelaskan bahwa Maurin mengalami pendarahan otak, dan perlu tindak lanjut berupa operasi. Jika memang Ken dan Zoya setuju, mereka diminta untuk menyelesaikan administrasi, dan dokter akan segera mengambil tindakan.
"Lakukan apapun untuknya, Dok. Aku akan segera menyelesaikan pembayaran," ujar Ken begitu mantap, membuat Zoya yang berdiri di sampingnya sedikit merasa beruntung.
Dan akhirnya, Maurin langsung dipindahkan ke ruang operasi untuk segera mengambil tindakan selanjutnya. Sementara Zoya kembali menunggu dengan harap-harap cemas.
Ken beberapa kali meminta Zoya untuk makan siang terlebih dahulu, mengingat gadis itu belum makan. Namun, Zoya terus menolak, dia ingin tetap berada di depan ruang operasi sampai selesai, dan memastikan bahwa Maurin baik-baik saja.
"Baiklah, terserah kamu saja," ujar Ken menyerah. Zoya memang sedikit keras kepala, dan Ken tak mau lagi memaksa.
Dan tak berapa lama kemudian lampu ruangan operasi berganti. Itu artinya Maurin sudah selesai ditangani. Dokter kembali keluar dengan para perawat, Ken dan Zoya pun bangkit menyambut mereka.
"Bagaimana dengan keadaan mommy saya, Dok?" tanya Zoya.
Dokter tersebut mengulum senyum. "Operasinya sejauh ini berhasil, tetapi kita perlu lihat nanti ditahap pemulihan." Jelasnya. "Tadi pasien juga sempat sadar, dan dia memanggil Tuan Ken. Jika memang nanti nyonya Maurin sudah siuman lagi, lebih baik temui dia. Dan ingat, hanya satu orang yang bisa masuk ke dalam sana." Sambung sang dokter.
Ken mengangguk, sementara Zoya merasakan sedikit nyeri pada ulu hatinya, karena lagi-lagi sang ibu justru mengingat lelaki badjingan yang berdiri di sampingnya.
Sore menjelang maghrib, akhirnya Maurin siuman. Dia mengerjapkan kelopak matanya, dan mendapati dirinya di sebuah ruangan serta banyak alat medis yang menancap di tubuhnya.
Maurin melirik ke arah pintu yang bergerak, dan mendapati seseorang masuk, dan ternyata itu adalah Ken, sang partner ranjang.
Ken melangkah ke arah pembaringan Maurin. Dia sedikit melengkungkan senyum melihat Maurin yang sudah sadarkan diri. Maurin mencoba menggerakkan jarinya, seluruh tubuhnya benar-benar merasakan sakit yang luar biasa.
Melihat itu, Ken segera menggenggam tangan Maurin. "Ada apa? Apa kamu butuh sesuatu?" Ken duduk di samping wanita itu, dan keduanya saling menatap.
"Ken, tubuhku sakit semua, dan sepertinya waktuku tidak banyak lagi. Aku ingin meminta sesuatu padamu untuk yang terakhir kali." ucap Maurin terbata.
"Maurin, apa yang kamu bicarakan? Kamu pasti sembuh!"
Dan Maurin menggeleng pelan.
"Aku benar-benar sudah tidak sanggup, Ken. Aku mohon, berjanjilah untuk menjaga Zoya untukku. Jangan pernah biarkan dia pergi dari sisimu, dan katakan padanya bahwa aku benar-benar menyayanginya seperti darah dagingku sendiri. Ken, aku..."
Seketika nafas Maurin tersengal, ludahnya tercekat dan genggaman tangannya pada Ken semakin kuat. Melihat itu, Ken membulatkan matanya dan segera membunyikan alarm yang berada tak jauh darinya.
"Maurin, ku mohon jangan bercanda!"
Suara detak jantung Maurin benar-benar membuat Ken merasa kalut. Hingga pria itu merasakan bahwa genggaman tangan Maurin mulai melemah, dan tubuh itu terkulai di atas pembaringan.
Sore itu, menjadi kabar duka bagi Zoya. Karena kini, Maurin telah meninggalkannya.