Prolog:
Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 Bagian 29 Pagi yang Sibuk
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai kamar Nadia, membangunkannya dari tidur. Ia menguap kecil sambil menggeliat, lalu meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. 07:15. Masih cukup waktu sebelum hari kerja dimulai.
Setelah beberapa menit menenangkan diri, Nadia bangkit dan menuju kamar mandi. Air hangat dari shower mengalir, membasuh rasa kantuk yang masih tersisa. Di cermin kamar mandi, ia melihat refleksi dirinya, lalu tersenyum kecil. Hari ini adalah hari besar pesta amal kantor.
Selesai mandi, Nadia mengenakan handuk dan berjalan ke dapur. Ia membuka kulkas, mengeluarkan telur, roti, dan beberapa sayuran segar. Tangannya cekatan menyiapkan omelet sederhana, sambil sesekali menyeruput kopi hitam yang masih mengepul di cangkir. Aroma sarapan memenuhi apartemen kecilnya yang rapi.
Setelah menyelesaikan sarapan, Nadia beranjak ke kamar untuk memilih pakaian. Gaun biru tua favoritnya tergantung rapi di lemari. Ia memutuskan untuk mencoba beberapa aksesori dan sepatu sebelum akhirnya merasa puas dengan penampilannya.
Jam di dinding menunjukkan pukul 09:30. Ia menghela napas lega, lalu meraih ponsel. Setelah beberapa saat ragu, ia mengetik pesan singkat:
"Reza, kamu sibuk malam ini? Ada pesta amal di kantorku. Aku ingin kamu ikut. 😊"
Jemarinya sempat berhenti di atas tombol kirim. Apakah Reza akan merasa nyaman berada di acara formal seperti ini? Namun, ia yakin Reza bisa mengatasinya. Dengan tekad itu, ia menekan tombol kirim.
Tak lama, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Reza:
"Pesta amal? Wah, formal banget ya? Aku harus nyiapin apa? Kalau kamu minta, pasti aku ikut."
Pagi itu terasa lebih cerah dari biasanya. Nadia menyimpan ponselnya, lalu melanjutkan aktivitas dengan semangat, sambil membayangkan seperti apa malam nanti bersama Reza.
Nadia melangkah keluar dari apartemennya, Tangannya terangkat, memanggil taksi yang melintas di jalan. Setelah memasukkan tas kerjanya, ia duduk di kursi belakang dan menyebutkan alamat kantor.
“Pagi yang cerah, ya, Mbak,” ucap sopir taksi sambil menyesuaikan kaca spion.
“Ya, semoga harinya juga menyenangkan,” jawab Nadia sambil tersenyum kecil, meskipun pikirannya sudah sibuk memikirkan presentasi dan pesta amal malam nanti.
Sesampainya di kantor, Nadia melangkah masuk ke gedung tinggi yang sudah mulai ramai. Suara langkah kaki dan bunyi mesin fotokopi terdengar di sekelilingnya. Ia menyapa beberapa rekan kerja di lorong sebelum akhirnya tiba di mejanya.
“Pagi, Nadia!” suara ceria Lila menyapanya dari meja sebelah.
“Pagi, Lil. Siap dengan acara nanti malam?” tanya Nadia sambil membuka laptop.
“Selalu siap kalau soal pesta, apalagi yang sekeren ini!” Lila tertawa kecil, lalu mendekat ke meja Nadia. “Tapi ngomong-ngomong, kamu ngajak siapa? Atau datang sendiri?”
Nadia tersenyum sambil mengetik beberapa email. “Aku ajak Pacarku, Reza. Dia penulis sekarang.
“Penulis?” Lila mengangkat alisnya, terkesan. “Bukannya dia dulu pembisnis besar? Aku dengar dia ninggalin semua itu dan sekarang jadi penulis.”
Nadia tersenyum kecil, meletakkan dokumen ke dalam map. “Iya, benar. Dia memang punya usaha sendiri. Tapi dia merasa itu bukan jalan hidupnya. Jadi, dia memutuskan untuk berhenti dan mulai menulis.”
“Wah, itu keputusan yang besar,” komentar Lila dengan nada kagum. “Kamu tahu nggak, kenapa dia sampai berani ambil langkah sebesar itu?”
Nadia berpikir sejenak, lalu menjawab dengan nada lembut. “Dia bilang, meskipun bisnisnya sukses, dia nggak pernah merasa benar-benar puas. Menulis adalah sesuatu yang dia cintai sejak lama, jadi dia memutuskan untuk mengejarnya, meskipun itu nggak mudah.”
Lila mengangguk, terlihat lebih penasaran. “Hmm, menarik. Aku jadi ingin ngobrol sama dia nanti di pesta. Pasti banyak cerita seru yang bisa dia bagikan.”
“Dia orang yang sederhana, Lil,” kata Nadia sambil tersenyum. “Tapi aku yakin, kamu bakal suka ngobrol sama dia.”
Lila tertawa kecil. “Baiklah, aku akan pastikan dia merasa diterima. Temanmu itu kelihatan unik. Sepertinya dia bisa kasih warna berbeda di acara formal malam ini.”
Nadia hanya tersenyum. Dalam hati, ia berharap Reza akan merasa nyaman di dunia yang sangat berbeda dari apa yang biasa ia jalani.
Percakapan mereka terhenti saat bos mereka, Pak Arman, melintas dengan langkah cepat. Nadia segera kembali fokus pada pekerjaannya, memeriksa dokumen dan menyusun laporan. Hari itu berlalu dengan rutinitas yang biasa meeting, revisi, dan diskusi kecil dengan tim.
Ketika jam menunjukkan pukul 16:30, Nadia mulai merapikan mejanya. Lila muncul lagi, kali ini dengan senyuman menggoda.
“Kamu udah siap buat pesta malam ini?” tanya Lila sambil menyandarkan tubuhnya di meja.
“Siap, dong. Aku tinggal ganti baju aja nanti,” jawab Nadia santai.
“Hmm, penasaran banget sama temenmu itu. Jangan-jangan kamu lagi…” Lila menggoyangkan alisnya sambil tersenyum nakal.
“Lil!” Nadia tertawa sambil memukul lengan Lila dengan lembut. “Dia cuma teman, oke?”
“Oke, oke.” Lila mengangkat tangan, menyerah. “Tapi kalau nanti dia grogi, aku bakal bantu. Kita harus bikin tamu spesialmu merasa nyaman.”
“Terima kasih, ya. Aku hitung itu sebagai utang budi,” Nadia bercanda, lalu berdiri untuk mengambil tasnya.
Hari kerja akhirnya usai, dan suasana kantor mulai lengang. Nadia menarik napas panjang. Pesta amal sudah di depan mata, dan malam ini, ia yakin akan menjadi malam yang berkesan.
Bab 44: Jemputan Tak Terduga
Nadia baru saja selesai membereskan dokumen di mejanya ketika ponselnya bergetar di samping laptop. Ia mengambilnya dan membaca pesan yang baru masuk.
"Aku di bawah. Lagi di parkiran kantor kamu. Jemput kamu pulang kerja. 😊"
Alisnya terangkat. Reza? Datang ke kantornya? Nadia tersenyum kecil dan segera membalas:
"Tunggu sebentar. Aku turun sekarang."
Ia segera merapikan barang-barangnya dan berpamitan dengan Lila. “Lil, aku duluan ya. Temanku udah jemput.”
“Oke! Jangan sampai telat ke pesta nanti, Nad,” Lila menjawab sambil melambaikan tangan.
Di luar gedung, Nadia melihat sebuah mobil sedan tua yang cukup terawat diparkir di sisi jalan. Reza berdiri di samping pintu mobil, mengenakan kemeja biru muda yang digulung di bagian lengannya. Ia melambai dengan senyum cerah.
“Tumben banget kamu jemput,” kata Nadia sambil mendekat.
“Ya, aku pikir daripada kamu capek naik taksi, aku bisa sekalian jemput,” jawab Reza santai. Ia membukakan pintu untuk Nadia.
“Wah, gentleman banget,” Nadia tersenyum sambil masuk ke dalam mobil.
Reza masuk ke sisi pengemudi, menyalakan mesin, lalu berkata, “Lagipula, aku juga mau lihat sedikit dunia kamu. Gimana rasanya kerja di kantor besar kayak gitu.”
Nadia terkekeh. “Nggak ada yang spesial, cuma meja, laptop, dan dokumen. Tapi terima kasih sudah jemput. Aku hargai banget.”
Mereka mengobrol ringan sepanjang perjalanan. Reza sempat menggoda Nadia soal betapa sibuknya ia di kantor, sementara Nadia membalas dengan komentar tentang betapa Reza mungkin akan lebih memilih bekerja dari rumah sebagai penulis.
Setelah beberapa menit, mereka tiba di apartemen Nadia. Reza memarkir mobilnya dengan rapi.
“Aku antar kamu sampai atas, ya. Sekalian cari tahu kamu bakal pakai baju apa nanti,” kata Reza sambil tersenyum jahil.
Nadia menggeleng pelan, tapi membiarkannya. “Oke, tapi nggak boleh berantakin apartemenku!”
Di dalam apartemen, Nadia melepaskan blazer dan sepatu haknya, merasa lebih santai. “Duduk aja dulu. Mau kopi?”
“Boleh, kalau nggak repot,” jawab Reza sambil duduk di sofa mungil di ruang tamu. Ia melihat-lihat sekeliling apartemen Nadia yang sederhana namun penuh gaya, dengan beberapa tanaman hias dan rak buku di sudut ruangan.
Nadia kembali dengan dua cangkir kopi. Ia duduk di samping Reza, menyerahkan salah satu cangkir.
“Jadi, ini rumah keduamu?” Reza bercanda sambil menyesap kopinya.
“Kurang lebih begitu. Aku lebih banyak habiskan waktu di kantor daripada di sini,” Nadia menjawab sambil tersenyum. “Tapi aku suka suasananya. Nyaman, kan?”
“Nyaman banget. Cocok buat orang sibuk kayak kamu,” Reza menggoda.
Nadia tertawa kecil. “Ngomong-ngomong, kamu yakin nggak mau siap-siap dulu? Kita masih punya waktu beberapa jam sebelum pesta.”
Reza menatap Nadia sejenak, lalu mengangkat bahu santai. “Enggak, ah. Aku pakai baju ini aja. Males bolak-balik. Kayaknya cukup rapi buat acara formal, kan?”
Nadia mengamati kemeja biru muda dan celana panjang hitam yang dikenakan Reza, lalu tersenyum. “Hmm, nggak terlalu buruk. Tapi kamu yakin nggak mau pakai jas atau dasi? Pesta ini lumayan formal, lho.”
Reza tertawa kecil. “Aku ini penulis, Nad, bukan eksekutif. Lagipula, kalau aku terlalu dandan, nanti malah keliatan kayak anak magang tersesat.”
Nadia menggeleng sambil tertawa. “Ya sudah, terserah kamu. Yang penting kamu nyaman. Tapi kalau nanti ada yang komen soal bajumu, aku nggak tanggung jawab, ya.”
Reza mengangkat cangkir kopinya, menyesap pelan. “Deal. Aku ikut buat nemenin kamu, bukan buat tampil gaya.”
Mereka tertawa bersama, suasana menjadi lebih santai. Nadia merasa lega bahwa Reza tidak terlalu khawatir tentang penampilannya, dan ia tahu kehadiran Reza akan membuat malam itu lebih istimewa.
Nadia menatap Reza sambil menghela napas kecil. “Ya sudah, kalau kamu udah yakin, aku mau mandi dulu, deh. Nanti langsung ganti pakaian biar nggak mepet waktunya.”
Reza mengangguk sambil tersenyum. “Santai aja, Nad. Aku tunggu di sini. Lagipula, aku penasaran gimana kamu bakal tampil nanti. Pasti bakal keren banget.”
Nadia tersenyum kecil, kemudian bangkit dari sofa. “Oke, tapi jangan iseng, ya. Kalau aku keluar kamar mandi terus apartemenku berantakan, aku nggak segan-segan usir kamu.”
Reza tertawa pelan. “Santai aja. Aku cuma bakal duduk manis sambil ngeliatin rak bukumu. Eh, boleh aku baca salah satunya?”
“Silakan, asalkan jangan lupa balikin ke tempatnya,” jawab Nadia sambil berjalan menuju kamar mandi.
Setelah beberapa menit, suara gemericik air terdengar dari kamar mandi. Reza duduk santai di sofa, memperhatikan suasana apartemen Nadia yang penuh sentuhan pribadi. Ia meraih salah satu buku dari rak dan mulai membolak-balik halamannya.
Tak lama kemudian, Nadia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah dan mengenakan handuk mandi. “Aku ganti baju dulu, ya. Jangan intip,” katanya sambil tertawa kecil sebelum menghilang ke dalam kamar.
“Siap, aku nggak mau dituduh kriminal!” Reza membalas dengan nada bercanda, membuat Nadia terkekeh dari balik pintu kamar.
Di dalam kamar, Nadia membuka lemari dan memilih gaun biru tuanya yang elegan. Setelah mengenakan pakaian dan sedikit berdandan, ia keluar dengan penampilan yang anggun, membuat Reza menatapnya sejenak, terdiam.
“Gimana? Udah cocok buat pesta?” Nadia bertanya sambil berputar kecil di depan Reza.
Reza tersenyum lebar. “Cocok banget. Kamu kayak... sosok bos besar yang siap memimpin dunia.”
Nadia tertawa, lalu meraih tas tangannya. “Terima kasih. Nah, sekarang kita siap berangkat. Jangan bikin aku telat, ya.”
“Siap, bos!” Reza berdiri sambil tertawa, mengikuti Nadia menuju pintu. Malam itu, perjalanan menuju pesta amal dimulai dengan penuh semangat.