Jakarta, di tengah malam yang sunyi, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Para remaja —terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 25
Suara dentuman keras dan jeritan menggema di seluruh ruangan ketika zombie-zombie itu semakin mendekat, menyerbu barikade yang dibangun seadanya. Tangan-tangan kotor mereka meraih dengan liar, berusaha mencapai apa saja yang bergerak di dalam ruangan. Aroma busuk memenuhi udara, membuat semua orang merasa mual. Di antara jeritan ketakutan dan suara benda-benda yang terbentur, Arka berdiri kokoh di depan, matanya penuh tekad meski tubuhnya terlihat lelah.
"Awas! Di kanan!" seru Gathan sambil mengayunkan pipa besi yang dipegangnya, memukul kepala salah satu zombie hingga suara retakan tulangnya terdengar. Darah gelap muncrat, menodai lantai.
Arka, yang berdiri di sebelahnya, mendesah keras, mengangkat kayu yang dipegangnya dengan kedua tangan dan menebas zombie lain yang mulai mendekat. "Kita nggak bisa terus begini! Cari celah! Jangan biarkan mereka mengepung kita!" teriaknya, matanya tajam menatap kelompok yang sudah mulai kelelahan.
Di belakang, Nafisah dan Seno berkutat memperkuat barikade yang mulai terlihat rapuh. Nafisah menggigit bibir, tangannya gemetar saat mencoba mengikat kayu dan pipa dengan kain yang ada. "Kenapa mereka nggak berhenti datang?! Aku... aku nggak yakin kita bisa bertahan lama!" desisnya, rasa panik menguasai wajahnya.
Seno, di sisi lain, mengetatkan rahangnya dan menepuk pundak Nafisah. "Kita nggak punya pilihan lain, Naf! Lakukan apa yang kamu bisa. Jangan sampai mereka masuk lewat sini!"
Arka menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, wajahnya tegang tetapi matanya tetap memancarkan ketenangan yang memaksa semua orang untuk mengikuti. "Seno, Nafisah, fokus di barikade! Gathan, tetap di sini, dan pastikan kita nggak lengah di belakang! Yang lain, cari apapun yang bisa jadi senjata!"
Meski beberapa di antara mereka merasa ragu, tak ada waktu untuk mempertanyakan perintahnya. Namun, Jasmine menggelengkan kepala dan mendekati Nizam, berbisik dengan nada cemas, "Apakah kita benar-benar harus mendengarkannya? Apa Arka tahu apa yang dia lakukan? Kalau salah, kita semua bisa mati di sini..."
Nizam hanya bisa mengangguk setengah hati, matanya mengamati Arka dengan rasa bimbang. "Aku nggak tahu... Tapi sekarang, siapa lagi yang bisa kita andalkan?"
Arka mendengar bisikan mereka dan menahan diri dari membalas, meski ada kekhawatiran yang menyelinap di pikirannya. "Apakah aku benar-benar mampu? Apakah mereka percaya padaku?" Namun, ia menguatkan diri dan menegakkan bahu, memastikan suaranya tetap terdengar tegas.
"Percayalah padaku," kata Arka dengan suara rendah tetapi penuh keyakinan. "Aku tahu ini berat, tapi kalau kita nggak bekerja sama, kita semua akan mati."
Setelah pertarungan panjang, suara dari luar mulai mereda. Namun, keheningan yang mengikuti justru terasa lebih menakutkan daripada serbuan zombie itu sendiri. Napas mereka terdengar terengah-engah, dan keringat membasahi wajah serta tubuh mereka. Mata mereka saling memandang dalam keheningan yang penuh ketakutan dan keraguan.
"Jadi, apa kita akan bertahan di sini, Arka?" tanya Jasmine akhirnya, suaranya nyaris berbisik.
Arka mengalihkan pandangannya ke pintu yang rapuh, lalu ke jendela yang kini hanya menyisakan pemandangan malam gelap. Tangan Arka mengepal, seolah menahan beban keputusan besar yang harus diambil. "Aku nggak yakin tempat ini akan aman lebih lama lagi," jawabnya dengan nada penuh kekhawatiran.
Tiba-tiba, suara geraman rendah terdengar di luar, menggetarkan dinding dan lantai di bawah kaki mereka. Mata semua orang terbelalak, dan wajah mereka pucat saat menyadari bahwa suara itu tidak datang dari zombie biasa.
"A-apa itu?" Nafisah berbisik, wajahnya dipenuhi ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan.
Arka menelan ludah, matanya menajam saat melihat bayangan besar yang mendekat. "Ini bukan zombie biasa... Mereka datang lagi, dan lebih besar dari sebelumnya."
Ketakutan mencekam kembali melanda kelompok itu, menyadari bahwa bahaya belum usai dan mereka kini dihadapkan pada ancaman yang lebih besar.
*****
Di tengah ruangan yang remang, dinding-dinding beton mulai terasa seperti penjara yang menyempit. Udara pengap menguar bersama ketegangan, mengelilingi semua orang. Arka berdiri di depan kelompok, dengan mata yang tajam dan suara yang tegas, menyadari bahwa peran mereka harus jelas jika ingin bertahan hidup lebih lama. “Kita harus bergerak cepat dan terstruktur. Seno, Masagena, kalian harus cari suplai tambahan, makanan, air, dan obat-obatan. Ambil rute yang sudah kita tandai kemarin,” katanya sambil menunjuk ke arah pintu belakang.
Seno mengangguk mantap, sementara Masagena, yang sedikit ragu, meremas ujung bajunya.
"Tapi… apa kita benar-benar harus keluar sekarang, Arka?" gumam Masagena dengan mata melebar. "Bagaimana kalau ada zombie lagi di luar sana? Kita bahkan belum benar-benar siap..."
"Kita semua tahu risikonya, Masagena," jawab Arka, suaranya rendah namun mantap. "Tapi kalau kita nggak bertindak sekarang, persediaan kita akan habis dalam waktu singkat."
Seno merangkul bahu Masagena, berusaha menenangkan temannya yang mulai gelisah. "Hei, kita berdua bisa melewati ini. Ingat latihan yang kita lakukan semalam? Kita bisa atasi ini."
Arka lalu beralih kepada Nafisah dan Abib. "Nafisah, Abib, kalian berjaga di lantai dua. Perhatikan gerakan apapun di luar gedung ini. Kita perlu peringatan dini sebelum mereka semakin dekat," katanya dengan nada serius, menatap mereka dalam-dalam.
Nafisah mengangguk dengan penuh tekad, matanya memancarkan ketajaman yang tak pernah terlihat sebelumnya. "Kalau ada gerakan mencurigakan, kita akan beritahu secepatnya."
Di sisi lain, Delisha, yang duduk di samping beberapa anggota yang terluka, terlihat memijat tangannya dengan cemas, namun senyum lembutnya tetap tak pudar. "Aku akan merawat mereka yang terluka. Kalian pastikan kita semua tetap selamat, ya?"
Arka mengangguk, rasa terima kasih tergambar jelas di wajahnya. "Terima kasih, Delisha. Kita semua bergantung padamu."
Ketika pembagian tugas selesai, Gathan dan Queensha mulai saling pandang, tampak ragu. Gathan menghela napas keras dan melempar pandangan tak setuju ke arah Arka. "Jadi kita cuma bisa duduk dan menunggu di sini? Arka, apa kamu yakin ini keputusan yang tepat? Mungkin kita harus mencoba mencari jalan keluar sendiri, bukan cuma bertahan begini."
Queensha mengangguk setuju, wajahnya menunjukkan keraguan yang kuat. "Ya, mungkin kita harus cari tempat yang lebih aman daripada gedung ini. Tempat ini terlalu terbuka, dan... aku nggak yakin kita bisa terus selamat di sini."
Arka, yang mulai merasa tekanan meningkat, menghela napas panjang dan menatap Gathan serta Queensha dengan sorot mata yang lebih lembut dari biasanya. "Aku tahu ini nggak mudah. Tapi ini bukan cuma soal kita sendiri. Ini tentang kita sebagai kelompok. Kalau kita berpisah sekarang, kita nggak akan punya kesempatan untuk bertahan."
Gathan mengerutkan kening dan menyilangkan tangannya, masih tampak tidak puas. "Aku cuma nggak mau kita mati sia-sia di sini, Arka."
Arka menyentuh pundak Gathan, mencoba menenangkan. "Percayalah, aku juga nggak mau kita mati. Tapi, kalau kita tetap bersama, kita punya kesempatan lebih besar."
Mereka semua terdiam, suasana semakin mencekam. Hanya suara napas mereka yang terdengar di tengah keheningan, namun keraguan masih jelas tergambar di wajah sebagian anggota.
Beberapa waktu kemudian, Seno dan Masagena berada di luar gedung, melangkah pelan dengan perasaan waspada. Mata mereka awas, memperhatikan sekitar setiap langkah yang mereka ambil. Bangunan-bangunan tinggi di sekitar mereka tampak terbengkalai, sebagian sudah runtuh dan menyisakan reruntuhan yang mengerikan.
Saat melewati sebuah lorong yang dipenuhi bekas-bekas kaca dan besi, Seno tiba-tiba berhenti, matanya menatap tajam ke tanah. "Masagena, lihat ini," bisiknya, memanggil rekannya yang sedang berada beberapa langkah di belakangnya.
Masagena berjalan mendekat, mengikuti arah pandangan Seno. Di hadapan mereka, tampak bekas api unggun yang masih terlihat baru, dikelilingi kaleng-kaleng makanan kosong dan beberapa barang pribadi yang tertinggal.
"Mungkinkah… ada orang lain di sini?" gumam Masagena, suaranya bergetar.
Seno menghela napas pelan, menatap sisa-sisa bekas api itu dengan tatapan tajam. "Kelihatannya begitu. Tapi kita nggak tahu apakah mereka akan menjadi teman atau ancaman."
Di balik rasa penasaran mereka, ketakutan mulai merayapi pikiran mereka. Mereka saling pandang dalam keheningan yang berat, menyadari bahwa ada kemungkinan besar mereka tidak sendirian.