Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Sebenci Itukah?
...----------------...
Bulan bersinar cerah di malam tanggal empat belas. Dedaunan terlihat gemulai diterpa angin yang berembus. Ryan tengah asyik duduk sendirian di teras depan rumahnya sambil menatap langit malam. Ia menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Walaupun dia tahu apa yang dilakukannya itu tidaklah benar. Udara yang dia hirup di malam hari adalah karbondioksida, tentu sangat tidak baik untuk kesehatannya. Namun, karena momen itu terlalu indah baginya, tidak salah jika dia melakukannya sekali saja.
"Hai."
Kedua mata Ryan yang semula terpejam sontak terbuka. Kepalanya langsung menoleh pada orang yang menyapanya. Dialah Rara.
"Ya ... hai, juga." Ryan jadi salah tingkah. Untuk pertama kalinya Rara bersikap manis kepadanya. Biasanya, perempuan itu selalu memasang wajah ketus.
Kali ini sikap Rara memang terlihat sangat berbeda. Dia menghampiri Ryan dengan anggunnya. Kedua tangannya mengepal di depan seperti malu-malu kucing. Sungguh imut dalam pandangan Ryan.
"Ada perlu apa?" Ryan memberanikan bertanya karena dalam beberapa detik, Rara terlihat diam saja. "Mau duduk?" tanyanya lagi.
Padahal Ryan hanya basa-basi, tetapi tak disangka Rara malah menuruti. Gadis itu duduk tepat di sebelah Ryan. Padahal, biasanya tidak pernah mau jika disuruh bersebelahan.
Jangan ditanya bagaimana kabar jantungnya Ryan. Jika saja Tuhan tidak membungkusnya dengan sempurna di dalam rongga dada, mungkin saja jantung itu sudah melesak ke udara.
"Gue ... eh, aku mau tanya sesuatu. Boleh?"
"Boleh. Tanya apa pun boleh."
Ryan begitu bersemangat, apalagi kini tubuh mereka berhadapan dengan jarak yang agak dekat.
"Kamu, kan, udah jadi bintang film sekarang. Aku boleh minta tolong dikenalin sama sutradaranya, nggak? Kali aja—"
"Nggak boleh!"
Raut wajah Ryan langsung berubah drastis setelah mendengar permintaan Rara. Gadis itu pun sedikit terlonjak saking kagetnya.
"Kenapa nggak boleh?" Tentu saja Rara merasa aneh.
"Pokoknya nggak boleh."
Ryan memutar tubuhnya menghadap ke arah lain. Demi apa pun dia sangat kesal dengan permintaan pujaannya itu. Gila saja jika dia mau membantu. Sudah susah payah sampai harus kembali ke masa lalu untuk membuat Rara dan Danang tidak bertemu. Sekarang, gadis itu malah mengajukan diri ingin bertemu dengan lelaki itu.
"Heh, gue tahu maksud lo apa. Bilang aja lo nggak mau kesaingan sama gue, kan? Ngaku aja lo! Udah capek-capek gue bersikap manis, ternyata nggak ada hasilnya. Dasar egois!"
"Loh, kok, jadi lo gue lagi?" Ryan terkejut tentu saja. Tubuhnya kembali menghadap Rara. "Bukan itu alasannya," tambahnya hendak menyentuh tangan Rara, tetapi gadis itu langsung menepisnya lalu berdiri dengan tampang penuh emosi.
"Apa? Lo mau ngadu sama ibu? Ngadu aja sana! Gue nggak peduli! Kalau emang lo nggak bisa bantu gue nggak apa-apa. Gue bisa sendiri kalau gue mau jadi artis."
Setelah berkata seperti itu, Rara pun pergi meninggalkan Ryan yang masih bergeming tak mengerti. Kenapa keadaannya bisa seperti ini?
***
Begitulah kilas balik yang membuat mood Rara tidak baik-baik saja hari ini. Semalam, Ryan sudah membuatnya kesal setengah mati.
Mengingat itu, Ryan sempat ragu untuk menampakkan wajahnya di depan Rara. Namun, demi misinya, dia harus bermuka tebal. Apa pun yang dilakukan Rara, lelaki tidak akan pernah gentar.
"Hai, semua." Ryan menyapa Rara teman-temannya.
"Hai juga." Hanya Mita yang membalas sapaan pria itu. Rara dan Heri memasang wajah ketus.
"Ngapain, sih, ke sini? Sana pergi!"
Sebelum Ryan lebih dekat dengan mereka, Rara terlebih dahulu menghampirinya. Lelaki pun tertahan sebelum kakinya menginjak teras depan rumah Rara.
Tentu saja Ryan tidak paham dengan maksud Rara. Niat hati hanya ingin menyapa, tetapi Rara bersikap seolah dirinya adalah pengganggu tak ubahnya seperti hama.
"Kenapa, sih? Abang kan cuma mau nyapa teman-teman kamu. Kalian lagi belajar kelompok, kan?" Ryan bertanya seperti itu karena melihat beberapa buku di atas meja.
"Gue bil—"
"Kamu masih marah soal semalam?" Ryan memotong perkataan Rara sambil memiringkan kepala. Raut wajahnya dibuat sendu dan menyesal.
"Iya, makanya lo cepet pergi dari sini!" Rara mengusir Ryan lagi. Namun, lelaki itu tak bergeming sama sekali.
"Aku mau ke mana? Rumahku, kan, di sini."
"Ra ...."
Rara terperanjat ketika Mita memanggilnya. Terlalu lama mengobrol dengan Ryan membuat gadis berambut keriting itu jadi curiga. Gadis itu pun memutar tubuhnya menghadap Mita, lalu berdehem sekali agar kegugupannya tidak kentara.
"Iya, kenapa? Lo butuh minum lagi?" tanyanya mengalihkan perhatian Mita.
Akan tetapi, gadis keriting itu malah bangkit dari duduknya. Kedua matanya memicing tajam penuh rasa penasaran. Tatapannya tertuju pada Ryan yang sedari tadi mengulas senyuman.
"Mit, gue bisa jelasin ...."
Suara Rara tertahan di balik telapak tangan Mita yang membungkam wajahnya. Gadis itu mundur beberapa langkah karena Mita mendorongnya dari sana. Kini, sahabatnya itu sudah berdiri tepat di hadapan Ryan. Kedua matanya mengerjap kaku, berusaha meyakinkan diri jika lelaki di hadapannya itu adalah Ryan yang dia tahu.
"Ada apa? Kenapa lihatnya kayak gitu?" tanya Ryan tanpa rasa bersalah. Wajah polosnya itu sangat menyebalkan di mata Rara. Dia tidak tahu saja jika sahabatnya itu sudah marah, hancurlah kamar mandi dan isinya.
"Kamu beneran cowok yang dulu meluk Rara di panggung itu, kan?" Pertanyaan itu sedari tadi Mita ingin dilontarkan. Ryan pun mengangguk mengiyakan.
"Bukannya kalian nggak saling kenal?"
Ryan mengerjap bingung. Dia tidak mengerti ke mana arah pertanyaan Mita, lalu memutuskan untuk diam saja.
"Bisa jelasin kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Mita lagi. Rara hendak menjawab, tetapi Mita masih tak mengizinkan gadis itu untuk berbicara.
"Aku tinggal di situ," jawab Ryan sambil menunjuk rumah yang ditempatinya.
Napas Mita mulai sesak saat itu juga. Kedua pundaknya naik turun menahan emosi dalam dada. Ternyata sahabatnya itu adalah seorang pendusta.
"Oh, jadi gitu ...." Kepala Mita berputar ke arah Rara. Sorot matanya seperti ingin menghujam mangsanya. Rara pun jadi seketika menelan saliva.
"Memangnya kamu nggak cerita ke temen kamu kalau abang tinggal di sini, Ra?"
"Hah, abang?"
Satu lagi kenyataan yang membuat Mita tersentak. Kalimat Ryan berikutnya terdengar begitu akrab dengan panggilan mesra yang dia sematkan untuk Rara. Lemas sudah kaki Rara saat ini. Pengakuan Ryan membuatnya seperti mau mati.
"Ternyata lo munafik juga, ya! Lo bilang benci banget sama orang ini, tapi sekarang malah tinggal bareng. Gimana, sih?"
"Bukan tinggal bareng, Mit. Tapi dia ngontrak di rumah sebelah."
"Kenapa lo nggak pernah cerita?" sungut Mita.
Satu alasan yang membuat Mita begitu marah karena sahabatnya itu seperti sedang mempermainkannya. Bagaimana tidak? Semenjak Mita tahu jika Ryan adalah pemain film, gadis itu pun langsung mengidolakannya. Setiap hari Rara dijejali dengan cerita tentang akting Ryan di layar televisi. Walaupun Ryan masih menjadi figuran, sosok tampannya pantas menjadi sang pujaan.
Bagaimana mungkin Rara tidak merasa geli karena orang yang disanjung-sanjung temannya itu sangat menyebalkan sekali. Jadinya, dia tidak mau Mita tahu jika Ryan tinggal di sebelah rumahnya. Bisa-bisa gadis itu akan pindah rumah juga.
"Jahat lo, Ra! Selama ini lo anggap gue ini apa, hah?"
"Tadinya gue mau cerita sekarang, tapi keburu dia datang." Rara berkilah sambil cengengesan.
Ryan sedikit tersanjung karena merasa sudah punya penggemar. Lelaki itu pun melerai pertikaian kedua gadis SMA itu. "Kamu jangan marah sama Rara! Aku yang salah karena mendadak pindah ke sini. Mungkin dia belum siap buat cerita sama kamu," kata Ryan yang sukses meredam emosi Mita yang sedang terbakar. Wajahnya yang tampan dihiasi senyuman, membuat Mita tak tahan ketika pria itu menyentuh tangannya seperti memohon minta pengampunan.
"Iya, Mit. Awalnya gue malu sampe nggak tahu harus mulai dari mana cerita sama lo tentang dia. Apalagi tiap hari lo muji-muji dia terus. Gue sampe enek dengernya. Lo tahu sendiri kalau gue gedek banget sama tuh orang. Terus tiba-tiba gue cerita kalau dia jadi tetangga gue. Lo pasti bakalan ngeledek gue abis-abisan."
Hati Ryan seolah melesak mendengar alasan kenapa Rara tidak memberi tahu temannya. Sebenci itukah Rara kepadanya? Namun, Ryan harus tetap bertahan. Dahulu, Rara-lah yang merasakan hal demikian. Sakit hati, diremehkan, dan dibenci oleh Ryan adalah makanan sehari-harinya. Namun, kala itu Rara tetap setia mengejar cintanya. Kali ini, Ryan juga harus melakukannya demi Rara.
Mita terlihat menarik napas panjang lalu mengeluarkannya kasar. Dia berpikir mereka tidak salah. Mungkin masalahnya memang ada pada dirinya yang kecewa karena baru tahu jika sang idola selama ini tinggal di lingkungannya.
"Oke, gue maafin lo." Mita akhirnya bisa menguraikan kemarahannya, lalu pandangannya beralih Ryan. "Aku juga boleh panggil 'Abang', nggak?" tanyanya dengan wajah dibuat seimut mungkin. Namun, kesannya jadi seperti orang mabuk emrin.
Sedangkan di belakang sana, Heri yang tidak diizinkan untuk ikut campur hanya bisa terdiam di tempatnya. Walaupun sebagai seorang lelaki yang menyukai Rara, tentu saja dia cemburu ketika ada pria lain yang mendekati gadis pujaannya.
...----------------...
...To be continued...