NovelToon NovelToon
Topeng Dunia Lain

Topeng Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Kutukan / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:370
Nilai: 5
Nama Author: Subber Ngawur

Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.

Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Luka yang Tak Terlihat

Rafael masih gemetar hebat, keringat membasahi seluruh tubuhnya. Rasanya seperti napasnya sulit diatur, dan tubuhnya mulai merosot perlahan ke lantai, punggungnya bersandar pada dinding toilet. Matanya menatap lurus, masih terbayang kejadian di dalam toilet yang barusan dialaminya. Apa tadi benar-benar nyata? pikirnya dalam keadaan setengah sadar. Dia terlalu takut untuk menjawab pertanyaan itu sendiri.

Beberapa siswa yang kebetulan lewat melihat Rafael terduduk di lantai dengan wajah pucat dan tubuh berkeringat deras. Mereka segera mendekat dengan wajah cemas, apalagi luka bekas kecelakaan Rafael masih terlihat jelas—memar dan jahitan di beberapa bagian tubuhnya belum sembuh sepenuhnya.

“Eh, lo kenapa, Raf?” tanya salah seorang teman, suaranya terdengar panik.

“Lo sakit ya? Masih belum sembuh bener nih kayaknya!” tambah yang lain sambil memperhatikan wajah Rafael yang semakin pucat.

Rafael merasakan kepalanya semakin berat. Semua orang yang mengelilinginya, bertanya ini-itu, malah membuat pikirannya semakin kabur. Pusingnya tak tertahankan, tapi dia tidak tahu bagaimana cara mengusir keramaian itu. Setiap suara yang masuk ke telinganya terdengar menggema, membuat dunia di sekitarnya terasa semakin jauh.

Di sisi lain, Nasya dan Bimo berjalan santai menuju kelas karena bel sudah berbunyi. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan Tristan yang terlihat sedikit buru-buru.

“Tris, Rafa mana? Kok dia nggak sama lo?” tanya Nasya.

Tristan mengangkat bahunya santai. “Tadi gue tinggalin dia di toilet.”

Nasya dan Bimo saling berpandangan sejenak sebelum langkah mereka tertahan oleh kerumunan di ujung lorong. Mereka saling pandang dengan penasaran.

“Ada apa sih di sana?” gumam Bimo sambil mempercepat langkah.

Mereka bertiga berjalan mendekati kerumunan itu, dan betapa terkejutnya mereka saat melihat Rafael yang duduk lemas di lantai, tubuhnya basah kuyup oleh keringat dan wajahnya pucat. Luka-luka di tubuhnya membuatnya terlihat semakin mengkhawatirkan.

“Raf!” seru Nasya dengan suara tinggi, langsung berlari mendekat. Bimo dan Tristan menyusul di belakangnya.

“Lo kenapa, Raf?” Tristan berjongkok di depan Rafael, matanya lebar penuh kecemasan. “Lo sakit? Mau gue bawa ke UKS?”

Rafael mendongak sedikit, menatap Tristan dengan pandangan yang marah dan kecewa. Napasnya terengah-engah, suaranya keluar pelan namun penuh tekanan. “Kenapa lo ninggalin gue?” katanya, nadanya terdengar penuh frustrasi.

Tristan tampak bingung. “Apa? Gue cuma keluar bentar—”

“Lo ninggalin gue,” potong Rafael dengan nada lebih tegas. Kepalanya terasa semakin berat, tapi amarah dan ketakutannya membuatnya sulit berpikir jernih. “Gue hampir mati sendirian di sana...”

Nasya dan Bimo yang mendengar itu mulai panik. “Hampir mati? Maksud lo apa, Raf?” tanya Nasya, suaranya bergetar. Mereka bertiga saling pandang dengan khawatir, bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Rafael yang tak tahan lagi dengan kerumunan orang di sekitarnya, tiba-tiba bangkit berdiri dengan susah payah. Meski tubuhnya gemetar, dia memaksakan diri berjalan cepat menuju kelas, mengabaikan semua yang mencoba menghentikannya.

“Raf, tunggu!” Tristan memanggil, tetapi Rafael tidak peduli. Dia hanya ingin pergi dari sana, dari semua pertanyaan, dari semua rasa takut yang terus menghantui.

Nasya, Bimo, dan Tristan segera mengejar Rafael, mengikuti langkahnya yang semakin cepat menuju kelas.

***

Rafael masuk ke kelas dengan langkah cepat, kepalanya terasa berat dan pikirannya penuh dengan kekacauan. Di dalam kelas, siswa-siswa lain sudah duduk di tempat mereka, asyik berbincang atau mempersiapkan buku untuk pelajaran berikutnya. Beberapa dari mereka sempat melirik Rafael yang masuk tergesa-gesa, tapi tidak ada yang terlalu peduli.

Tristan, Nasya, dan Bimo yang mengikuti Rafael dari belakang segera mendekat. Tristan, dengan wajah penuh penyesalan, langsung menghampiri Rafael.

“Raf, gue minta maaf tadi ninggalin lo di toilet. Gue beneran gak ngerti ada apa,” ucap Tristan dengan nada tulus.

Rafael berhenti di depan mejanya, mencoba menarik napas dalam-dalam. “Gapapa. Tadi gue juga marah-marah gak jelas,” kata Rafael akhirnya, suaranya lebih tenang meskipun pikirannya masih kacau. Dia tidak ingin membuat suasana semakin buruk, dan yang paling penting, dia tidak ingin kelihatan terlalu lemah di depan teman-temannya.

Tristan menatap Rafael dengan bingung. “Tapi, serius deh, lo kenapa sih? Gue gak ngerti tadi kenapa lo tiba-tiba kayak gitu.”

Rafael diam sejenak. Dia ingin bercerita, tapi apa yang harus dia katakan? Bahwa dia merasa seperti diikuti oleh sesuatu yang tidak terlihat? Atau bahwa topeng itu mungkin punya kekuatan gaib yang membuat hidupnya hancur? Tidak, pasti mereka bakal mengira dia halu. Dia pun hanya menggelengkan kepala pelan, mencoba mengabaikan perasaan aneh itu.

“Udah, gak ada apa-apa. Gue cuma... mungkin belum sembuh bener,” jawab Rafael singkat, berharap teman-temannya tidak mendesaknya lebih jauh.

Nasya, Bimo, dan Tristan saling bertukar pandang, terlihat ragu untuk melanjutkan pertanyaan. Namun, sebelum mereka sempat berkata lebih jauh, pintu kelas terbuka dan guru masuk dengan membawa beberapa buku di tangan.

“Baik, anak-anak, kita mulai pelajaran,” kata guru dengan nada tegas.

Rafael langsung duduk di tempatnya, begitu juga dengan Tristan dan yang lain. Kelas kembali ke rutinitasnya, tetapi Rafael tahu, dalam dirinya, tidak ada yang sama lagi.

***

Rafael pulang ke rumah dengan langkah lemas. Kepalanya masih dipenuhi oleh kejadian-kejadian aneh yang terus membayangi pikirannya. Namun, setibanya di rumah, pemandangan yang dia lihat langsung membuatnya waspada.

Minah terlihat sibuk mengemas barang-barang ke dalam koper besar, seolah bersiap-siap untuk pergi jauh. Adrian sudah ada di ruang tamu, duduk sambil mengamati aktivitas Minah dengan ekspresi datar.

“Bibik mau ke mana?” tanya Rafael dengan nada panik begitu dia melihat koper yang penuh dengan pakaian.

Minah menoleh, tersenyum lembut. “Bibik mau pulang kampung dulu, Nak. Anak Bibik mau akad nikah minggu ini.”

Mendengar itu, Rafael langsung merasa gelombang perasaan aneh menyerangnya. “Kalo bibik pergi, aku gimana? Bibik jangan pulang!” ucap Rafael tegas.

Minah terdiam sejenak, bingung melihat reaksi Rafael yang tiba-tiba. “Nak, Bibik cuma pergi sebentar. Nanti balik lagi, kok. Anak Bibik mau menikah, masa bibik gak boleh pulang?”

Rafael menatap Minah dengan mata penuh kesedihan. “Bibik nggak lama kan? Aku nggak bisa kalau Bibik lama-lama pergi.” Dia semakin merasa cemas, seolah-olah Minah adalah pengganti ibunya.

Minah tersenyum, tetapi ekspresinya menunjukkan kebingungan. “Bibik cuma sebentar, Nak. Jangan khawatir.”

Tapi Rafael tidak menyerah. “Aku juga anak Bibik, kan? Bibik selalu bilang aku ini anak bungsu Bibik. Masa Bibik mau ninggalin aku?” kata Rafael, suaranya sedikit mendesak. Matanya berkaca-kaca, penuh dengan perasaan yang sulit dia jelaskan. “Aku nggak mau Bibik pergi. Jangan tinggalin aku.”

Minah tertawa kecil, meski jelas dia merasa terharu dengan ucapan Rafael. “Aduh, Nak. Jangan begitu. Kamu tahu Bibik balik kok. Kamu jangan khawatir ya, selama Bibik pergi.”

Adrian yang sejak tadi diam, hanya menatap interaksi itu dengan perasaan campur aduk. Melihat anaknya lebih merasa sebagai ‘anak’ Minah, asisten rumah tangga mereka, daripada dirinya sendiri membuatnya semakin tenggelam dalam rasa bersalah. Apa yang sudah gue lakukan sampai Rafael lebih dekat dengan Minah? pikir Adrian sambil terdiam di kursinya.

Rafael yang masih merasa cemas hanya berdiri di tempatnya, kesal dan sedih. “Aku ikut aja deh, Bibik, ke kampung. Aku nggak mau sendiri di rumah.”

Adrian akhirnya angkat bicara. “Rafael, kamu harus tetap sekolah. Nggak bisa asal ikut. Lagipula, Bibik cuma sebentar kan?” Tegurannya terdengar lebih sebagai peringatan yang lembut, meski Rafael tahu Adrian serius.

Rafael tetap diam, merasa tidak ada yang bisa menggantikan perasaan aman yang diberikan Minah selama ini.

Minah mendekat, merangkul Rafael dengan penuh kasih sayang. “Jangan marah gitu, Nak. Bibik janji balik, kok. Kamu jaga diri baik-baik selama Bibik nggak di sini, ya? Jangan bikin Bibik khawatir.”

Rafael mengangguk pelan, meski jelas terlihat dia masih merasa berat. Ada ketakutan dalam dirinya, bukan hanya tentang Minah yang pergi, tapi juga tentang semua kejadian aneh yang menghantuinya belakangan ini.

Setelah mengemasi barang-barangnya, Minah akhirnya berpamitan kepada Adrian dan Rafael. “Bibik pergi dulu ya, Nak. Kamu jangan khawatir, Bibik balik kok.”

Rafael hanya bisa mengangguk, menatap Minah saat dia keluar dari rumah, meninggalkan perasaan kosong yang mulai menyelimuti dirinya.

1
KrakenTidur
wkwkwk benjut T_T
KrakenTidur
ikut dag-dig-dug aku ;-;
KrakenTidur
tadi g isi bensin dulu, sihh
KrakenTidur
sedih 😔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!