Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 - Tidak Ingin Ini Terjadi - Haura
Sudah bulat tekad Haura untuk menjalani lembaran baru. Tanpa melibatkan cinta, Haura ingin seperti dulu dimana yang dia pikirkan hanya karir semata.
Belum ada satu bulan pasca kejadian itu, Haura sudah berhasil mengendalikan diri dan fokus tanpa merasa terganggu.
Sudah tentu banyak yang dia korbankan. Hanya demi mendapatkan ketenangan, Haura memilih angkat kaki dan mundur dari series yang begitu dia nantikan selama ini.
Sebelum itu, Haura meminta maaf kepada sang penulis secara pribadi mengingat tidak bisa memenuhi tanggung jawabnya.
Kebetulan, sebelum melepaskan series tersebut dia memang sudah mendapat begitu banyak tawaran iklan yang fee-nya bahkan lebih besar dibanding series tersebut.
Bukan semata-mata karena uang, tapi Haura menerimanya tanpa pikir panjang.
Selama tiga minggu terakhir, keberuntungan agaknya tengah berpihak karena dia tidak dipertemukan dengan Ervano, juga Andita yang sama sekali tidak Haura percaya sekalipun wanita itu mengelak ketika Haura minta penjelasan tentang kebenaran obat itu.
Walaupun Abimanyu juga sudah mencaritahu dan memaksa Andita mengaku, tapi tidak ditemukan hasil apapun. Entah apa yang terjadi sebenarnya, tapi hingga detik ini Haura memutuskan untuk tidak mempercayai siapapun selain keluarganya.
Menjalani hidup sendiri dengan lingkup pertemanan yang semakin kecil, Haura merasa lebih nyaman. Tidak ada waktu untuk bersenang-senang, karena Haura menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan.
Selain job menjadi bintang iklan di televisi nasional, Haura juga aktif di sosial media. Sudah tentu bukan lagi untuk membagikan kebahagiaan semata, melainkan pekerjaan dan di setiap postingan pasti mempromosikan berbagai brand yang bekerja sama dengannya.
Perubahan Haura yang begitu signifikan jelas begitu kentara. Viona yang merupakan teman dekat sejak awal membangun karir sebagai model adalah salah-satu dari sekian banyak orang yang terkejut akan hal itu.
"Perfect!! Good job, Haura!! Kamu memang selalu menyala!!
Pujian semacam itu bukan hal asing lagi bagi Haura. Berbeda jauh dengan sewaktu dirinya terjun ke industri perfilman. Sekarang, kata-kata "Cut!!" "Ulang!!" "Dialogmu apa, Haura!! dan semacamnya tidak lagi Haura terima.
Terkesan lebih gampang dan nyaman juga karena memang pekerjannya cukup memperlihatkan wajah cantik dan pesona tubuh jenjangnya, sudah.
Pun sewaktu iklan, dia hanya perlu memperlihatkan kecantikan di depan kamera, dan suara akan dimasukkan setelahnya.
Sungguh menyenangkan, tidak heran kenapa Haura begitu menikmati dan terlihat tanpa beban.
"Huft akhirnya selesai juga ... kita sudah boleh pulang, 'kan, Na?" tanya Haura pada Viona yang juga tengah duduk manis di kursinya.
"Boleh, tapi sebelum itu kita ngemall dulu gimana? Sudah lama kita tidak jalan berdua, Ra."
"Jalan?" Dahi Haura berkerut seketika tatkala mendengar ajakan Viona.
Jika dipikir-pikir, memang dia sudah begitu lama tidak jalan berdua atau semacamnya. Mengingat kesibukan masing-masing sewaktu belum dipertemukan di project yang sama juga padat, sekarang juga sama padatnya.
"Ayo, Ra, jangan kelamaan dong mikirnya."
"Bentar, Na, dua jam lagi aku harus terbang ke Bali ... ada jadwal buat syuting Romaria Beauty."
Viona berdecak pelan, ini yang mendadak tidak dia suka dari Haura, sungguh. "Kamu kenapa jadi ambisius banget sih, Ra sekarang? Sebahagia itu jadi bintang iklan atau gimana?"
"Bukannya gitu, cuma yang namanya pekerjaan harus profesional, Ona."
"Dari dulu aku tahu kamu profesional kok, tapi sekarang beneran gila kerjanya ... bahkan kamu ambil banyak job dalam waktu hampir berdekatan seolah sangat butuh uang. Padahal, menurut sepengetahuanku kamu lahir dari keluarga berada dan sekalipun kamu duduk manis hidupmu terjamin!! Apa yang sebenarnya kamu kejar, Ra?"
Panjang lebar Viona melontarkan pertanyaan karena memang bingung kenapa sahabat ini mendadak menjadi sosok yang gila kerja seolah dikejar hutang milyaran rupiah.
Padahal, kekayaannya begitu luar biasa bahkan mungkin uang jajan Haura sebelum bekerja lebih besar dibanding bayaran yang dia terima.
Menghadapi Viona yang bingung akan perubahannya Haura hanya tersenyum simpul. Dia tidak mungkin bercerita, sejak awal dia memutuskan untuk memulai lembaran baru sudah bertekad untuk menutup rapat apa yang terjadi dalam hidupnya.
Terserah orang memandangnya apa, hendak dikatakan maruk atau haus juga tidak penting bagi Haura. "Hem, pengen saja ... aku suka kerja, ini duniaku dan menurutku mau kaya atau tidak sama saja, sama-sama harus kerja."
"Lagipula yang kaya bukan aku, tapi papa dan kita tidak tahu nasib kedepan bagaimana jadi aku harus kerja keras ... kamu bayangkan jika aku cuma bisa minta dan terjadi sesuatu misal bangkrut atau semacamnya aku bakal jadi apa? Gembel?" tambahnya lagi.
Haura benar-benar tidak mau kalah, dia punya 1001 jawaban yang membuat Viona menyerah dan memilih diam saja. "Ck, terserah deh ... sejak kapan juga menang debat melawan kamu."
"Nah itu tahu."
"Sekarang gimana? Benar-benar tidak ada waktu jalan berdua?"
"Ehm, No!! Lain kali saja."
.
.
Viona cemberut, terlihat sekali seberapa sebal dirinya tatkala mendengar penolakan Haura. Saat ini, bukan hanya pria yang kesulitan mendekat, tapi wanita bahkan teman dekat juga sangat sulit.
"Jangan cemberut dong."
"Gimana tidak cemberut, kamunya sibuk begitu."
Haura menghela napas panjang. "Ya sudah, aku sempetin, tapi makan di sekitar sini saja gimana?"
"Okay!! Ayo makan!!" sahut Viona begitu cepat lantaran takut Haura berubah pikiran.
Kesibukan Haura yang sudah mengalahkan top model itu membuat Viona menerima sekalipun hanya diajak makan berdua.
Tanpa didampingi asisten masing-masing, mereka hanya pergi berdua dan memilih sebuah restoran Jepang yang ada di dekat sana.
Sengaja memilih yang dekat mengingat waktu Haura tidak begitu banyak. Begitu menu tersaji Viona tampak berbinar dengan cacing di perut sudah menari-nari.
Viona menyantap dengan begitu lahap seolah belum makan sejak tadi. Namun, berbeda dengan Haura yang mendadak mual padahal baru hendak menikmati suapan pertama.
"Uwek!!"
Haura sontak menutup mulut rapat-rapat dengan mata yang juga mendadak berair.
"Loh, Ra? Kamu kenapa?" tanya Viona mendadak khawatir.
Naf-su makannya mendadak hilang. Bukan karena ji-jik, tapi memang kasihan dan segera memijat tengkuk leher Haura.
"Kenapa? Masuk angin?"
"A-aku mual," jawab Haura gugup. Pikirannya sudah kemana-mana dan dalam keadaan ini mendadak dia kembali mengingat Ervano.
"Mual? Apa karena belum makan?"
"Aku sarapan kok, cuma mung_ wueeek!!" Haura beranjak segera dan berlalu ke toilet demi memuntahkan isi perut yang dia rasa sudah memaksa keluar semua.
Diikuti oleh Viona yang cemas dan bingung ada apa dengan sahabatnya. Semakin cepat Viona mengikuti, semakin cepat Haura berlari.
Dalam setiap langkah yang Haura pijaki, dia terus meratap dan mulai menangis tanpa suara. "Tuhan tolong, aku tidak ingin ini terjadi ... aku sudah minum obat yang Abimanyu berikan, apa mungkin tidak bereaksi?"
.
.
- To Be Continued -