Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23 : Dugaan dan Firasat Arya
Raisha memandang ke luar jendela kabin jet supersonik yang meluncur di udara dengan kecepatan luar biasa. Langit biru tanpa batas membentang, dihiasi awan-awan putih yang tampak seperti garis-garis tipis melukis cakrawala.
Sinar matahari terpantul dari badan pesawat membuat bagian dalam kabin tampak lebih terang. Pesawat itu begitu mulus sehingga hampir tidak terasa bergerak, hanya deru mesin dan getaran lembut di lantai kabin yang menjadi pengingat bahwa mereka tengah melesat di atas ribuan kaki dari permukaan bumi.
Raisha duduk diam menyadarkan punggungnya, melepas lelah. Pistol terselip di jaket hoodie pinknya, sementara senapan laras panjang kembali tersimpan di kompartemen.
Ia rasakan ketegangannya memudar perlahan-lahan. Jari-jarinya bermain dengan kalung yang menggantung di lehernya. Bentuknya sederhana namun misterius—seuntai logam halus yang di tengahnya terpasang kotak metal pipih dengan ukiran kode-kode sandi acak dan sebaris kata serta kunci kombinasi yang hampir tidak terlihat kecuali dengan kaca pembesar.
Logam itu terasa dingin di jemarinya, membawa sensasi aneh. Apalagi mengingat benda itu menyimpan rahasia besar yang sampai saat ini belum berhasil diketahui. Belum satu pun enam digit angka yang mereka perkirakan dapat membukanya. Dan kini perjalanan ke Kalimantan, dia harap bukan perjalanan yang sia-sia.
“Arya,” katanya, memecah keheningan yang sejak tadi menyelimuti mereka. Suaranya lembut namun serius, mencerminkan kegundahan yang memenuhi pikirannya.
Arya, yang duduk di kursi samping jendela lain pesawat sambil memandang hamparan awan di luar pesawat menoleh. “Apa?”
“Kita sudah beberapa kali berusaha memecahkan kode untuk membuka kotak metal ini,” ucap Raisha, sambil melirik kalungnya, “tapi aku merasa sesuatu yang lebih besar sampai saat ini belum kita sentuh. Kita masih belum memecahkan teka-teki atas peristiwa ini.”
“Teka-teki yang mana?” tanya Arya, meski sebenarnya ia tahu jawabannya.
“Dr. BRAIN,” jawab Raisha pelan. “Siapa dia sebenarnya? Apa hubungannya dengan semua ini? Kita juga harus memecahkan teka-teki ini. Kita harus segera mengetahuinya, untuk segera menangkapnya. Situasinya semakin berbahaya, kita harus segera petunjuk,”
Arya menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menyipit saat ia mencoba mencerna pertanyaan itu. Ia menggosok dagunya, tanda bahwa pikirannya sedang bekerja keras. Setelah beberapa saat, ia berkata,
"Kurasa petunjuk itu sedang berjalan,"
"Sedang berjalan? Apa maksudmu? Kalung ini atau..."
"Kedua-duanya, kalungmu dan... Dr. Brain,"
Raisha menjauhkan punggungnya dari sandaran kursi pesawat.
"Kenapa dua hal ini saling terkait? Dan... bagaimana bisa?"
“Aku belum punya jawabannya. Tapi kalau harus menebak, kurasa dia mungkin terhubung denganmu.”
Raisha mengerutkan alis, bingung. “Terhubung denganku? Apa maksudmu?”
Arya mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap Raisha dengan serius. “Pikirkan ini, Raisha. Dari semua benda di dunia, kenapa kalungmu—yang dibuat oleh kakekmu—bisa memblokir sinyal kendali Dr. BRAIN? Aku rasa... ini bukan kebetulan. Apa pun yang sedang kita hadapi, aku yakin kakekmu tahu lebih banyak daripada yang mungkin telah dia katakan padamu.”
Raisha terdiam, menggenggam kalungnya lebih erat. Tatapannya kembali ke jendela, di mana awan-awan putih kini tampak seperti gulungan kapas yang berarak cepat. Ia mencoba mengingat percakapan-percakapan lamanya dengan kakeknya, tapi tidak ada yang terasa cukup signifikan.
“Kakekku,” bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Arya. “Dia memang selalu penuh rahasia. Tapi... kalau dia tahu tentang Dr. BRAIN, kenapa dia tidak pernah memberitahuku? Termasuk juga soal kalung ini.”
Arya menghela napas. "Kapan beliau menyerahkan kalung itu?"
"Tiga tahun yang lalu," jawab Raisha masih terlihat bingung.
"Seperti kita semua, tiga tahun yang lalu kurasa kakekmu juga tidak menyangka peristiwa seperti ini akan terjadi. Sekalipun dia punya firasat, mungkin, aku tidak tahu, mungkin dia hanya mencoba melindungimu. Mungkin dia tahu sesuatu yang bahaya sedang mengancam, terlalu berbahaya untuk banyak bicara, dan dia ingin semuanya terlihat normal dan biasa saja tanpa meninggalkan kecurigaan.”
Raisha mengangguk samar, meski pikirannya masih penuh pertanyaan. “Kenyataan bahwa kalung ini bisa memblok sinyal pengendali Dr. Brain, apa yang sebenarnya akan disampaikan kakek menurutmu?”
“Aku tidak tahu pasti,” jawab Arya seraya mengedikkan bahu, "Kalau saja dia masih hidup, mungkin dia bisa membantu kita memecahkan ini. Tapi... beliau sudah meninggal, kini tidak ada pilihan lain selain kita pecahkan sendiri. Aku rasa dia percaya padamu, dia yakin bahwa kamu dan... maksudku, kita, bisa memecahkan semua misteri ini,"
Raisha terdiam lagi, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu. Ia ingat betapa dekatnya ia dengan kakeknya. Bagaimana pria tua itu selalu membuatnya merasa istimewa, mengajarinya banyak hal tentang sains dan logika, serta mengajaknya memecahkan teka-teki sebagai permainan. Namun, ia juga ingat betapa sedikitnya ia tahu tentang masa lalu kakeknya—tentang teman-temannya, tentang pekerjaan yang pernah ia lakukan, dan tentang rahasia yang mungkin ia bawa hingga akhir hayatnya.
“Ya, begitulah. Aku rasa...kamu sendiri pada akhirnya akan menjadi kunci. Ini sangat mungkin, tapi aku juga tidak begitu yakin. Kita lihat saja, kemana teka-teki ini akan membimbing kita," kata Arya.
Raisha mengangguk. “Waktu itu tak sengaja aku bertemu dengannya di pelataran sebuah restoran dan dia bilang aku harus menjaga kalung ini. Dan aku harus selalu memakainya. Saat itu sekaligus saat terakhir aku bertemu dengannya sebelum beberapa hari kemudian mobil beliau terperosok ke jurang,"
"Aku ikut prihatin dengan kejadian itu," ucap Arya.
"Kalung ini sempat hilang di NIMBIS dan ayahmu menemukannya lalu menyerahkannya padaku tadi pagi sebelum aku menemuimu,” Raisha menunduk, teringat bahwa kehilangan kalung itu sempat membuatnya sedikit depresi sampai-sampai ia harus bertengkar soal coklat dengan Arya di sebuah minimarket.
"Oh ya, aku minta maaf soal tadi pagi. Aku lumayan depresi kehilangan kalungku dan aku memelintir tanganmu hanya gara-gara coklat,"
"Tidak masalah," ucapnya sambil mengusap-usap lengannya. Ia masih teringat bagaimana rasa sakit serangan Raisha tadi.
Arya segera bangkit dan mengambil sesuatu dari tasnya lalu menyodorkannya kepada Raisha.
Raisha terkejut. Ada banyak sekali coklat kesukaanya di hadapannya. Cokelat yang sama, yang tadi pagi tinggal satu dan mereka perebutkan di depan kasir.
"Untukmu, aku merasa bersalah telah mengambil coklat itu darimu. Jadi tadi pagi aku memutuskan untuk membelinya di tempat lain, tapi ketika kembali, kamu sudah tidak ada,"
Raisha pun dengan senang hati mengambilnya, lalu mereka memakan coklat-coklat itu bersama-sama.
Arya tersenyum tipis, lalu berkata, “Aku rasa kakekmu tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Dr. BRAIN. Raisha, Dr. itu gelar akademik. Biasanya untuk seseorang dengan gelar S3. Apakah kakekmu pernah menyebutkan seseorang dengan gelar itu? Teman-temannya, mungkin?”
Raisha menggeleng perlahan. “Aku tidak tahu, Arya. Kakek jarang bercerita tentang teman-temannya. Apalagi soal gelar.”
Arya memandang awan-awan, lalu sesuatu di balik awan itu tersingkap. Garis-garis tipis daratan, lautan, dan sungai tampak menyatu dalam harmoni visual. Pulau kalimantan sudah tampak.
“Kalau begitu, kita harus mencari petunjuk. Begitu kita sampai di rumah kakekmu, kita akan mencoba menggali lebih dalam. Mungkin ada sesuatu di sana yang bisa memberi kita jawaban.”
Di luar jendela, tampak pesawat mulai menukik dan mereka segera mengencangkan sabuk pengamanan. Warna biru cakrawala dan awan bergerak dalam gerak semu menciptakan efek yang memukau. Di kejauhan, garis daratan Kalimantan semakin jelas, dikelilingi laut biru tua yang memantulkan sisa-sisa sinar matahari.
Raisha menatap horizon dengan mata penuh harapan bercampur kecemasan. Teka-teki ini terasa seperti gunung es—apa yang mereka lihat hanya permukaan kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih kompleks.
“Kita akan menemukan jawabannya, Raisha,” kata Arya, suaranya penuh keyakinan. “Aku janji.”
Raisha menoleh, memberikan senyum tipis meski hatinya masih terasa berat. Angin yang tak kasat mata membawa mereka semakin dekat ke tujuan, namun di dalam pesawat itu, misteri Dr. BRAIN tetap menggantung seperti bayangan gelap yang belum tersentuh cahaya.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!