Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 05 - Dengan Caraku
"Kenapa? Kenapa dihalangi?" tanya Abimanyu menatap tajam Haura tatkala niatnya dihalangi begitu saja.
Mendapati pertanyaan itu, Haura sontak menggeleng cepat. Sungguh dia tidak siap andai nanti Ervano justru membela diri dan Abimanyu justru tahu kejadian sebenarnya dari mulut orang lain.
Bukan tidak mungkin dia yang akan menjadi sasaran kemarahan Abimanyu, dan Haura tidak mau itu terjadi, sungguh.
"Haura, cepat katakan sebelum aku benar-benar marah."
Haura terisak, di titik ini dia merasa serba salah, tapi pada akhirnya mengaku juga. "I-ini salahku."
"Salahmu?" Dahi Abimanyu berkerut dengan mata yang kini mengerjap pelan.
Tanpa menjawab dengan lisannya, Haura mengangguk pelan hingga Abimanyu semakin bingung dibuatnya.
"Kenapa? Kenapa jadi salahmu?" Sedikit lembut, Abimanyu kembali bertanya dengan harapan Haura akan lebih jujur dengan cara itu.
Benar saja, setelah dia bertanya tanpa menggebu-gebu, adiknya merasa sedikit lebih leluasa untuk mengaku. "Sebenarnya, aku yang memberikan obat perang-sang ke dalam minuman Ervano."
"Apa?" Dengan wajah tak percaya, Abimanyu melontarkan pertanyaannya.
"Iya, aku sendiri yang memberikan obat perang-sang ke dalam minuman Pak Ervano dan_"
Prank!!
Belum selesai Haura bicara, dia sudah mendengar pecahan kaca dengan da-rah menetes dari buku tangan Abimanyu.
"Bo-doh!! Tol-ol!! Otakmu dimana, Haura?!!" sentak Abimanyu kini semakin marah bahkan mungkin ingin membu-nuhnya.
Setelah tadi berusaha untuk bersikap hangat, begitu mendengar pengakuan Haura jelas dia semakin murka.
Tidak hanya marah, tapi juga malu sampai bingung harus menghajar Haura atau Ervano lebih dulu.
"Ra ... kamu_ astaga, Haura bodohnya!! Kamu sadar tidak apa yang kamu lakukan? Hah?" Abimanyu meledak-ledak tatkala melontarkan pertanyaan itu.
Haura mencoba menyela, penjelasannya membuat amarah Abimanyu meledak-ledak seketika. "Bim, aku_"
"Aku apa?? Jahil? Atau tengah berusaha merayunya agar mendapatkan_"
"Abimanyu dengarkan penjelasanku dulu!!" pekik Haura demi bisa mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan kejelasannya.
Dia memang salah karena tidak mengungkapkan dengan gamblang di awal. Namun, dia juga tidak bisa memastikan siapa yang salah sebenarnya.
"Tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan kronologi lengkapnya."
"Apa? Coba katakan!! Bagaimana? Hem?"
Haura menarik napas dalam-dalam. Sempat khawatir andai Andita terseret dan menjadi sasaran kemarahan saudaranya, tapi pada akhirnya Haura berubah pikiran juga.
"Kemarin, aku mengetahui bahwa peranku diganti secara sepihak oleh sutradara itu."
"Hem, lalu?"
Meski amarahnya sudah meluap-luap di atas kepala, Abimanyu berusaha menahan diri dan menunggu penjelasan lengkap Haura.
"Aku marah, aku kesal dan aku ingin memberikan pelajaran padanya."
"Dengan cara itu?"
"Bim dengar dulu, bukan niatku memberikan obat perang-sang ... sama sekali tidak!!"
"Lalu kenapa bisa yang masuk justru jadi obat perang-sang?"
"A-aku tidak tahu, yang jelas Andita bilang obat itu adalah obat pencahar dosis tinggi dan memang ilegal ... dia memberikan padaku dan aku ...."
"Menuruti sarannya, begitu?" sahut Abimanyu yang kemudian Haura tanggapi dengan anggukan pelan.
Seketika Abimanyu mengusap kasar wajahnya dan memijat pangkal hidung. Pria itu seketika gusar dan berusaha sebisa mungkin untuk menahan diri agar bogem mentahnya tidak mendarat tepat di kepala Haura.
Seolah tidak mampu berkata-kata, Abimanyu hanya menatap datar Haura yang terpaku di hadapannya.
Miris, sakit, terluka dan juga malu menjadi satu tatkala menatap wajah sendu Haura. Tanpa banyak bicara, Abimanyu tidak lagi meledak-ledak dan kembali mendekat untuk merengkuh tubuh adiknya.
Sembari mengusap pelan pundak Haura, Abimanyu mendongak demi menahan air mata yang secara tiba-tiba berontak ingin keluar detik itu juga.
Rasanya percuma untuk marah, Abimanyu mengerti posisi adiknya. Hendak dimaki-maki bodoh juga tidak ada gunanya, sekalipun memang iya.
"Saat melakukannya, apa badjingan itu sedang dalam pengaruh alkohol?" tanya Abimanyu lebih lembut dan tanpa kemarahan di sana.
"Tidak, dia tidak mabuk."
Abimanyu mengangguk pelan, dia menarik kesimpulan dari satu pernyataan yang keluar dari mulut Haura.
"Beritahu aku alamatnya, juga Andita yang telah memberikan obat laknat itu padamu," pinta Abimanyu yang tak segera Haura ikuti.
Dia masih tetap memiliki ketakutan walau Abimanyu tak lagi marah padanya. "Untuk apa, Bim? Bukankah masalahnya akan semakin besar?"
.
.
"Terus kamu akan diam saja? Menerima kenyataan? Kamu ternoda ... walau memang pemicunya adalah kebodohanmu sendiri tetap saja dia harus menerima akibat dari perbuatannya, Haura!!"
"Mau dengan cara apa, Abimanyu? Minta dia bertanggung jawab untuk menikahiku? Dia suami orang dan aku tidak sud_"
"Siapa yang berpikir akan menuntut pertanggungjawaban semacam itu? Terlalu mudah baginya jika hanya minta dinikahi."
Gleg
Haura meneguk salivanya pahit, agaknya kemarahan Abimanyu belum tuntas sampai masih berpikir untuk menyelesaikan masalahnya dengan kekerasan.
"Lalu? Mau kamu penjarakan? Yang kena juga aku nantinya ... kamu mau aku dipenjara juga? Mama dan keluarga kita akan semalu apa andai tahu aku melakukan hal sekotor itu, Bim?"
Serba salah, Haura juga bingung sebenarnya harus bagaimana karena dia sadar betul Ervano tidak salah sepenuhnya.
Namun, untuk menganggap seakan tidak terjadi apa-apa juga bukan hal mudah. Trauma yang dia rasakan luar biasa, malu dan ketakutan untuk menghadapi masa depan juga jangan ditanya.
Terlebih lagi ada Ray - sang kekasih dan mereka saling cinta. Sungguh Haura bingung langkah apa yang akan dia ambil selanjutnya.
"Kamu tidak perlu tahu, Ra ... biarkan aku menyelesaikannya dengan caraku."
"Abimanyu jangan, kamu mau menghajarnya dengan alasan apa? Aku yang sal_"
"Diam!! Berhenti menangis, Ra!! Jangan halangi aku dan berhenti menyalahkan diri sendiri ... seseorang yang dalam pengaruh obat seharusnya masih bisa mengendalikan diri jika dia memang tidak berniat menodaimu, Ra. Banyak cara andai memang mau, pengaruh obat hanya sekadar alibi!! Bisa jadi memang dia mengincarmu, paham sampai sini?"
Haura terdiam, mencoba memahami ucapan Abimanyu yang belum masuk di akalnya. Dia yang naif sama sekali tidak berpikir ke arah sana, terlalu jauh saja.
"Tidak mungkin, Bim."
"Tidak ada yang tidak mungkin, aku laki-laki dan aku bisa menebak isi pikirannya!!"
Haura menghela napas panjang, dia pasrah dan kali ini menyerahkan segalanya pada Abimanyu. "Kalau begitu terserah padamu, bagaimana baiknya, asal jangan melampaui batas."
Mendapat lampu hijau dari Haura, Abimanyu mulai menata rencana dan bersiap untuk menemui Ervano empat mata.
"Ganti bajumu, jangan menyiksa diri ... nanti sakit," ajak Abimanyu sembari menarik pergelangan tangan adiknya.
Meski sebesar itu kesalahan Haura, sebodoh itu Haura tetap saja. Rasa sayang Abimanyu tak terkira, tidak heran kenapa dia semarah itu pada Ervano.
Haura mengekor dan melangkah lesu, walau tidak bisa dipungkiri dia juga lega sebenarnya. Perhatian Abimanyu sebagai saudara cukup menyejukkan, itulah mengapa sedari dahulu Haura tidak kekurangan kasih sayang.
Bahkan, sebelum benar-benar keluar Abimanyu masih bersedia memilihkan pakaian untuk Haura tanpa canggung.
"Bim ...."
"Iya? Kenapa?"
"Kamu marah?" tanya Haura sembari menatap Abimanyu dengan mata sendunya.
Jujur saja Abimanyu marah, kecewa juga. Namun, dia tidak mau menjadi penyebab mental Haura semakin tertekan setelah apa yang dia alami.
"Tidak, tidak sama sekali."
"Lalu bagaimana dengan Mama? Papa dan Kak Hudzai nanti?" tanya Haura cemas, jujur dia belum siap andai keluarga besarnya tahu masalah ini.
"Soal itu, biar aku yang bicara ... setelah waktunya tiba, sekarang kita tuntaskan yang seharus_"
Tok tok tok
"Heuh?"
Keduanya menoleh ke arah pintu secara bersamaan. Sudah tentu keduanya sama-sama panik. "Bim itu siapa?"
"Entahlah, Papa harusnya belum pulang, 'kan?"
"Belum, lalu itu siapa?"
"Haura!!"
"Ya Tuhan, itu kak Hudzai ... Bim, aku harus bagaimana?" Haura seketika gelagapan tatkala sadar akan kehadiran Hudzaifah - kakak pertamanya yang bisa dipastikan akan marah besar, bahkan bisa jadi melebihi Abimanyu.
"Fu-ck!! Mau apa pohon kurma itu datang sekarang?"
.
.
- To Be Continued -