novel fantsy tentang 3 sahabat yang igin menjadi petualang lalu masuk ke akademi petualang dan ternyata salah satu dari mereka adalah reinkarnasi dewa naga kehancuran yang mengamuk akbiat rasnya di bantai oleh para dewa dan diapun bertekad mengungkap semua rahasia kelam di masa lalu dan berniat membalas para dewa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Albertus Seran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Rahasia dari Masa Lalu
Seiring persiapan untuk pertempuran besar yang semakin dekat, Aric merasakan panggilan yang tak bisa ia abaikan. Itu seperti sebuah suara dari masa lalu, sebuah bisikan lembut yang membawanya ke hutan di sekitar desa pada tengah malam. Tanpa memberitahu siapa pun, Aric berjalan mengikuti suara itu, langkahnya mantap meski ia tak tahu ke mana arahnya.
Hutan tampak sunyi, namun di dalam hati Aric bergejolak rasa penasaran yang besar. Suara itu terus memanggilnya, memandu langkahnya hingga akhirnya ia tiba di sebuah gua yang tersembunyi di balik semak-semak tebal. Cahaya rembulan yang masuk dari celah-celah pepohonan membuat gua itu terlihat misterius, seakan menyimpan rahasia yang telah terkubur selama ribuan tahun.
Ketika Aric melangkah masuk, tiba-tiba terdengar suara lembut namun penuh kekuatan.
"Aric, akhirnya kau datang. Sudah lama kami menantimu."
Aric tersentak dan menoleh. Di hadapannya, sosok seorang pria tua muncul, jubahnya berkilau dalam cahaya samar yang masuk ke dalam gua. Mata pria tua itu bersinar, seolah memancarkan cahaya yang berasal dari dalam dirinya.
"Siapa… siapa kau?" tanya Aric dengan suara bergetar. Ia merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya.
Pria tua itu tersenyum tipis. "Namaku tidak penting, Aric. Yang perlu kau ketahui adalah, aku datang untuk membangkitkan kekuatan yang telah lama tertidur di dalam dirimu."
Aric memandang pria tua itu dengan curiga, namun juga penasaran. "Apa maksudmu? Siapa sebenarnya aku?"
"Kau adalah reinkarnasi dari Dewa Naga Kehancuran," jawab pria itu tanpa ragu. "Kekuatan naga yang ada dalam dirimu bukanlah kebetulan. Kau adalah keturunan langsung dari ras naga yang pernah memerintah tanah ini sebelum para dewa datang dan menghancurkan semuanya."
Aric tersentak. Kata-kata pria tua itu mengingatkannya pada mimpi-mimpi yang selama ini menghantuinya—mimpi tentang api, kehancuran, dan rasa sakit yang tak terhingga.
"Jika aku adalah reinkarnasi dari dewa naga, mengapa aku tidak tahu apa pun tentang hal ini? Mengapa aku tidak bisa mengendalikan kekuatanku?" tanyanya, rasa frustasi terdengar jelas dalam suaranya.
Pria tua itu mendekati Aric, meletakkan tangan di bahunya. "Karena ingatanmu dari kehidupan sebelumnya tersegel, Aric. Kau dibangkitkan kembali sebagai manusia biasa, agar kau dapat memahami apa itu kemanusiaan, apa itu kelemahan, dan juga apa itu kasih sayang."
Aric terdiam, mencerna kata-kata pria itu. Ia mengingat Lyria dan Kael, dua orang yang selalu ada bersamanya dalam segala situasi. Mungkin itulah yang dimaksud pria tua ini, bahwa ia harus memahami perasaan manusia sebelum bisa sepenuhnya menguasai kekuatan naganya.
"Tapi, bagaimana aku bisa menggunakan kekuatan ini untuk melindungi mereka?" tanya Aric akhirnya. "Mereka yang aku sayangi ada dalam bahaya, dan aku tidak ingin kekuatan ini justru menghancurkan mereka."
Pria tua itu mengangguk. "Itulah ujianmu, Aric. Kekuatan besar datang dengan tanggung jawab yang besar. Kau harus mengendalikan amarahmu dan hanya menggunakan kekuatanmu ketika benar-benar dibutuhkan. Kau harus melatih diri untuk menjadi bukan hanya seorang pejuang, tapi juga seorang pelindung."
Setelah mengucapkan itu, pria tua itu mulai membentuk sebuah lingkaran cahaya di udara dengan tangannya. "Sekarang, aku akan membuka sebagian ingatanmu, agar kau dapat mengakses sebagian dari kekuatan naga yang tersegel di dalam dirimu. Ingatlah, gunakan kekuatan ini dengan bijak."
Aric menahan napas saat lingkaran cahaya itu menyelimuti tubuhnya. Dalam sekejap, ia merasa seakan-akan terseret ke dalam pusaran waktu, menembus kegelapan dan menyaksikan ingatan-ingatan dari masa lalu yang tersembunyi.
Dia melihat sosok naga raksasa berwarna merah yang melayang di atas kota-kota yang terbakar. Teriakan, tangisan, dan kehancuran memenuhi pandangannya. Itu adalah dirinya—Dewa Naga Kehancuran, yang penuh dengan amarah karena pengkhianatan para dewa.
Namun, di tengah ingatan itu, ia juga melihat sosok seorang wanita. Wanita itu menatapnya dengan tatapan penuh kasih sayang, wajahnya lembut dan menyiratkan kedamaian. Wanita itu mendekati naga raksasa itu, meletakkan tangan di sisinya, mengucapkan kata-kata yang menenangkan.
Aric tersentak, karena wanita itu… wajahnya mirip dengan Lyria. Hatinya terasa panas oleh emosi yang bercampur aduk—rasa cinta, kehilangan, dan kesedihan yang mendalam.
Ketika lingkaran cahaya memudar, Aric kembali berada di dalam gua, napasnya terengah-engah. Pria tua itu menatapnya dengan penuh pengertian.
"Sekarang kau telah melihat sebagian dari masa lalumu, Aric. Ingatlah, kekuatan ini dapat menjadi alat yang mematikan atau penyelamat, tergantung pada bagaimana kau menggunakannya. Ingatanmu tentang wanita itu akan membimbingmu."
Aric mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi kebingungan dan rasa takut. "Terima kasih… aku akan melakukan yang terbaik."
Pria tua itu menghilang, meninggalkan Aric sendirian di dalam gua. Dengan tekad yang baru, Aric meninggalkan gua dan kembali ke desa. Saat ia tiba, Kael dan Lyria sedang menunggunya, wajah mereka menunjukkan kelegaan dan kekhawatiran.
"Kau ke mana saja, Aric?" tanya Lyria, matanya menatapnya tajam. "Kami mencarimu sejak tadi malam!"
Aric tersenyum menenangkan. "Maafkan aku. Ada sesuatu yang harus kupelajari, dan sekarang aku siap… untuk pertempuran yang akan datang."
Kael menepuk bahunya. "Baguslah. Kita butuh seluruh kekuatan yang kita punya untuk mengalahkan mereka."
Aric mengangguk. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk mengakhiri semua ini, untuk melindungi orang-orang yang ia sayangi dan memenuhi takdirnya sebagai reinkarnasi dari Dewa Naga Kehancuran—bukan untuk membawa kehancuran, tetapi untuk melindungi dan memberikan harapan bagi mereka yang tertindas.
Saat fajar menyingsing, Aric, Kael, Lyria, dan pasukan kecil mereka bergerak menuju benteng para prajurit yang telah lama menjadi simbol penindasan. Mereka tahu pertempuran ini akan menentukan nasib mereka semua, dan Aric tahu bahwa ia harus mengendalikan kekuatan naganya dengan bijak.
Di tengah perjalanan, Lyria mendekati Aric, menggenggam tangannya. "Aku percaya padamu, Aric. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada di sampingmu."
Aric menatapnya dan tersenyum. "Dan aku juga, Lyria. Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu lagi."
Dengan semangat yang membara dan cinta yang menguatkan, mereka melanjutkan perjalanan, bersiap menghadapi tantangan besar yang menanti. Kini, dengan kekuatan yang baru ditemukan dan tekad yang tak tergoyahkan, Aric siap untuk menghadapi takdirnya.
.