Di tengah dunia magis Forgotten Realm, seorang pemuda bernama Arlen Whiteclaw menemukan takdir yang tersembunyi dalam dirinya. Ia adalah Pemegang Cahaya, pewaris kekuatan kuno yang mampu melawan kegelapan. Bersama sahabatnya, Eira dan Thorne, Arlen harus menghadapi Lord Malakar, penyihir hitam yang ingin menaklukkan dunia dengan kekuatan kegelapan. Dalam perjalanan yang penuh dengan pertempuran, pengkhianatan, dan pengorbanan, Arlen harus memutuskan apakah ia siap untuk mengorbankan segalanya demi kedamaian atau tenggelam dalam kegelapan yang mengancam seluruh Forgotten Realm.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjaga Misterius
Arlen dan Finn berdiri membeku di tempatnya, terjebak antara ketidakpastian dan rasa waspada. Sosok berjubah abu-abu di hadapan mereka tetap tak bergerak, hanya tatapan tajam dari balik bayangan tudungnya yang sesekali memantulkan kilatan samar. Kedua petualang muda ini tak tahu harus percaya atau justru menyiapkan diri untuk bertarung.
“Jawab pertanyaanku. Apakah kalian yang membawa Relik Gelap itu?” Suara sosok itu terdengar dingin namun mengalun rendah, seolah menggema dari dalam bayangan.
Finn memandang Arlen dengan tatapan bertanya, lalu memberanikan diri untuk berbicara. “Benar, kami membawanya. Tetapi… siapa kau sebenarnya? Bagaimana bisa kau tahu tentang Relik ini?”
Sosok itu menghela napas, terdengar seperti angin yang berembus melalui pepohonan tua di sekitar mereka. “Aku tahu lebih dari sekadar Relik itu. Aku tahu apa yang telah terjadi pada Eira dan mengapa kalian kini berjalan sendirian di tengah hutan ini.”
Mata Arlen menyipit, hatinya semakin tegang. “Eira? Bagaimana kau bisa tahu tentang Eira? Kau… apa kau mengikutiku sejak tadi?”
“Pertanyaan itu tidak penting, Arlen,” jawabnya dingin. “Yang penting adalah apa yang kalian lakukan sekarang, dan ke mana Relik itu akan membawa kalian.”
Finn semakin bingung. “Kau tahu nama kami, bahkan kejadian yang baru saja menimpa kami. Apa yang kau inginkan?”
Sosok itu melangkah maju, membuat keduanya refleks mengangkat senjata. Namun, ia hanya mengangkat tangannya sebagai tanda bahwa ia tidak berniat menyerang. “Namaku Erland. Aku adalah penjaga terakhir dari Kuil Cahaya, tempat yang mungkin bisa memberi jawaban atas takdir kalian.”
Mendengar kata “Kuil Cahaya,” Arlen merasa darahnya berdesir. Tempat yang selama ini ia pikir hanya legenda ternyata nyata, dan kini seorang penjaga muncul di hadapan mereka.
“Jika kau penjaga Kuil Cahaya, mengapa kau muncul sekarang? Mengapa kau tidak datang saat… saat kami benar-benar membutuhkan bantuan?” desis Arlen, suaranya penuh rasa frustasi.
Erland menatap Arlen dalam-dalam, seolah menembus pikirannya. “Setiap penjaga memiliki tugasnya sendiri, dan kehadiran kami bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk menguji. Kehilangan sahabat kalian adalah ujian, dan apa yang kalian lakukan sekarang adalah keputusan yang menentukan. Apakah kalian siap menerima akibat dari membawa Relik itu?”
Finn menggeram, tidak bisa lagi menahan kemarahan yang tersimpan. “Kau bicara soal ujian dan keputusan, sementara kami kehilangan orang yang sangat berarti bagi kami. Jika kau hanya datang untuk menyalahkan atau menghukum, lebih baik kau pergi!”
Erland tetap tenang, meski tatapan Finn penuh amarah. “Aku di sini bukan untuk menghukum. Justru aku di sini untuk memperingatkan. Kekuatan Relik itu sangat besar, tetapi di balik kekuatannya ada bahaya yang tidak bisa kalian bayangkan.”
Arlen mencoba menahan emosinya, tetapi pertanyaannya berhamburan. “Apa yang kau maksud? Bahaya seperti apa yang kami hadapi?”
Erland memandang jauh ke dalam mata Arlen, seolah mencari keyakinan di dalamnya. “Relik Gelap yang kalian bawa bukan sekadar alat, melainkan sebuah entitas. Ia memiliki kehendaknya sendiri, dan semakin lama kalian membawanya, semakin kuat pengaruhnya atas kalian. Apa yang terjadi pada Eira… mungkin hanyalah awal dari pengorbanan yang lebih besar.”
Ucapan Erland membuat Arlen dan Finn terdiam, menggigil memikirkan kemungkinan buruk yang menunggu mereka.
“Jadi, apa pilihan kami?” tanya Finn akhirnya, suaranya mulai tenang meski masih ada rasa pahit di dalamnya.
“Kalian bisa meninggalkan Relik itu di sini dan melanjutkan hidup kalian,” jawab Erland. “Atau, kalian bisa datang bersamaku ke Kuil Cahaya, dan aku akan menunjukkan cara untuk mengendalikan kekuatan itu. Tetapi, ketahuilah, pilihan kedua ini jauh lebih berbahaya dan mungkin akan mengorbankan lebih banyak lagi.”
Arlen dan Finn saling berpandangan. Menyerahkan Relik itu berarti menyerah pada misi mereka, pada harapan terakhir yang Eira berikan. Namun, membawa Relik itu ke Kuil Cahaya berarti berhadapan dengan risiko yang mungkin jauh lebih besar dari yang mereka duga.
“Aku tidak bisa meninggalkannya,” ujar Arlen tegas, matanya memantapkan pilihannya. “Eira mengorbankan dirinya agar kami bisa maju. Aku tidak akan sia-siakan pengorbanannya.”
Finn mengangguk. “Kita akan bersama-sama melawan apa pun yang menghadang. Demi Eira, demi kita.”
Erland tersenyum samar, seolah-olah ia telah menebak jawaban mereka dari awal. “Baiklah. Tetapi bersiaplah. Mulai sekarang, kalian bukan hanya bertempur melawan kegelapan di luar sana, tetapi juga di dalam diri kalian sendiri. Relik itu tidak akan mudah kalian kendalikan.”
Arlen dan Finn mengikuti Erland, melangkah semakin jauh ke dalam hutan yang semakin gelap dan sunyi. Sepanjang perjalanan, Erland menjelaskan bahwa Relik Gelap memiliki kemampuan untuk membuka dimensi lain, tempat kegelapan abadi bersemayam. Hanya para penjaga Kuil Cahaya yang mengetahui cara untuk memanfaatkan kekuatan ini tanpa kehilangan diri mereka dalam kegelapan.
Ketika malam semakin larut, mereka tiba di depan sebuah gua besar yang tampak menyeramkan, pintu masuk ke Kuil Cahaya. “Masuklah,” kata Erland pelan, namun penuh kewaspadaan. “Di dalam sana, kalian akan berhadapan dengan ujian terakhir. Hanya yang terpilih yang bisa menemukan jalan ke dalam kuil.”
Arlen menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Finn merasakan hal yang sama, namun tetap memberanikan diri melangkah maju. Ketika mereka masuk ke dalam gua, suasana berubah total. Dinding-dinding gua memancarkan cahaya redup berwarna biru, seolah memandu langkah mereka.
Tetapi tiba-tiba, cahaya itu meredup, dan suara gemuruh terdengar dari dalam kegelapan. Erland berhenti, menatap mereka dengan serius. “Inilah saatnya. Jika kalian berhasil melewati ujian ini, pintu ke Kuil Cahaya akan terbuka. Namun, jika tidak…”
Suara Erland menggantung, memberi mereka peringatan tak langsung akan bahaya yang menghadang. Finn mengangguk, mengencangkan genggamannya pada belati.
“Eira telah memberi kita kesempatan ini,” ucap Arlen pelan, seakan berbicara lebih kepada dirinya sendiri. “Aku tidak akan mundur.”
Mereka melangkah semakin dalam ke gua yang kini terasa semakin mencekam. Setiap langkah diiringi oleh gema suara derap kaki mereka, seakan memantul kembali dari kedalaman yang tak terduga. Di tengah ketenangan itu, tiba-tiba mereka mendengar suara aneh, seperti bisikan yang datang dari segala arah, membuat keduanya berhenti.
“Arlen, kau dengar itu?” Finn berbisik dengan suara gemetar.
Arlen mengangguk perlahan. “Iya… Suara apa itu?”
Bisikan itu semakin jelas, namun tidak dapat dipahami. Terdengar seperti banyak suara yang berbicara bersamaan, menimbulkan kekacauan yang membuat kepala mereka berdenyut. Erland, yang berdiri sedikit di depan, berbalik dan menatap mereka.
“Ini adalah suara jiwa-jiwa yang terperangkap,” ujar Erland dengan nada muram. “Mereka yang gagal dalam ujian dan tidak pernah berhasil keluar dari gua ini.”
Arlen dan Finn saling pandang dengan ngeri. Mereka baru menyadari bahwa ujian yang dihadapi lebih mengerikan dari yang dibayangkan. Gua ini bukan hanya tempat fisik, tetapi juga medan bagi jiwa mereka.
“Tetaplah fokus,” Erland memperingatkan. “Jika kalian membiarkan suara-suara itu masuk ke dalam pikiran, kalian akan tersesat dan menjadi bagian dari mereka.”
Arlen menguatkan tekadnya, memusatkan pikirannya pada Eira dan pengorbanannya. Ia tahu, jika mereka gagal sekarang, pengorbanan itu akan sia-sia. Finn juga menggenggam belatinya lebih erat, berusaha tetap sadar di tengah bisikan yang semakin mengganggu.
Namun, sesaat kemudian, sebuah suara yang terdengar sangat familiar menyusup di antara bisikan itu—suara Eira, memanggil namanya.