Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Kepedihan Lisa V1
Di dalam sebuah rumah sederhana, suasana begitu hening. Udara di dalam terasa berat, seolah duka yang menyelimuti seisi ruangan tak bisa diusir. Lisa, yang baru saja menjadi korban kutukan, duduk membeku di pojok kamar. Tatapannya kosong, wajahnya pucat. Kehormatan yang hilang bukan hanya merenggut rasa aman, tetapi juga menghancurkan semangat hidupnya.
Bu Alezza, ibunya. Duduk di sampingnya, mengelus pundak Lisa perlahan. "Lisa, ibu di sini. Kamu harus kuat Nak." Suaranya lembut, namun terdengar getir, menyiratkan kepedihan yang tak bisa ditutupi. Lisa tetap tak merespon, matanya lurus ke depan, seolah terputus dari kenyataan yang ada di sekelilingnya.
Ketukan pintu memecah keheningan. Pak Janjan, yang sejak tadi duduk termenung di kursi di dekat pintu, segera bangkit. Dengan wajah lelah, ia membuka pintu dan mendapati Ekot, ketua pemuda desa, berdiri di ambang pintu sambil membawa keranjang buah.
"Pak Janjan, Bu Alezza, kami datang untuk menjenguk Lisa." ujar Ekot dengan suara rendah, penuh empati. "Ini ada beberapa buah dari warga, sebagai tanda simpati kami."
Pak Janjan mengangguk pelan, wajahnya masih dirundung kesedihan mendalam. "Terima kasih Ekot. Kebaikan kalian sangat berarti bagi kami."
Ekot melangkah masuk dan menghampiri Lisa, menunduk dengan hormat. "Lisa... kamu tidak sendiri. Kami semua ada di sini untukmu. Semoga kamu bisa menemukan kekuatan dalam dirimu."
Tak ada jawaban. Lisa tetap diam, matanya tak bergerak sedikit pun. Ekot menghela napas pelan, menyadari betapa dalam trauma yang dialami gadis itu. Setelah beberapa saat, ia menoleh kepada orang tua Lisa.
"Kami semua turut prihatin, Pak Janjan, Bu Alezza. Jika ada yang bisa kami bantu, jangan sungkan untuk menghubungi kami."
Bu Alezza tersenyum tipis, lemah, dan menjawab pelan. "Terima kasih Ekot. Kehadiran kalian sudah sangat membantu."
Ekot pamit, dan dengan penuh kesedihan meninggalkan rumah itu. Langkahnya perlahan menjauh, membawa beban pikiran tentang kutukan yang masih menghantui desa.
Setelah keluar dari rumah Lisa, Ekot berjalan perlahan menyusuri jalan setapak desa. Pikirannya masih tertuju pada Lisa dan keluarganya, serta beban tanggung jawab sebagai ketua pemuda yang semakin hari semakin berat. Langkahnya terhenti ketika dari kejauhan, ia melihat dua pemuda desa, Rumbun dan Mantir, berjalan dengan senyum lebar, masing-masing membawa hasil buruan di punggung mereka.
"Ekot!" panggil Rumbun ketika melihat ketua pemudanya. "Kami baru saja dari hutan. Berhasil dapat beberapa ekor buruan."
Mantir mengangkat hasil buruannya dengan bangga, "Hari ini lumayan banyak. Desa akan makan besar!"
Ekot tersenyum tipis, lalu mendekat. "Bagus sekali. Hasilnya kelihatan melimpah," katanya sambil mengamati hasil buruan itu. Namun, nadanya berubah serius. "Tapi, aku punya permintaan untuk kalian."
Rumbun dan Mantir saling pandang, penasaran. "Apa itu Ekot?" tanya Mantir.
Ekot menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Aku ingin kalian bagikan hasil buruan ini kepada keluarga-keluarga yang anaknya telah menjadi korban kutukan."
Kedua pemuda itu terdiam sejenak. Wajah mereka berubah serius, menyadari betapa beratnya kondisi desa akhir-akhir ini. Mereka tahu betul rasa kehilangan yang dialami keluarga korban.
"Kau benar," jawab Rumbun akhirnya. "Kami paham, keluarga-keluarga itu butuh lebih dari sekadar kata-kata. Kita harus menunjukkan dukungan nyata."
Mantir menambahkan, sambil menepuk bahu Ekot. "Betul. Kami akan langsung ke rumah-rumah mereka setelah ini,"
Ekot tersenyum lega mendengar kesediaan teman-temannya. "Terima kasih. Kalian luar biasa. Aku tahu ini bukan tugas mudah, tapi kita semua harus bersama-sama menghadapi kondisi ini."
Dengan hati ringan, ketiga pemuda itu pun melanjutkan perjalanan, membawa hasil buruan mereka untuk dibagikan kepada keluarga yang membutuhkan. Di balik derita yang menyelimuti desa, rasa kebersamaan dan solidaritas mereka semakin kuat.
Beberapa saat berlalu. Di depan rumah sederhana yang terbuat dari kayu, Ekot duduk di atas bangku kayu tua sambil dengan tekun mengasah tombaknya. Matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan cahaya jingga yang lembut, sementara angin sore berhembus lembut menggetarkan dedaunan. Suara gesekan besi pada batu asah mengisi keheningan desa yang terasa semakin sunyi dengan kutukan yang menghantui.
Tiba-tiba, langkah tergesa-gesa terdengar mendekat. Pak Labih, ayah Rina, muncul di depan gerbang. Wajahnya terlihat cemas dan lelah, seperti telah menanggung beban yang terlalu berat. Nafasnya memburu seakan dia berlari tanpa henti.
"Ekot," panggilnya dengan suara gemetar, “Tolong... Aku butuh bantuanmu malam ini. Aku tak sanggup berjaga sendiri. Rina... Aku takut kutukan itu menimpa anakku.”
Ekot menghentikan gerakannya, menatap Pak Labih dengan tatapan serius. Tombak di tangannya ia letakkan di pangkuannya. Wajah Ekot menunjukkan rasa simpati yang mendalam, namun ia tahu bahwa dirinya sudah tak bisa memenuhi permintaan itu.
“Pak Labih," jawab Ekot lembut namun tegas, "aku ingin sekali membantumu, tapi malam ini aku sudah berjanji untuk berjaga di rumah Pak Purrok. Dia juga meminta bantuanku karena keluarganya sudah terlalu ketakutan."
Pak Labih menghela napas dalam, terlihat sangat kecewa. Mata tuanya berkaca-kaca, namun ia mencoba menahan diri agar tidak terlihat rapuh di depan Ekot. “Rina satu-satunya yang kumiliki... Aku tak tahu harus bagaimana jika kutukan itu datang ke rumahku.”
Ekot memejamkan matanya sejenak, menimbang-nimbang. “Begini saja. Meskipun aku tidak bisa berjaga di rumahmu malam ini, aku akan meminta tiga warga lainnya untuk menemanimu berjaga. Aku pastikan mereka adalah orang-orang yang bisa diandalkan.”
Pak Labih tampak lega. Walau tak langsung dari Ekot, bantuan yang ditawarkan membuat hatinya sedikit lebih tenang. “Terima kasih Ekot... Terima kasih banyak. Aku tak tahu harus bagaimana jika tak ada yang membantuku.”
Ekot mengangguk, tersenyum tipis. “Jangan khawatir. Kita semua di desa ini sedang berjuang bersama. Aku akan segera mengirimkan mereka sebelum malam tiba.”
Pak Labih mengucapkan terima kasih berkali-kali sebelum akhirnya berpamitan. Setelah Pak Labih pergi, Ekot kembali mengasah tombaknya, namun kali ini pikirannya tak tenang. Kutukan yang terus meneror desa ini semakin menambah beban di pundaknya. Namun dia bertekad, walau dengan cara apa pun, dia akan melindungi warganya.
Ekot menatap punggung Pak Labih yang perlahan menjauh. Bayangannya semakin kecil di bawah cahaya temaram matahari yang mulai menghilang di balik bukit. Namun, dalam dada Ekot, rasa marah bergemuruh.
Wajahnya yang tadinya tenang kini berubah kaku, matanya menyipit penuh kemarahan. Ia menggenggam tombak di tangannya lebih erat, jari-jarinya bergetar seiring emosinya yang tak bisa ia tahan lagi.
"Setiap malam." Gumamnya dengan nada rendah, hampir seperti berbisik pada dirinya sendiri. "Ini selalu terjadi. Tak ada yang berubah. Mereka terus hidup dalam ketakutan." Suaranya semakin serak, penuh amarah yang terpendam.
Ekot kembali mengasah ujung tombaknya dengan gerakan cepat, hampir kasar. Bunyi gesekan besi yang cumiakkan telinga terdengar lebih keras dari biasanya, seolah mengimbangi gejolak di dalam hatinya. Ujung tombak itu sudah sangat tajam, lebih dari cukup untuk memotong apa pun yang mencoba mendekati, tapi Ekot terus mengasahnya, seakan itu satu-satunya cara untuk menyalurkan kemarahannya.
Wajahnya menegang, otot-otot di leher dan lengan berkerut seolah siap meledak kapan saja. "Aku muak! Melihat mereka semua ketakutan!" pekiknya dalam hati. "Leluhur, arwah, kutukan... Apa pun itu! Aku tidak akan tinggal diam!"
Setiap kali ingatan tentang para korban, Lisa dan gadis-gadis lain melintas dalam pikirannya, kemarahannya semakin menjadi. Kutukan ini sudah terlalu lama membelenggu desanya, dan setiap kali malam menjelang, ketakutan yang sama datang, membuat setiap orang hanya bisa bersembunyi.
Ekot menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, amarah itu tak sepenuhnya surut. Ia tahu bahwa sebagai Ketua Pemuda, ia tak bisa terus diam. Sesuatu harus dilakukan. Sesuatu yang lebih dari sekadar berjaga dan bersembunyi.
Dengan satu gerakan tajam, Ekot menghentikan asahannya. Tombak itu kini berkilauan di bawah sinar senja yang tersisa. Tatapannya mantap, dipenuhi tekad.
"Malam ini... Aku takan membiarkan satu Gadis pun menjadi korban!" katanya lirih, seolah membuat janji pada dirinya sendiri.
Ia tahu, malam ini akan panjang, dan mungkin ada bahaya yang lebih besar menunggu di luar sana. Tapi kali ini, Ekot tidak akan membiarkan ketakutan mengendalikan mereka.
lanjut nanti yah