Yaya pikir mereka benar sebatas sahabat. Yaya pikir kebaikan suaminya selama ini pada wanita itu karena dia janda anak satu yang bernasib malang. Yaya pikir kebaikan suaminya pada wanita itu murni hanya sekedar peduli. Tak lebih. Tapi nyatanya, ia tertipu mentah-mentah.
Mereka ... sepasang kekasih.
"Untuk apa kau menikahi ku kalau kau mencintainya?" lirih Yaya saat mengetahui fakta hubungan suaminya dengan wanita yang selama ini diakui suaminya sebagai sahabat itu.
(Please yg nggak suka cerita ini, nggak perlu kasih rating jelek ya! Nggak suka, silahkan tinggalkan! Jgn hancurkan mood penulis! Dan please, jgn buka bab kalo nggak mau baca krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertiannya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhirnya tahu
Semburat senja perlahan menghilang ditelan langit malam. Yaya yang tersadar, ia sudah terlalu lama berada di sana pun segera beranjak. Saat melihat jarum jam di pergelangan tangannya, ia berucap istighfar. Karena terlalu larut dalam kesedihan, ia sampai melewatkan waktu Maghrib.
"Astagfirullah. Hampir saja."
Yaya pun segera masuk ke dalam mobilnya. Ia melajukan mobilnya sambil memperhatikan sekitar. Mencari masjid terdekat untuk melaksanakan kewajibannya.
Setelah menemukannya, Yaya pun bergegas turun dan pergi ke tempat wudhu. Ia segera mensucikan diri dan melaksanakan kewajibannya yang hampir saja tertinggal.
Saat salam terakhir, Yaya lantas menengadahkan kedua telapak tangannya. Air matanya mengalir deras. Rasa sakit, sesak, dan kecewa ditumpahkannya dalam sebuah doa. Diadukannya segala kesedihan dan kepedihan selama 35 hari ini pada sang pencipta berharap hatinya bisa lebih tenang dan tentram.
35 hari. 35 hari usia pernikahannya. Tapi satu hari pun ia belum pernah ia lewati dengan kebahagiaan.
35 hari. 35 hari setelah pernikahan. Ia justru menemukan fakta tak terduga di 35 hari setelah pernikahannya.
Hatinya hancur. Hatinya patah. Hatinya tercerai-berai di usia 35 hari setelah pernikahan.
Padahal biasanya, 35 hari pertama setelah pernikahan itu masih hangat-hangatnya. Masih bersemangat-bersemangatnya. Namun yang ia rasakan, justru sehancur-hancurnya.
Yaya mengadu pada Tuhannya. Memohon agar diberikan kekuatan. Memohon agar diberikan ketabahan. Memohon agar diberikan kesabaran.
Setelah selesai, Yaya kembali ke dalam mobil. Ia masih memakai mobil Alifa. Saat teringat tujuannya pergi tadi, Yaya pun melajukan mobilnya menuju apartemen Andrian. Bila awalnya ia hanya akan mengambil beberapa barang saja, maka kali ini ia akan mengambil semua barangnya. Ia pun memastikan ini merupakan terakhir kalinya ia menginjakkan kakinya di sana.
Setibanya di apartemen Andrian, Yaya akun segera mengemas barang-barangnya ke dalam koper yang memang ada di sana. Ia memasukkan semuanya tanpa menyisakan satupun. Bahkan foto pernikahan mereka pun ikut Yaya turunkan. Ia mengeluarkan potretnya dan merobek potret tersebut menjadi potongan kecil lalu membuangnya ke tempat sampah.
Yaya sudah bertekad, ia akan melepaskan Andrian dan membuang segala kenangan tentangnya. Tak ada yang perlu ia perjuangkan, tak ada yang perlu ia pertahankan. Segalanya telah hancur. Luluh lantak tak berbentuk lagi.
...***...
"Sayang, kau ada di mana?" tanya Danang melalui sambungan telepon. Entah mengapa sejak siang tadi, hatinya tidak bisa tenang sama sekali. Bukan hanya dirinya, tapi juga Dina. Lalu laporan dari Djiwa membuat perasaannya semakin tak tenang.
"Pa, tadi Djiwa mampir ke resto terus ketemu sama Mbak Ifa. Pas lagi ngobrol, mbak Ifa keceplosan bilang kalo Mbak Yaya tidur di resto. Djiwa terkejut dong. Pas mau tanya lagi kok gitu, Mbak Ifa malah nggak mau cerita. Mbak Yaya 'kan pengantin baru, kok malah tidur di resto sih. Apa mungkin mbak Yaya diusir sama Kak Rian ya?" ucap Djiwa sore itu saat Danang baru pulang bekerja. Sontak saja Danang jadi khawatir. Ia pun mencoba menghubungi Yaya, tapi Yaya tidak merespon panggilannya sama sekali.
Dengan rasa khawatir yang membuncah, Danang dan Dina akhirnya memilih pergi ke restoran. Namun jawaban Alifa membuatnya tak tenang. Danang tidak hanya menanyakan tentang keberadaan Yaya, tapi juga mengenai kebenaran kalau Yaya tidur di restoran. Awalnya Alifa menolak memberikan penjelasan. Ia bahkan memilih berbohong. Namun karena Danang dan Dina terus mendesaknya, akhirnya Alifa pun mau bercerita tentang apa yang alami Yaya setelah menikah.
Sontak saja Danang dan Dina terhenyak. Mereka terduduk lemas setelah mengetahui fakta tidak terduga itu. Fakta kalau rumah tangga anaknya sedang tidak baik-baik saja. Bahkan Yaya pulang lebih awal sendirian saat bulan madu.
"Yaya ada di apartemen Mas Rian, Pa," jawab Yaya sesak. Mungkin karena terlalu lama menangis tadi membuat suaranya jadi terdengar sengau.
"Suara kamu kenapa?" tanya Danang lembut. Yaya terkejut. Padahal sudah sebisa mungkin ia bersikap biasa saja.
"Yaya ... Yaya hanya sedang sakit tenggorokan, Pa," kilah Yaya.
"Bukan karena habis menangis?" Yaya menelan ludah. Ia tidak menyangka kalau ayahnya bisa menebak kalau ia baru saja menangis.
"Menangis? Hehehe ... Memangnya siapa yang menangis sih, Pa? Yaya beneran sedang sakit tenggorokan. Kayaknya mau flu nih.Yaya tetap saja berusaha berdusta. Ia memang berencana untuk jujur pada kedua orang tuanya, tapi belum saat ini sebab ia merasa belum siap.
"Berhenti berdusta, Nak. Meskipun Papa bukanlah ayah kandungmu, tapi Papa sangat tahu bagaimana anak Papa. Pulang ya, Sayang. Papa tunggu di restoran. Kalau kamu sudah tidak sanggup, pundak Papa masih sanggup untuk menjadi tempatmu bersandar. Kamu masih punya Mama dan Papa, Nak. Telinga Papa masih sehat untuk mendengar segala keluh kesahmu. Kedua tangan Papa juga masih kuat untuk merangkul dan memelukmu. Jangan sembunyikan kesedihanmu, Sayang. Kau tidak sendiri di dunia ini. Ada Mama, Papa, dan Djiwa yang akan selalu menyayangimu," ucap Danang penuh emosi. Emosi kesedihan yang begitu mendalam. Sedih mengapa rumah tangga putrinya yang harus dilanda prahara seperti ini. Namun ia tetap berharap, rumah tangga anaknya akan baik-baik saja.
Tiba-tiba terdengar suara isakan dari bibir Yaya. Ayah sambung rasa ayah kandung. Inilah yang Yaya alami. Danang memang menyayanginya layaknya anak kandung sendiri. Bahkan ia tidak pernah membedakan dirinya dengan Djiwa.
"Yaya, kau kenapa, Nak? Apa perlu Papa jemput ke sana?" panik Danang.
Yaya menggeleng. Namun saat sadar ayahnya tak mungkin melihat gelengan kepalanya, ia pun kembali berbicara.
"Nggak. Nggak perlu, Pa. Sebentar lagi Yaya ke resto."
Danang pun mengiyakan. Setelah mengucapkan untuk hati-hati di jalan, panggilan pun ditutup. Sebelum pergi, Yaya kembali mengedarkan pandangannya. Ia tersenyum getir. Bahkan belum lama ia tinggal di sana, tapi kini ia sudah harus pergi lagi. Bukan pergi untuk kembali, tapi pergi untuk selamanya.
Dipukulnya dada yang sesak. Sebelum akhirnya ia melangkah dengan pasti untuk meninggalkan segala kenangan yang menyedihkan di sana.
Sementara Yaya sedang dalam perjalanan menuju restoran, di kediaman Marissa, tampak ibu satu anak itu sedang memeluk Andrian dari belakang. Keduanya kini sedang berada di balkon kamar.
"Ian, apa setelah ini kita akan segera menikah?" tanya Marissa.
Andrian membalikkan tubuhnya dan memeluk Marissa. "Ya. Kita tidak bisa menundanya lagi. Maaf karena sudah terlalu lama membuatmu menunggu. Maaf karena sudah membiarkanmu berjuang sendiri untuk Tania."
"Tak apa. Tak masalah. Asal setelah ini kita bisa benar-benar menikah, aku sangat senang sekali," ujar Marissa riang. "Oh ya, tadi Yaya bilang mengenai pembatalan pernikahan. Apa kau belum pernah menyentuhnya?" tanya Marissa penasaran.
Andrian mengangguk membuat mata Marissa membola. "Aku tidak pernah menyentuhnya. Hanya kau. Hanya kau yang pernah ku sentuh. Tak ada yang lain."
"Benarkah?"
Andrian mengangguk mantap.
"Ian, aku benar-benar senang sekali. Tapi sejujurnya aku merasa bersalah dengan Yaya. Dia pasti sangat terluka karena kita."
Andrian diam. Sebenarnya ia pun merasakan hal yang sama. Namun untuk mempertahankan Yaya, ia sadar, itu sudah tak mungkin. Namun Andrian pikir, tidak ada salahnya mencoba sekali lagi, bukan. Apalagi memikirkan siapa Yaya. Semua orang pasti akan mencemoohnya saat mengetahui apa yang sudah terjadi. Terlebih rekan sekantornya. Saat itu, ia begitu bangga memperkenalkan Yaya yang merupakan putri seorang dokter. Meskipun Marissa tak kalah hebat sebab ia seorang pemilik butik, tapi bila mendapatkan keduanya, bukankah itu jauh lebih baik.
"Tak usah kau pikirkan. Aku nanti akan kembali meminta maaf padanya."
"Tapi kau akan benar membatalkan pernikahan kalian, bukan?"
"Ah, itu ... i-iya. Bukankah kau sudah dengar tadi kalau aku sudah memilih dirimu. Sudahlah. Jangan bahas ini terus. Aku sudah lapar. Apa kau bisa memasakkan sesuatu untukku?"
Marissa mengerucutkan bibirnya. "Ian, kamu 'kan tau aku nggak bisa masak. Kok malah nyuruh masak sih!" omel Marissa. Ia yang tadinya tersenyum girang di pelukan Andrian kini berubah cemberut.
"Eh, aku ... lupa."
Entah mengapa, tiba-tiba ia mengingat masakan Yaya.
...***...
...Happy reading 🥰 🥰 🥰 ...
'