Saat acara perayaan desa, Julia justru mendapati malam yang kelam; seorang lelaki asing datang melecehkannya. Akibat kejadian itu ia harus mengandung benih dari seseorang yang tak dikenal, Ibu Asri yang malu karena Julia telah melakukan hubungan di luar nikah akhirnya membuang bayi itu ke sungai begitu ia lahir.
3 tahun kemudian, dia pergi ke kota untuk bekerja. Namun, seorang pria kaya mendatanginya untuk menjadi pengasuh anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 - Dua Lelaki Penguntit
Karena Pak Bima cuma mengajar jam pertama saja, aku akhirnya bisa mengambil shift pagi di kampus. Dia juga mengizinkan untuk kerja dulu, selagi beliau mengurus Lily sampai aku pulang.
"Biar saya antar sekalian."
"Loh, tidak usah Pak."
"Jarak rumah saya ke kampus itu hampir sama dengan jarak kontrakan lama kamu ke sini." Jelas Pak Bima sambil membenarkan Jas-nya. "Ada ongkosnya?"
Aku cuma nyengir, menggeleng pelan. Malu-malu.
"Ya sudah," balasnya. "Sekalian saja."
"Memangnya Pak Bima gak malu? Antar cleaning service ke kampus?"
"Saya sih tidak. Tapi kalau kamu yang malu, nanti saya turunkan di halte saja."
"Jalan kaki, Pak?"
"Iya, hitung-hitung olahraga."
Bibirku lantas mengerucut begitu beliau pergi duluan ke mobil. Padahal kan aku cuma basa-basi. Sudahlah, aku pasrah lalu ku ikuti langkahnya dari belakang.
Aku berangkat kerja sambil menahan kantuk. Di kepalaku seakan ada planet mungil yang beratnya sama dengan bumi. Seluruh energi ku terserap daya gravitasinya yang dahsyat. Beruntung, aku tadi menikmati sarapan dengan ekstra kadar gula tinggi. Dua gelas susu cokelat buatan Pak Bima, dua potong pie strawberry, dan segelas air mineral.
Kami masuk mobil kemudian Pak Bima mulai tancap gas. Kami mulai menyusuri jalanan yang belum ramai.
Sesampainya di tujuan, Pak Bima memang berhenti di halte. Lantas aku segera turun dan berpamitan, terima kasih juga.
"Pak, saya duluan ya. Terima kasih tumpangannya."
Pak Bima menjawab cuma dengan mengangguk sekilas.
Aku berjalan pelan, karena memang belum terlambat. Cuma anehnya, kenapa mobil Pak Bima masih belum lewat, akhirnya aku menoleh ke belakang. Kulihat mobilnya masih terparkir di sana. Oh, mungkin dia sedang menelpon atau lagi ada sesuatu. Pikirku.
Namun, langkahku semakin lambat saat aku merasakan ada yang mengikutiku dari belakang. Aku menengok lagi, dan betapa terkejutnya aku melihat mobil Pak Bima tepat di belakang ku.
"Silahkan, Pak." Kataku seraya mengayunkan tangan ke depan.
Tapi Pak Bima diam saja. Tadinya kupikir aku menghalangi jalannya, makanya aku minggir.
"Silahkan Pak, maju." Aku mengulangi kata-kataku. Lagi-lagi Pak Bima diam, tak menggubris.
"Kenapa sih?" gumam ku, tanpa mengharapkan lagi jawabannya. Yang dapat kulakukan sekarang cuma melanjutkan perjalanan, toh sebentar lagi sudah mau sampai.
Sambil jalan, kudengar mesin mobil Pak Bima masih tancap gas, tapi lambat sekali. Tidak mendahului ku, tapi tepat di belakang ku, seperti mengiring, persis penguntit yang niatnya jahat.
"Maju, Pak. Maju!" Aku memerintah layaknya juru parkir yang mengatur arah.
Mobilnya tidak bergerak. Sayang kaca depannya di pasang kaca film sehingga memotong jarak pandangku.
"Pak?!"
Akhirnya aku memutuskan mendatangi dia, ku ketuk kaca mobilnya. Dan beruntung kali ini dia merespon.
"Kenapa tidak maju, Pak?"
"Memangnya kenapa?"
Keningku mengernyit. "Pak Bima kenapa tidak maju? Kan dari tadi saya sudah ayun-ayunkan tangan begitu."
"Saya tidak niat mendahului kamu."
"Lah, terus?"
"Apanya?" Dia balik tanya, bikin heran saja. "Saya kan tadi bilang mau antar kamu. Ya sekarang saya iringi."
"Hah?" Aku menautkan kedua alisku. "Terserah Pak Bima, ah. Bingung jadinya mutar-mutar."
Dia cuma mengangguk, mengangguk kecil demi menjaga gengsinya.
Sampai di tempat kerja, Mas Andrean menyambutku dengan gayanya yang khas. "Selamat pagi Mbak. Pagi yang baik, ya?" Ia berdiri di depan pintu dengan tangan kanan di masukkan ke dalam saku celana, seakan dialah pemilik universitas ini.
Mas Andrean adalah salah satu mahasiswa di sini. Berkat dia aku bisa akrab dengan mahasiswa yang lain ketika pertama kali bekerja di sini. Dia memiliki pembawaan yang mirip Al Pacino, bintang film idolanya: elegan, berani mengambil resiko, dan pandai bicara.
"Kenapa kemarin aku tidak lihat Mbak Jul, ya?"
"Saya izin, Mas. Ada kerjaan."
Aku segera masuk ke ruang kerja, menyandarkan tubuh ke kursi lipat di belakang meja dapur. Sesekali rasa kantuk kembali menyerangku, membuatku berkali-kali harus memijat mataku yang nanar dan perih.
"Kerja apa sih?" Mas Andrean ternyata mengikuti ku, ah apa lah semua lelaki pagi ini. Apa sekarang sedang trend menguntit.
"Ada lah, Mas. Saya dapat kerjaan baru, jadi pengasuh anak." Aku mendongak, seraya menyunggingkan senyum untuknya.
Mas Andrean menarik kursi di sebelahku dan duduk di sana. "Makin hebat ya, Mbak Jul sekarang."
"Terima kasih, Mas." Aku senyum lagi. "Tapi berlebihan, ah."
"Nih," Mas Andrean meletakkan kopi kalengan di atas meja. "Minum, gih. Biar tidak ngantuk lagi."
Ku pandangi kopi itu, entah kapan Mas Andrean membelinya. Dan entah apakah memang niat awalnya di belikan untuk siapa. Tapi, meskipun usia ku dan Mas Andrean sama, dia tidak canggung sedikitpun untuk menegur atau baik begini padaku.
"Terima kasih, ya Mas." Kataku, lantas kuambil Kopi itu dan menenggaknya.
"Capek, ya?"
"Hmm??" Aku melihatnya dari sudut mataku.
"Tidak apa-apa, hitung-hitung belajar jadi Ibu." Ujarnya. "Sama seperti ku sekarang, belajar yang baik biar nanti bisa cari uang yang banyak. Hitung-hitung belajar jadi calon ayah sekaligus kepala rumah tangga."
"Uhuk uhuk uhuk!" hampir saja aku tersedak. "Maaf, Mas." Kataku sambil menepuk-nepuk dada layaknya seorang badut.
Dia malah tertawa, membuatku makin malu saja.
"Jangan capek-capek ya, Mbak Jul. Doakan aku cepat lulus, biar kamu bisa istirahat."
Walaupun aku tidak mengerti maksudnya. Tapi aku pasti aamiinkan. Aku mengagumi kecerdasan sekaligus caranya menjelaskan dasar pikirannya dalam menjalani pilihan hidupnya. Dia tampak lebih matang dari usianya, sekalipun dalam beberapa hal watak remajanya terlihat jelas.
Mas Andrean pun pergi.
Sambil menghabiskan kopi, tiba-tiba aku teringat pada Pak Bima. Sudah memarkirkan mobilnya, dia kemana ya? Langsung ke ruangannya kah? Eh tapi hari ini dia berangkat lebih pagi dari biasanya.
Kenapa ya? Apakah dia sengaja datang pagi untuk mengantarku biar aku tidak terlambat?
Lalu kenapa tadi mengiringiku dari belakang?
Kenapa kemarin dia memegang tanganku?
Dan sialnya, kenapa aku jadi memikirkan ini? Kenapa aku jadi gila begini?
Saat menikmati lamunan, rupanya ponsel ku bergetar, notifikasi sebuah pesan. Lekas kulihat.
[Nanti siang, saya dan Lily yang jemput. Lily mau kita bertiga makan di luar hari ini.]
Ini pertama kalinya Pak Bima mengirimi ku pesan.
[Siap, Pak] Balasku cepat.
Kupandangi layar di telpon, harap-harap ada balasan lagi. Tapi sayangnya cuma berubah centang biru, Pak Bima cuma baca pesanku saja. Ya sudahlah.
"Benar kata Mas Andrean," gumam ku cengengesan. "Ini pagi yang baik."
...****************...
Halo, ini author sanskeh 🫡
Sebelum kejauhan, author izin memperkenalkan Visual tokoh di novel ini dulu ya, biar makin enak menghalu.
NB : INI VERSI AUTHOR, KALAU KAKAK PUNYA VISUAL YANG LAIN, GAPAPA BANGETTT (◠‿◕)
1. Pak Bima (Bima Cakra Samudera)
2. Julia (Julianne Risma)
Tabarokallah...Aamiin, moga sukses dilancarkan sesuai harapan 💪💪💪
Alhamdulillah... selamat ya kk🤗
Sukses selalu