[Update tiap hari, jangan lupa subscribe ya~]
[Author sangat menerima kritik dan saran dari pembaca]
Sepasang saudara kembar, Zeeya dan Reega. Mereka berdua memiliki kehidupan layaknya anak SMA biasanya. Zeeya memenangkan kompetisi matematika tingkat asia di Jepang. Dia menerima hadiah dari papanya berupa sebuah buku harian. Dia menuliskan kisah hidupnya di buku harian itu.
Suatu hari, Zeeya mengalami patah hati sebab pacarnya menghilang entah kemana. Zeeya berusaha mencari semampu dirinya, tapi ditengah hatinya yang terpuruk, dia malah dituduh sebagai seorang pembunuh.
Zeeya menyelidiki tentang masa lalunya. Benarkah dia merupakan seorang pembunuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 | Satya
Dear, diary …
Aku belum berhasil menemukan Kairo. Jujur saja, sulit bagiku untuk melupakannya tapi ada masalah baru yang muncul. Sebuah surat yang tidak kutahu dari mana asalnya menuduhku seorang pembunuh. Jelas-jelas aku tidak pernah melakukan tindakan kriminal apa pun.
Aku akan menyimpan surat itu di buku ini agar tidak hilang. Aku takut saat membacanya. Kuanggap itu adalah surat yang dikirim oleh orang iseng. Tapi kata-kata yang tertulis di sana tidak bisa disebut keisengan biasa.
Sepertinya tidak ada yang bisa kuminta tolong kecuali buku harianku sebagai tempat curhat dan Reega sebagai tempat untuk aku menangis. Oh, iya… aku belum memberitahukan surat itu pada Reega. Sekarang dia pasti sudah tidur. Besok akan kuberi tahu saja di sekolah agar beban pikiranku berkurang sedikit.
^^^-Adila Zeeya Vierhalt-^^^
...****************...
“Ah, aku salah lagi mengisi lembar jawaban,” ucapku sembari mengoreksi kertas hasil jawabanku.
Aku berkumpul Bersama anggota tim dua kompetisi matematika untuk bimbingan bersama. Tanpa ditemani oleh pembina kami karena beliau sedang rapat bersama para guru.
Kami mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh Pak Kurnia. Beberapa hari ini aku tidak bisa fokus belajar karena sibuk memikirkan Kairo. Padahal uji coba kompetisi tinggal lima hari lagi.
“Jangan banyak melamun, Zee! Kamu banyak salah di soal geometri. Kalau terus begitu, tim ini bisa kalah.” Dela Kusuma, anggota tim kami yang ketus itu mengomeliku.
“Sudah aku bilang, beri aku bagian mengerjakan soal aljabar. Kamu sendiri yang memaksaku untuk ambil bagian di soal geometri.” Aku tidak terima diomeli seperti itu.
“Bukankah dari awal kita sudah sepakat untuk membagi bagian soalnya secara adil? Dengan kemampuanmu yang seperti itu, aku tidak percaya kalau kamu mendapat medali emas saat Olimpiade di Jepang …”
Dela, aku tidak suka sifatnya yang seperti itu. Aku tahu dia berambisi sekali untuk menang, tapi caranya bukan dengan meremehkan anggota timnya sendiri. Bisa-bisa tim kami kalah di babak seleksi karena perselisihan antar anggota tim.
Satya menghentikan perselisihan kami berdua, “sudah … kalian berdua berhenti bertengkar. Lebih baik kita menyusun strategi untuk uji coba nanti.”
Dia melanjutkan, “Adila, bagianmu mengerjakan soal aljabar dan cobalah untuk fokus mengisi lembar jawaban. Jangan sampai tertukar menulis jawaban soal pilihan ganda di lembar jawaban.”
“Baik!” aku mengiyakan apa yang dikatakan Satya, memang salahku sebab kurang teliti.
“hi hi hi … katanya dapat medali emas. Tapi nulis abjad, ABCDE aja salah!” Dela mengejekku.
Kukepalkan tanganku, aku geram. Rasanya ingin kujambak rrambut Dela ang lurus lancip itu. Sabarlah, Zeeya ... kamu tidak boleh melakukan kekerasan terhadap perempuan. Aku menarik napas untuk menenangkan diri.
“Dela, karena kamu bisa menghitung cepat, kami mengandalkanmu untuk soal yang perhitungannya rumit. Sementara aku yang akan mengerjakan soal geometri.” Satya meneruskan perkataannya.
“Oke. Kalau gitu langsung saja kita latihan lagi. Kali ini target kita menyelesaikan 20 soal.” Dela menambahkan.
...…...
“Huh …! capek banget tadi bimbingannya. Si Dela itu nggak tahu diri! Padahal waktu untuk bimbingan cuma dua jam. Tapi gara-gara dia minta membahas jawaban saat Pak Kurnia datang, waktunya nambah jadi tiga jam!” aku bergumam kesal kepada si Dela itu sembari berjalan menuju perpustakaan.
Aku berniat istirahat di perpustakaan alih-alih kembali ke kelas untuk belajar. Karena otakku sedang panas sekarang, perpustakaan adalah tempat pilihanku untuk mendinginkannya. Meski di sana tidak ada AC, lantai perpustakaan sudah cukup dingin. Aku biasa berbaring di sana sambil membaca buku.
Aku membuka pintu perpustakaan. Sudah kuduga, sepi seperti biasanya. Hanya terlihat satu sosok di sana, Reega. Kebetulan juga aku perlu teman untuk mengobrol.
“Loh, Ree kamu di sini?”
“Iya. Di kelasku lagi jam kosong. Makanya aku di sini,” jawab Reega.
“lagi baca apa, Ree?” aku bertanya sembari melihat cover buku yang dipegangnya.
Terdengar suara pintu dibuka, aku dan Reega sempat kaget. Aku menoleh ke arah sumber suara, sampai terlihat seseorang masuk sembari menutup Kembali pintu yang terbuka. Hah… untunglah itu bukan hantu. Aku sempat mengira perpustakaan ini horor sesaat.
Reega beranjak dari kursi yang dia tempati, “aku balik ke kelas dulu ya, Zee.”
“Eh, Ree! Tunggu. Aku mau bicara sesuatu ...” ucapanku belum selesai, Reega tak menghiraukannya.
“Nanti aja di rumah kita bicarakan.” Reega tetap beranjak pergi.
Aku heran dengan saudara kembarku itu. Dia seakan tidak suka ada orang lain di tempat dia menyendiri. Terkadang aku menyayangkan sifat introvert-nya itu. Apakah Reega juga tidak pernah mengobrol bersama teman sekelasnya?
“Satya.” Aku menyapanya, orang yang barusan masuk tadi adalah Satya.
“Adila? Kamu kok nggak masuk kelas? Tadi aku lihat di kelasmu ada pelajaran, loh.”
“Aku … mau istirahat dulu. Kepalaku pusing habis bimbingan tadi, aku udah ijin ke guru di kelas.”
“Oh.” Satya menjawab singkat.
“By the way, nama panggilanku Zeeya, bukan Adila. Kamu mau ngapain ke perpus?” tanyaku pada Satya.
“Mau numpang WIFI.”
Aku tidak memperhatikan kalau Satya sedang menenteng tas laptop. Kupikir dia sama sepertiku, pergi ke perpustakaan hanya untuk tiduran di lantai.
Di perpustakaan sekolah kami hanya ada satu meja besar yang dikelilingi banyak kursi. Satya duduk di salah satu kursi itu, sementara aku sibuk memilih buku yang hendak kubaca. Kuurungkan niatku untuk tiduran di lantai sebab ada Satya di sini. Setelah memilih beberapa buku, aku membawanya untuk dibaca di kursi samping Satya.
Sambil membolak-balik halaman yang kubaca, sesekali kutengok Satya yang sedang sibuk dengan laptopnya. Kulihat dia andal memainkan keyboard dan juga mengetik kode yang muncul di layar laptopnya.
“Kamu bisa coding, Sat?” aku berusaha membuka obrolan.
“Iya,” jawabnya.
“Berarti kamu hacker?” tanyaku penasaran.
“ha ha … aku belum pantas untuk disebut sebagai hacker.”
Aku jadi kepikiran sesuatu, “Satya …” tapi aku ragu untuk mengucapkannya.
“Ya?” Satya menengok ke arahku.
“… apa aku boleh minta tolong?”
“Kalau aku bisa, pasti kutolong.”
“Anu … pacarku sekarang pindah ke luar kota. Tapi aku tidak tahu ke mana. Dia menghapus akun sosmed-nya, nomor teleponku juga di blok. Apa kamu bisa menyadap HP-nya dari jarak jauh atau melacak lokasinya, mungkin?” akhirnya aku melontarkan keinginanku pada Satya.
“Hem …” Satya berpikir sejenak, “menyadap handphone milik orang tak dikenal itu ilegal. Tapi kalau melacak lokasinya … mungkin aku bisa.”
Hah... aku lega sekali mendengar jawabannya. Aku bisa menemukan titik terang meski sedikit.
“Tidak masalah.” Aku memberinya nomor HP milik Kairo yang diminta Satya.
“Beri aku waktu satu hari. Besok datanglah ke kelasku saat jam istirahat pertama,” kata Satya.
...…...
Semua jam pelajaran telah selesai, kini waktunya untuk pulang. Aku mengambil tas yang kusimpan di loker terlebih dahulu sebelum pulang. Tak disangka aku menemukan surat yang sama seperti kemarin.
Anehnya, surat itu tertindih oleh tasku. Aku tidak menyadari keberadaan surat itu tadi pagi, sebab aku terburu-buru menaruh tas dan segera pergi ke ruang guru untuk bimbingan. Berarti orang yang meletakkan surat itu datang lebih dulu daripada aku.
...‘Zeeya Vierhalt’...
Tulisan di amplop surat itu sama persis seperti kemarin. Entah dari mana sang pengirim tahu nama belakang sekaligus nama keluargaku.
...‘Zeeya Vierhalt, apakah kamu masih hidup dengan tenang setelah merenggut nyawa orang lain? Kamu bahkan tidak tahu ada orang yang hidupnya menderita karena ulahmu! Aku ingin kamu merasakan penderitaan yang sama seperti itu.’...
Kali ini aku mengabaikannya. Aku ingin fokus terlebih dahulu untuk uji coba kompetisi yang akan segera diadakan. Kalau aku memikirkan hal lain, bisa-bisa timku kalah pada babak seleksi. Termasuk hilangnya Kairo, aku hanya ingin tahu di mana dia berada. Kemudian aku akan mencarinya setelah kompetisi berakhir.
.........
dari judulnya udah menarik
nanti mampir dinovelku ya jika berkenan/Smile//Pray/
mampir di novel aku ya kasih nasihat buat aku /Kiss//Rose/