Max membawa temannya yang bernama Ian untuk pertama kalinya ke rumah, dan hari itu aku menyadari bahwa aku jatuh cinta padanya.
Mungkinkah dia bisa menjadi milikku meski usia kami terpaut jauh?
note: novel ini dilutis dengan latar belakang luar negeri. Mohon maklumi gaya bahasanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 11
Hari itu tiba, dan seperti biasa, ibuku tidak ada di sini. Padahal dia tahu aku akan melahirkan beberapa minggu lagi, tapi dia malah memutuskan ikut Richard ke Spanyol untuk urusan bisnis. Katanya cuma tiga hari, tapi sekarang aku sendirian di ruangan ini, berteriak kesakitan sampai akhirnya dokter bilang, "Sudah waktunya."
Aku belum pernah merasa sebahagia ini ketika Diego masuk lewat pintu. Meskipun dia bukan ibuku atau anggota keluargaku, selama beberapa minggu terakhir dia lebih sering ada untukku daripada siapa pun. Kami jadi sangat dekat sejak aku keluar dari rumah sakit, dan kehadirannya bikin aku nggak merasa sendirian.
Jam-jam persalinan terasa lama sekali. Ketika dokter bilang, "Beri dia epidural," rasanya seperti keajaiban. Aku nggak pernah merasa lebih bahagia dalam hidupku.
Awalnya, aku pikir Diego yang bakal menemani aku saat bayiku lahir. Tapi, di luar dugaan, Max datang lebih cepat dari yang kukira. Dia tiba-tiba bilang ke Diego kalau dia yang akan ikut denganku. Diego nggak memperdebatkan itu, dia cuma mengangguk dan menunggu di ruang tunggu.
“Tahan, Megan!” Itulah satu-satunya yang kudengar dari Max. Rasa sakitnya begitu hebat, aku nggak bisa mendengar apa-apa lagi. Aku yakin tangan Max mungkin perlu digips setelah ini karena aku mencengkeramnya begitu kuat.
Setelah berkali-kali teriak, sakit, keringat, dan air mata, semua berubah warna bagiku. Dalam beberapa bulan terakhir, hidupku terasa kelabu, tapi sekarang, semuanya kembali berwarna, warna yang cuma bisa diberikan oleh seorang bayi.
Semua rasa sakit itu sepadan.
Pukul 11:31, Aransa Sofia Schmidt lahir.
Max mencium keningku dan bilang betapa bangganya dia padaku.
Aku hanya bisa memeluk bayiku sebentar sebelum mereka membawanya untuk dibersihkan, tapi momen singkat itu terasa begitu luar biasa. Dia punya rambut tipis, dan tangannya langsung mengarah ke mulutnya, persis seperti saat dia masih di perutku. Kulitnya agak pucat, dan aku menunggu dia membuka matanya untuk melihat apakah dia punya mata zaitun yang selalu kusuka, tapi ternyata belum. Dokter bilang, beberapa bayi memang membuka mata mereka beberapa saat setelah lahir.
Max nggak bisa berhenti menatapnya, dia benar-benar terpukau.
“Megan, dia cantik banget,” katanya. “Ibu bakal nyesel melewatkan momen seperti ini.”
Menyebut nama ibuku membuatku sedikit sedih, tapi aku segera menepis perasaan itu. Aku baru saja membawa hal terpenting dalam hidupku ke dunia, dan aku nggak mau ada yang merusak momen ini.
“Sekarang waktunya membawa dia ke area neonatal, Megan. Sebentar lagi dia akan dibawa kembali supaya kamu bisa menyusuinya.” Aku nggak mau melepaskannya. Dokter harus bilang beberapa kali sampai akhirnya aku menyerah.
Max mengejar dokter itu, sepertinya dia nggak mau ninggalin bayiku sendirian. Mereka memindahkanku ke sebuah kamar. Setelah beberapa saat, Diego datang dan mulai bercerita betapa baiknya mereka merawat bayiku.
Max masuk, menatapku, lalu mendekat dan berbisik, “Dia udah buka matanya, kamu nggak bisa terus sembunyi, Megan. Matanya sama persis kayak dia.”
***
*POV IAN:*
Aku memutar-mutar sendok di dalam mangkuk sereal tanpa henti. Bahkan kalaupun aku mau, rasanya sulit banget buat nggak ngebandingin mereka dengan Megan. Yang lebih parah, aku tahu mereka nggak ada mirip-miripnya sama sekali. Setiap kali cewek-cewek yang dekat denganku punya sedikit kemiripan dengan Megan, aku langsung menjauh. Begitulah, si gadis pirang yang sekarang ada di tempat tidurku ini, selalu nempel kayak permen karet. Aku pengen kasihan sama dia, sungguh, tapi nggak bisa. Dari awal aku udah jujur sama dia, aku bilang jangan terlalu berharap karena aku tahu gimana rasanya saat kamu dibawa ke atas, cuma untuk dijatuhin lagi. Patah hati itu hal yang paling nyebelin.
Aku meraih tabletku dan mulai scroll media sosial. Aku tergoda buat cari tahu kabar Megan, kayak biasanya. Atau mungkin nyari Max, buat dapat kabar tentang dia. Tapi aku berhenti. Aku nggak mau balik ke masa-masa kelam itu—kesedihan dan keputusasaan. Bukan berarti sekarang aku bahagia banget, tapi aku udah lebih baik dibanding beberapa bulan pertama setelah kami pisah. Aku nggak mau balik lagi ke situ.
Bukan salah Max, aku tahu itu, tapi berurusan sama dia adalah jembatan langsung ke Megan. Dan saat ini, itu hal terakhir yang aku inginkan. Udah delapan bulan sejak aku terakhir kali melihatnya, dan aku nggak mau tahu apa-apa tentang kehidupannya sekarang. Nggak mau tahu siapa yang ada di sisinya atau siapa yang menggantikan aku. Sial! Kenapa aku malah mikirin hal itu? Sekarang, aku cuma punya satu tujuan dalam hidup, dan aku nggak akan berhenti sampai berhasil. Sisanya, aku nggak peduli.
Aku tersenyum sendiri. Kalau ibuku dengar aku ngomong kayak gini, dia pasti bakal mencabut hak warisku.
Aku mengirim email ke Profesor Albhus dan menyebar resumenya ke beberapa firma hukum kalau-kalau dia nggak bisa bantu. Setelah itu, aku mematikan tablet dan meletakkannya di meja.
Gadis pirang itu pasti sudah tertidur. Aku menulis catatan singkat untuknya dan pergi ke gym.