"Maukah kau menikahi ku, untuk menutupi aib keluarga ku?" tanya Jisya pada seorang satpam yang diam menatapnya datar.
Kisah seorang gadis yang lebih rela di nikahi oleh seorang satpam muda demi tidak menikah dengan seorang pengusaha angkuh dan playboy.
Sanggupkah satpam datar itu bertahan di tengah-tengah keluarga istrinya yang sering menghinanya? atau dia memilih pergi saja? dan siapa kah sebenarnya satpam muda itu?
Mari ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Menumpang Hidup, Tapi Berbagi Hidup.
"Gak bisa gitu dong, Pa. Jisya Kosmetik itu aku yang membangunnya dengan jerih payah ku sendiri, memang benar uang yang aku dapatkan untuk membangun toko itu ada lah uang dari Papa. Tapi apa Papa lupa? aku ini juga anak Papa sama Mama, seperti yang lainnya. Aku juga sebelum menikah adalah tanggung jawab Papa."
"Aku nggak pernah merepotkan Papa sama Mama. Aku tetap berjuang sendirian tanpa harus membebankan kedua orang tuaku, aku kuliah juga hasil dari uangku sendiri yang aku dapatkan dari jualan online ku sebelum aku membuka toko. Aku tidak pernah mengandalkan kekayaan keluarga ini."
"Tapi saat aku sudah mencapai apa yang aku impikan, kenapa kalian tega ingin mengambil semua yang aku miliki. Bukankah itu namanya keterlaluan? Itu sama saja Papa merampas kerja keras ku selama ini."
"Buka mata Papa, aku juga darah daging mu pa. Aku juga lahir karena keinginan kalian, tapi kenapa kalian seolah-olah menghitung semua yang pernah kalian berikan padaku."
"Kenapa Papa sangat keterlaluan.." Ucap Jisya dengan nada yang bergetar hebat menahan rasa sesak yang terasa menghimpit dadanya.
"Bukan toko Jisya Kosmetik yang membuat aku seperti ini, Pa. Tapi perjuangan ku berada dalam Jisya Kosmetik. Karena dari bangku sekolah dasar lagi, sehingga aku menjadi sarjana. Aku sudah memperjuangkan Jisya Kosmetik. Jadi ku mohon, Pa. Jangan perlakukan aku dengan cara yang tidak adil seperti ini..." Jisya memohon dengan pandangan redup berharap Papanya tidak meminta untuk dia memberikan Jisya Kosmetik kepada Kakaknya.
Arga yang mendengar ucapan istrinya yang sudah memperjuangkan Jisya Kosmetik dengan sepenuh hati, di buat bangga karena bisa menikah dengan wanita mandiri seperti Jisya.
Papa Damar terlihat terdiam seperti sedang memikirkan ucapan putrinya.
Sasa yang melihat Papanya ingin berubah pikiran, buru-buru mengeluarkan suara lagi dengan mengusir Jisya. Karena dia sangat ingin memiliki Jisya Kosmetik milik adiknya.
"Tidak usah terlalu banyak berdrama! Segeralah pergi dari rumah ini, karena orang-orang dalam rumah ini sudah muak melihat wajahmu dengan wajah suami miskinmu itu!" Bukannya iba, Sasa malah dengan sengaja mengusir adiknya.
Jisya masih menatap Papanya dan berharap jika pria paruh baya itu kembali menarik ucapannya yang memintanya untuk menyerahkan Jisya Kosmetik kepada kakaknya.
Tapi siapa yang menduga kalau Damar benar-benar masih terlalu marah karena kasus pembunuhan itu sehingga membuat hatinya dibutakan dan tidak melihat jika Jisya juga adalah putrinya kandungnya sendiri.
"Pergi dari rumah ini, seperti yang di katakan oleh kakak-kakak mu. Jangan membawa satupun barang milikmu dari rumah ini." Ucap Damar mantap.
Jisya akhirnya sadar dengan ucapan suaminya beberapa hari yang lalu di mana suaminya mengatakan dalam keluarganya itu, siapa yang terjatuh, maka dialah yang ditindas.
Kini Jisya membuktikan nya sendiri apa yang ucapkan suaminya itu semuanya benar.
Mengangguk pelan dengan perasaan yang hancur.
"Baiklah, aku akan pergi dari sini, semoga setelah aku tidak berada dalam rumah ini lagi, Papa sama Mama dan yang lainnya akan bahagia dan tidak akan pernah mendapat musibah."
Usai mengeluarkan kalimat itu Jisya membalik badan dan melangkah keluar dari rumah Papanya.
Arga tentu saja langsung menyusul istrinya dari belakang dan diam-diam memperhatikan wajah istrinya yang sudah berhenti dari tangisannya.
"Ayo kita kembali ke rumah. Ajak Arga pada istrinya untuk kembali ke rumah yang disiapkan untuk satpam yang menjaga di kompleks itu.
Jisya hanya diam dan mengikuti suaminya yang menarik lembut lengannya.
Tiba di rumah suaminya, wanita itu masih saja terus berdiam diri dan mendudukkan dirinya di sofa ruang tengah.
Jisya mengangkat pandangan melihat ke arah suaminya yang mengambil handuk seperti ingin pergi membersihkan tubuhnya.
"Mas." Panggilnya kepada suaminya.
"Hm?" Pria itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Jisya.
"Maaf, karena aku harus menumpang hidup dengan kamu, yang pastinya akan menambah beban buat Mas Arga..." Ujap Jisya menunduk karena tidak sanggup bertatapan dengan tetapan dingin suaminya.
"J-jika Mas Arga merasa ingin menceraikan aku, maka aku siap menerima itu, Mas. Aku juga khawatir kalau aku hanya akan..." Jisya menghentikan kalimatnya karena dia dapat merasakan tatapan suaminya yang semakin dingin saat mendengar kata cerai dari bibirnya.
Arga sangat tidak suka mendengar ucapan istrinya yang berkata cerai. Karena itu semua tidak pernah terlintas di pikirannya.
Tap tap tap
Terdengar langkah kaki Arga yang mengarah mendekati istrinya membuat Jisya merasa tegang karena berpikir suaminya akan menyakitinya karena tersinggung dengan ucapannya barusan, mengingat terakhir kali dia bertemu dengan Arga seusai malam pertama mereka, pria itu sempat menyakitinya dengan memegang keras dagunya hanya karena dia menangis seusia dia menyerahkan mahkotanya pada pria itu yang di salah tanggapi oleh suaminya sendiri berpikir dia menyesal.
Glek
Diam-diam Jisya menelan salivanya kerena takut dengan karakter suaminya yang kadang suka berubah-ubah menurutnya.
Saat Arga mengambil posisi duduk di sampingnya. Jisya semakin di buat tegang.
"Kenapa kau berkata seperti itu?" Tanya Arga terdengar lembut membuat Jisya bisa merasa sedikit tenang.
"A-aku hanya takut menjadi beban buat kamu, mengingat bukan Mas Arga yang mau menikah dengan ku, tapi aku yang memohon agar Mas Arga mau menikahi ku... Dalam keadaan seperti ini, secara tidak langsung, aku sudah merepotkan Mas Arga untuk menanggung segala kebutuhan ku, karena aku menumpang hidup dengan mu, Mas.." Suara Jisya Terdengar lirih dan masih menunduk.
"Kau tidak perlu memikirkan itu semua, jalani saja seperti biasa. Tapi mungkin kehidupan mu akan sangat jauh berbeda dari sebelumnya, karena aku bukan laki-laki yang punya apa-apa yang bisa aku persembahkan untuk kamu. Jadi aku berharap kamu bersabar dengan perekonomian yang sangat terbatas ini."
"Tanpa aku menjelaskan pada kamu, pasti kamu sudah tahu seperti apa kondisi perekonomian orang-orang dari kalangan bawah seperti ku." Ucap Arga terdengar lembut dan merapikan jilbab istrinya.
Jisya memberanikan diri menatap netra suaminya. "Benarkah kamu tidak keberatan aku menumpang hidup dengan kamu Mas?"
Arga menggeleng. "Bukan penumpang hidup, tapi kau adalah tanggung jawabku yang memang sudah sepantasnya untuk aku jaga dan aku pelihara, dan itu adalah wajib bagi seorang suami."
"Seperti apapun cara kita menikah sebelumnya, tapi tanggungjawab, tetap lah tanggung jawab. Karena itu sudah menjadi pilihan hidup kita masing-masing, tidak bisa dijadikan bentuk pernikahan dengan adanya paksaan yang membuat kita menjadikan itu alasan untuk lepas atau lari dari tanggungjawab."
"Dan kehidupan sebenar dari suami istri juga saling bergantung antara satu sama lain. Tidak ada yang namanya menumpang hidup. Yang ada hanya saling berbagi kehidupan, entah itu pahit atau manis, tergantung pasangan itu sampai di titik mana mereka mampu mempertahankan kerasnya sebuah kehidupan karena tuntutan perekonomian yang semakin tinggi."
Pria itu tersenyum tipis usai mengeluarkan kata-kata yang membuat Jisya terharu karena ternyata dia masih memiliki sosok suami yang hebat dan peduli padanya, di saat semua orang memojokkan dan meninggalkan dia, tapi dia masih memiliki suami yang selalu setia berada di sampingnya dan merengkuhnya saat dia berada di titik paling terendah.
"Terima kasih, Mas. Terima kasih karena kau tidak meninggalkan aku disaat semua orang pergi meninggalkan aku di saat aku tidak punya apa-apa." Ucap Jisya menangis sedih sembari memeluk suaminya dengan erat menumpahkan kesedihannya yang dari tadi terus saja ia tahan dan berusaha sekuat tenaga untuk bisa kuat dalam menghadapi masalah yang datang bersamaan secara bertubi-tubi tanpa memberikannya ruang untuk bernafas.
Aku tidak mungkin meninggalkan mu, selagi kau mampu bertahan dengan kehidupanku yang serba kekurangan di mata mu. Karena aku mencintaimu, hanya saja aku sudah tidak mau cinta membuatku terlihat seperti pecundang dan bodoh seperti dulu. Yang membuat aku dibodohi oleh seorang wanita yang aku anggap dia mencintaiku, tapi ternyata cintanya tidak ada buat aku, bahkan tubuhnya menjadi milik sesama pria lain di luaran sana. Tubuhnya bisa buat siapa saja yang penting punya uang. Batin Arga mengusap lembut pundak Jisya sehingga tanpa sadar wanita itu tertidur di dalam pelukannya.
Karena Jisya memang sudah sangat lelah dengan semua persoalan hidup yang datang bertubi-tubi kepadanya. Sehingga di saat dia mendapatkan pelukan yang hangat dan menyenangkan, tanpa sadar dia langsung tertidur dengan sangat pulas.
Sepertinya kau sangat lelah."Gumam Arga membuka jilbab istri dan mengangkat wanita itu masuk ke dalam kamar.
Jisya bahkan tidak terganggu dengan gerakan harga yang menggendong tubuhnya.
Tiba di kamar pria itu membaringkan istrinya dan mengambil selimut menutup sebagian tubuh Jisya, tak lupa Arga juga menghidupkan kipas angin buat istrinya agar wanita itu tidak kepanasan.
Dalam kamar Arga memang yang ada hanya kipas angin.
Pria itu merapikan rambut istrinya dan menatap intens wajah cantik yang terlihat tenang itu dengan nafas yang teratur.
"Semoga saja kau berbeda dengannya... Kau adalah wanita yang sudah menyelamatkan nyawaku... Meski seperti itu, aku tidak mau gegabah sehingga aku terluka untuk yang kedua kalinya lagi..."
Aku mencintaimu, tapi maaf, aku belum bisa mengungkapkannya sekarang... Itu karena aku ingin melihat seperti apa sikap asli dari dirimu... Dan inilah saatnya untuk aku menguji kesabaran mu dengan perekonomian yang sangat terbatas. Karena dengan ekonomi yang lemah, maka di situlah terungkapnya sikap setiap seorang insan yang bergelar wanita.
Karena ada pepatah yang mengatakan, perekonomian bisa mengalahkan cinta. Apa lagi aku tahu, kalau kau belum memiliki secebis rasa pun untuk ku. Inilah waktunya aku bisa memanfaatkan kesempatan untuk melihat ketulusanmu. Batin Arga panjang lebar sembari mengusap dan mencium pucuk kepala istrinya.
Setelah itu Arga keluar dari kamar ada mengambil ponselnya guna menghubungi seseorang.
Drrt drrt drrt
"Hello Tuan muda." Jawab Fina.
"Kau tahu Jisya Kosmetik?" Tanya Arga.
"Tentu saja tahu Tuan, Jisya Kosmetik milik Nona muda bukan Tuan?" Sopan.
"Iya, sekarang Jisya Kosmetik sudah berpindah tangan ke tangan saudara istriku. Dan aku mau, kau mengatur pertemuanku dengan saudara istriku itu."
"Dengan menawarkan kerjasama. Juga, aku ingin bertemu dengannya di hotel, biar pertemuannya bisa lebih hot lagi." Kata Arga menyeringai membuat Fina merinding karena dia merasakan jika Tuannya pasti ingin membuat sesuatu yang di luar dugaan.
"Dan lagi, ajak si tua bangka yang mau mampus itu untuk bekerja sama dengan projek yang berada di Amerika dengan iming-iming bagi hasil 70 30 persen." Titah Arga.
"T-tapi, Tuan. Bukankah itu bisa merugikan Perusahaan?" Tanya Fina terbata-bata mendengar permintaan gila dari Tuannya.
"Kau sudah bosan bekerja dengan ku, Fina?" Terdengar menyeramkan.
Glek
"M-maaf Tuan, akan segera saya laksanakan perintah Anda."
Arga langsung menutup panggilannya tanpa pamit kepada sekretarisnya.
"Mari kita bermain-main Papa mertua ku, dan kakak iparku yang angkuh." Gumam Arga tersenyum penuh arti.
Akan ku balas semua rasa sakit yang kalian berikan kepada istriku. Dan akan ku buat kalian semua bersimpuh di bawah kaki Nyonya Jisya Rega Argapramana.
bukan bintang tujuh,puyer 16,..
yg masuk akal dikit dong yg seperti kehidupan nyata gitu lho jadi malas bacanya