Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13_Senyuman Adik-adikku
“Tapi tidak bisa berutang, Dik. Ibu juga harus beli barang baru. Kalau kamu ngutang, dari mana ibu dapat modal untuk belanja lagi?” ujar Bu Nuni memelas.
“Iya, Bu. Ibu tenang saja, Santi tidak akan mengutang,” jawab Santi tenang.
Bu Nuni mengernyitkan kening, terlihat tak percaya. “Beneran?”
“Iya, Bu. Beneran,” tegas Santi.
“Ya sudah, ini harganya lima ratus ribu,” ujar Bu Nuni sambil menunjuk boneka besar di depan Santi.
“Kalau boneka yang ini?” tanya Santi sambil memegang boneka kembaran milik Celia.
“Kalau yang ini dua ratus ribu. Itu harga pas, sudah tidak bisa kurang.”
“Kalau yang ini berapa, Bu?” tanya Santi sambil menunjuk mainan kecil-kecil yang sudah diambil adik-adiknya: boneka kecil, masak-masakan, ikat rambut, jepit rambut, kalung, cincin, gelang imitasi, serta mobil-mobilan.
“Wah, banyak juga, ya, Dik, yang diambil Sisil dan Lili.” Bu Nuni menggaruk kepala yang tidak gatal. Ia mulai menghitung menggunakan kalkulator.
“Boneka kecil ini lima belas ribu per buah, ada dua jadi tiga puluh ribu. Masak-masakan dua puluh ribu per set, ada dua jadi empat puluh ribu. Ikat rambut dua ribu per buah, ada dua jadi empat ribu. Jepit rambut lima ribu per buah, ambil dua jadi sepuluh ribu. Kalung, cincin, dan gelang satu set dua puluh lima ribu, ada dua set jadi lima puluh ribu. Mobil-mobilan lima belas ribu per buah, ada dua jadi tiga puluh ribu. Totalnya seratus enam puluh empat ribu.”
“Kalau ditambah dua boneka tadi berapa, Bu?” tanya Santi sambil menunjuk boneka seharga dua ratus ribu dan lima ratus ribu.
“Wah, jangan bercanda, Dik. Itu mahal.” Bu Nuni tampak khawatir. Ini pertama kalinya Santi datang ke rumahnya untuk membeli mainan, dan dia langsung membawa banyak uang.
Tanpa berkata-kata, Santi merogoh saku dan mengeluarkan uang satu juta rupiah. Ia meletakkannya di lantai. “Hitung saja, Bu. Adik-adik saya benar-benar ingin mainan itu.”
Bu Nuni menelan ludah, tidak percaya. “Kamu dapat uang sebanyak ini dari mana, Dik?”
“Apa orang miskin seperti kami tidak pantas memegang uang banyak?” balas Santi dengan nada tenang.
“Bukan begitu maksud bibi. Ya sudah, biar bibi total, ya. Maaf kalau ucapan tadi menyinggung.”
Bu Nuni menekan kalkulatornya dengan hati-hati. “Seratus enam puluh empat ribu ditambah lima ratus ribu, ditambah dua ratus ribu, totalnya delapan ratus enam puluh empat ribu. Pas, kan?”
“Iya, pas.” Santi menyerahkan uang sembilan ratus ribu rupiah.
“Ini kembaliannya.” Bu Nuni segera mengambil uang kembalian dan kantong plastik. “Mainannya mau dimasukkan semua ke plastik?”
“Tidak usah, Bu. Boneka besar biar adik saya yang bawa,” jawab Santi.
Sisil dan Lili membawa boneka masing-masing. Sisil memegang boneka besar setinggi 50 cm, sementara Lili membawa boneka kembaran milik Celia berukuran 30 cm. Plastik berisi mainan kecil lainnya dibawa Santi.
Di perjalanan pulang, Sisil sengaja berjalan angkuh di depan Celia, memamerkan boneka barunya.
“Bu, aku mau mainan seperti Sisil!” rengek Celia kepada ibunya.
“Mainanmu kan sudah ada,” jawab ibunya kesal.
“Tapi tidak sebagus punya Sisil,” tangis Celia pecah.
Santi tersenyum dalam hati. *Rasain, siapa suruh pelit sama adik-adikku.*
Sesampainya di rumah, Santi disambut dua adiknya yang lebih kecil, Ujang dan Ridho.
“Dari mana, Mbak?” tanya Ridho.
“Dari rumah Bu Nuni, beli mainan untuk Sisil dan Lili,” jawab Santi sambil tersenyum.
“Mainan untukku ada, Mbak?” tanya Ujang bersemangat.
“Wah, Mbak lupa beli. Tapi di kantongan itu ada mobil-mobilan. Coba minta ke adikmu, pasti mereka kasih.”
Ujang dan Ridho segera berlari ke ruang tengah.
Santi kembali ke dapur, menghidupkan api, lalu memindahkan ubi rebus ke baskom dan menutupnya dengan piring plastik. Ia lanjut menyiapkan nasi dan lauk sederhana dari bawang serta cabai pemberian tetangganya.
Tawa riang keempat adiknya terdengar dari ruang tengah. Santi menghentikan pekerjaannya sejenak, berdiri di ambang pintu dapur, dan memandangi mereka. Sisil, Lili, Ujang, dan Ridho bermain boneka dan mobil-mobilan dengan gembira.
Suara boneka Barbie bernyanyi sambil bergoyang “Goyang Dumang” membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Santi ikut tersenyum, merasa bahagia meski harus mengorbankan masa mudanya.
Biarlah ia berhenti sekolah. Asal adik-adiknya tetap bisa bermain, tertawa, dan menjalani hidup lebih baik daripada dirinya.