Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Langit Semu yang Menipu
Saat Ardan melangkah melewati portal, tubuhnya seolah-olah tertarik dalam pusaran waktu dan ruang yang tak berbentuk. Ia merasakan tubuhnya berputar, terombang-ambing seperti daun yang hanyut dalam badai. Namun, rasa itu hanya berlangsung sesaat sebelum semuanya kembali tenang.
Ketika ia membuka matanya, ia berada di sebuah padang rumput luas. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, membawa aroma bunga liar yang manis. Langit di atasnya biru cerah, dengan awan putih yang melayang perlahan. Tempat ini terasa... terlalu sempurna.
"Di mana aku sekarang?" Ardan bergumam, mengusap dahinya. Tidak ada tanda-tanda labirin atau makhluk aneh dari dunia sebelumnya.
Ia mulai berjalan, menyusuri jalan setapak kecil yang membelah padang rumput itu. Di kejauhan, ia melihat sebuah rumah kayu kecil yang tampak sederhana, dengan pagar putih di sekitarnya. Asap tipis mengepul dari cerobongnya, menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
"Apakah ini... rumah seseorang?" pikir Ardan, merasa sedikit ragu. Namun, rasa penasaran membawanya mendekat.
Ketika ia mengetuk pintu, seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat membukakan pintu. Wanita itu mengenakan apron yang penuh noda tepung, seolah baru saja selesai memanggang sesuatu.
"Oh, selamat datang! Kau pasti lapar, ya? Masuklah, aku baru saja membuat roti segar," kata wanita itu dengan suara ramah, tanpa sedikit pun rasa curiga terhadap seorang asing seperti Ardan.
Ardan ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk dan melangkah masuk. Rumah itu terasa nyaman, dengan perapian kecil di sudut yang memancarkan kehangatan. Di meja makan, terdapat sepiring roti dan mangkuk kecil berisi selai.
"Silakan makan," kata wanita itu, meletakkan segelas susu di depan Ardan.
Ardan duduk, merasa aneh dengan keramahan ini. Dunia yang ia lalui sebelumnya selalu penuh bahaya, namun kini ia berada di tempat yang damai, hampir seperti mimpi. Ia mengambil sepotong roti dan mulai makan. Rasanya luar biasa, jauh lebih enak daripada apa pun yang pernah ia makan.
Namun, di tengah kenikmatannya, sesuatu terasa ganjil. Wanita itu berdiri diam di sudut ruangan, memperhatikannya dengan senyum yang tak berubah. Mata wanita itu terasa... terlalu tajam, seolah-olah mengawasi setiap gerakannya.
"Terima kasih atas makanannya," kata Ardan akhirnya, mencoba mengusir kegelisahannya. "Apakah tempat ini... jauh dari kota?"
Wanita itu tersenyum lebih lebar. "Oh, tidak ada kota di sini. Tempat ini adalah rumahku, dan aku suka menjaga tamu-tamuku."
"Tamu-Kamu?" Ardan mengulangi dengan nada bingung.
Wanita itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia berbalik dan mulai menyibukkan diri di dapur, tetapi Ardan merasa ada sesuatu yang salah. Ia berdiri dari kursinya, berniat untuk pergi.
Namun, ketika ia membuka pintu depan, pemandangan di luar telah berubah. Padang rumput yang luas kini digantikan oleh hutan lebat yang gelap. Suasana hangat tadi seolah menghilang, digantikan oleh angin dingin yang membawa bisikan samar.
Ardan menoleh ke arah wanita itu, tetapi wanita itu kini tidak lagi tersenyum. Wajahnya berubah pucat, dengan mata hitam pekat yang menatap tajam ke arahnya.
"Kenapa buru-buru pergi, Ardan?" suara wanita itu berubah, lebih rendah dan bergema.
"Bagaimana kau tahu namaku?" Ardan mundur, tubuhnya tegang.
Wanita itu tidak menjawab. Tubuhnya mulai berubah, memanjang dan melengkung dengan cara yang tidak wajar. Kulitnya mengelupas, memperlihatkan daging hitam berkilat di bawahnya.
"Ini... bukan dunia nyata," pikir Ardan, mencoba menenangkan dirinya. Ia segera berlari keluar dari rumah itu, masuk ke dalam hutan tanpa memikirkan arah.
Hutan itu penuh dengan suara-suara aneh, dari geraman hingga tawa kecil yang terdengar dari segala arah. Namun, langkah Ardan terhenti ketika ia melihat sebuah cermin besar berdiri di tengah jalan setapak.
Cermin itu memantulkan dirinya, tetapi pantulan itu terlihat berbeda. Sosok di dalam cermin tampak tersenyum licik, dengan mata merah menyala yang menatap langsung ke arahnya.
"Apa ini?" Ardan mendekat, merasa tertarik dan takut pada saat yang sama.
Pantulan itu bergerak, meskipun Ardan tidak bergerak. "Kau ingin kembali, bukan? Kau hanya perlu... menyerah," kata pantulan itu dengan suara yang sama seperti miliknya, tetapi terdengar lebih dingin.
"Tidak," Ardan menjawab dengan tegas. "Aku akan menemukan jalan keluar."
Pantulan itu tertawa. "Jalan keluar? Dunia ini adalah lapisan dari jiwamu sendiri, Ardan. Semakin dalam kau melangkah, semakin sulit kau kembali."
Ardan menggertakkan giginya, menolak untuk menyerah pada rasa takut. Ia mengayunkan tinjunya ke arah cermin, menghancurkannya menjadi ribuan pecahan. Namun, setiap pecahan itu memantulkan wajahnya yang tersenyum licik, menciptakan pemandangan yang lebih mengganggu.
"Aku tidak peduli seberapa dalam dunia ini," katanya dengan suara penuh tekad. "Aku akan keluar."
Dengan langkah mantap, ia meninggalkan pecahan cermin itu di belakang, melangkah lebih dalam ke hutan yang tak berujung. Di kejauhan, ia melihat cahaya samar yang tampaknya membawa harapan. Namun, ia tahu bahwa dunia ini penuh jebakan. Ia harus tetap waspada.