"Apa yang kamu tahu?" tanya Aditya pada pria yang kepalanya berlumuran darah.
"Aku hanya lihat ada tiga orang pria datang lalu dia menyuntikkan sesuatu pada wanita itu. Setelah wanita itu tidak berdaya, mereka menggantungnya seolah dia bunuh diri."
Usai mengatakan itu, pria tersebut menghilang tanpa bekas.
Sebagai seorang polisi, terkadang Aditya menemui kesulitan ketika mengungkap sebuah kasus. Dan tak jarang dia sering meminta informasi dari makhluk tak kasat mata yang ada di sekitar lokasi kejadian.
Aditya memanfaatkan indra keenamnya untuk mengungkap kasus kejahatan yang terjadi di sekitarnya. Tak sendiri, dia ditemani jin cantik bernama Suzy yang rela membantunya melakukan apapun, kecuali mencarikan jodoh untuknya.
"Haiissshh.. Tante Suzy.. yang benar dong kalau kasih info. Nyasar lagi nih kita!" kesal Adita.
"Kalau mau nanya alamat tuh ke Mbah Gugel! Bukan ke aku!"
Aditya hanya menepuk keningnya saja.
"Percuma ngajak jin dongo," gumam Aditya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Buntu
"Kamu tidak apa-apa?" tanya seorang pria yang berhasil menangkap Zahira sebelum tubuh gadis itu jatuh ke lantai.
Zahira mendongakkan kepalanya. Seorang pria berusia sekitar tiga puluhan menatapnya dengan penuh kekhawatiran. Kepalanya kemudian menoleh ke belakang, makhluk yang mengejarnya sudah menghilang. Dengan cepat gadis itu melepaskan diri dari pegangan pria di dekatnya.
"Tidak apa, terima kasih."
"Kamu tadi seperti ketakutan.Apa ada yang mengejarmu?"
"Tidak ada. Maaf, aku harus pergi."
Bersamaan dengan langkah Zahira meninggalkan pria itu, seorang pria lain datang mendekat. Tanpa menoleh ke belakang, Zahira bergegas meninggalkan tempat tersebut. Pria yang menolongnya terus saja memperhatikannya dengan senyum di bibir.
"Maaf, Pak. Ada yang mau bertemu dengan Bapak," ujar Gading. Salah seorang personil SAFE yang bertugas mengawal Ivan ke Bandung.
"Di mana?"
"Dia menunggu di restoran yang ada di lantai bawah."
"Baiklah, ayo."
Ivan membawa langkah panjangnya menuju lift. Dia dan Gading akan bertemu dengan calon klien mereka. Seorang pengusaha terkenal yang membutuhkan pengawalan dari perusahaannya. Sementara itu, Aditya dan Tristan masih berada di dekat Irzal.
"Apa Ayah mengundang Ivan ke sini? Ivan Balindra, pimpinan Sentinel."
"Iya. Dia sudah masuk di lingkaran bisnis Ayah. Walau kita tidak bekerja sama secara langsung, tapi beberapa klien Ayah memakai jasanya untuk menjaga keamanan pribadi dan perusahaan."
"Perusahaan itu baru berdiri lima tahun yang lalu tapi sudah mengembangkan sayapnya seperti ini, hebat sekali."
"Ivan adalah orang yang ambisius."
"Dia banyak mengalami hal yang tidak menyenangkan sedari kecil, membuatnya menjadi orang yang kuat dan pantang menyerah. Abang harus tahu banyak soal dia kalau mau menyelidiki Sentinel," sambung Arsyad.
"Aku tidak yakin sasaranku siapa. Tapi aku yakin sekali kalau kasus yang sedang kutangani berhubungan dengan Sentinel."
"Jangan terlalu fokus pada Sentinel. Mereka akan bersikap waspada kalau kamu terlalu mencurigainya. Coba cari bukti di tempat lain. Siapa tahu bukti yang kamu temukan bisa membimbingmu menuju Sentinel."
"Ayah benar. Tapi untuk sekarang, aku masih harus mengkonfirmasi salah satu anak buahnya. Di mana Ivan dan Gading sekarang?"
"Mereka pergi ke restoran di lantai bawah. Sepertinya mereka hendak bertemu klien," tiba-tiba saja Irsyad menyambung pembicaraan.
"Kamu tahu dari mana?"
"Tadi waktu ambil minuman, aku ngga sengaja dengar, hehehe.."
"Oke. Ayah, bunda, aku pergi dulu."
Kepala Irzal hanya mengangguk saja. Aditya dan Tristan berjalan menuju pintu keluar hall. Aditya terus berjalan sambil melepaskan jasnya. Ketika dirinya melintasi Razan, dengan santai Aditya melemparkan jasnya pada sang adik dan mendarat tepat di kepalanya.
"Astaga, dipikir gue kapstok apa," gerutu Razan.
Tanpa mempedulikan rutukan sang adik, Aditya terus berjalan. Dia juga menggulung lengan kemejanya sampai ke siku. Rambutnya sedikit dibuat acak-acakan. Itu agar Ivan tidak menyadari siapa dirinya. Tristan hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah rekan kerjanya ini. Keduanya kemudian memasuki lift yang ada di sisi kiri hall.
Tak sampai lima menit, mereka tiba di lantai bawah. Sebuah restoran bintang lima yang baru dibuka beberapa hari lalu terlihat masih beroperasi. Beberapa tamu juga masih berada di sana menikmati makanan dengan tenang. Kedatangan Aditya dan Tristan disambut ramah oleh pelayan. Mata Aditya langsung mencari keberadaan Ivan. Ternyata pria itu tengah berbicara serius dengan pengusaha yang tidak diketahui olehnya. Di samping Ivan, Gading berdiri dengan posisi siaga. Aditya mengajak Tristan menuju meja yang tidak terlalu jauh dari Ivan.
Hampir sekitar setengah jam mereka menunggu. Minuman yang dipesan pun sudah habis. Pembicaraan Ivan dan calon kliennya akhirnya selesai. Pria itu berdiri kemudian bersalaman dengan pria di depannya. Baru saja dia hendak meninggalkan meja, Aditya dan Tristan sudah menghampirinya.
"Selamat malam Pak Ivan," sapa Aditya.
"Malam. Wah saya tidak menyangka bertemu dengan kalian lagi di sini. Apa kalian sengaja ingin bertemu dengan saya?"
"Ya, lebih tepatnya dengan pengawal anda."
"Saya?" tanya Gading bingung.
"Iya. Silakan duduk, takutnya pembicaraan kita akan berlangsung lama."
Gading melihat sejenak pada Ivan. Pria itu hanya menganggukkan kepalanya. Gading menarik kursi di samping Ivan, sementara Aditya dan Tristan duduk di hadapannya.
"Pak Gading, apa anda mengenal wanita ini?" Aditya memulai interogasinya. Pria itu memperlihatkan foto Wina pada pria itu.
"Tidak," jawab Gading cepat dengan ekspresi datarnya.
"Ibu Wina ditemukan meninggal dunia tiga Minggu yang lalu. Mayatnya dibuang ke dekat kali, dan sebelah tangannya hilang."
"Lalu, apa hubungannya denganku?"
"Ada terlihat di mini market dekat rumah Ibu Wina. Anda terekam kamera cctv di hari yang sama saat Ibu Wina menghilang."
Kali ini Aditya memperlihatkan rekaman cctv di mana Gading sedang duduk di depan mini market sambil menghabiskan minumannya. Ivan juga melihat rekaman tersebut. Dia melihat Aditya dan Tristan bergantian, menunggu kalimat selanjutnya yang menjelaskan kenapa anak buahnya sampai dicurigai.
"Saya yakin kalau saya bukan satu-satunya orang yang datang ke mini market tersebut. Lantas karena saya ada di sana, saya langsung dijadikan tersangka? Saya tidak mengenalnya, untuk apa saya membunuhnya? Pekerjaan saya menjaga keselamatan klien. Dan tuduhan yang anda lontarkan sangat bertolak belakang dengan pekerjaan saya."
"Saya paham maksud anda. Kami di sini hanya ingin mengkonfirmasi saja. Apa yang anda lakukan di mini market?" kali ini Tristan yang bertanya.
"Apa anda tidak lihat? Saya sedang minum."
"Bukannya anda sedang bertugas menjaga klien. Apa yang anda lakukan malam-malam di sana?"
"Klienku menginap di hotel yang tidak jauh dari tempat itu. Aku hanya berjalan-jalan mencari udara malam, apa salah?"
"Barang ini ditemukan di TKP mayat Ibu Wina ditemukan."
Aditya memperlihatkan foto pin yang terkena noda darah. Gading hanya memandang sekilas pada foto tersebut. Kini dia mengerti kenapa polisi sampai mencurigainya. Semua karena pin milik perusahaan tempatnya bekerja ditemukan di TKP.
"Pak Ivan, setiap personil SAFE memiliki pin ini, benar?"
"Ya."
"Bagaimana kalau pin tersebut sampai hilang?"
"Tentu saja mereka akan terkena sanksi. Pin itu adalah identitas mereka. Setiap personil hanya mendapatkan satu pin. Jika sampai hilang, mereka akan mendapatkannya lagi. Alasan kehilangan harus jelas karena tercatat di administrasi kantor. Penggantian pin baru bisa dilakukan satu bulan setelah pin dinyatakan hilang."
"Pak Gading, apa anda bisa memperlihatkan pin anda?"
Gading terdiam sejenak. Dia merogoh saku dalam jasnya lalu memperlihatkan pin miliknya. Aditya mengambil pin tersebut, lalu mencocokkannya dengan yang ada di foto.
"Apa masih ada pertanyaan?" tanya Gading.
"Untuk saat ini cukup. Tapi jika keterangan anda dibutuhkan lagi, saya harap kerjasamanya."
Kepala Gading mengangguk. Ivan berdiri dari duduknya dan segera berpamitan. Dia harus kembali ke tempat acara. Tidak enak rasanya pergi di tengah-tengah acara tanpa berpamitan pada sang empu acara. Sepeninggal Ivan dan Gading, Aditya dan Tristan masih bertahan di tempatnya. Terdengar helaan nafas panjang keduanya.
"Sepertinya kita benar-benar menemui jalan buntu," gumam Tristan.
"Jangan menyerah. Ayo kita cari bukti lain. Pasti ada bukti yang bisa menggiring kita menemukan pelaku pembunuhan," sahut Aditya optimis.
***
Kasus kematian Wina menemui jalan buntu. Penelusuran yang mereka lakukan berhenti di Sentinel. Namun mereka juga tidak bisa menemukan pelaku pembunuhan. Aditya sempat menghubungi Baskara, menanyakan apakah ada pegawai Sentinel yang melaporkan kehilangan pin miliknya. Namun hasilnya nihil. Memang ada yang melapor, tapi itu sudah tiga bulan yang lalu.
Namun begitu, semua anggota tim Jatanras satu tidak menyerah. Mereka terus mencari bukti untuk menemukan pelaku. Sementara tiga pria yang membunuh Lastri sudah mengakui perbuatannya dan berkasnya sedang lengkapi untuk segera dilimpahkan ke pengadilan.
"San, apa kami sudah menyelidiki cctv di Wahana Tirta?"
"Sudah, tidak ada yang mencurigakan. Waktu yang disebutkan Widodo, saat itu sangat ramai. Kami kesulitan mencari orang yang mencurigakan. Tapi sepertinya memang tidak ada."
"Mana rekamannya? Biar aku teliti lagi," seru Aditya.
Ikhsan mengambil USB yang berisi rekaman cctv di Wahana Tirta. Bukan hanya rekaman di mana ruangan loket berada, tapi Ikhsan meminta rekaman seluruh area. Aditya segera memasang USB ke laptop, dan tak butuh waktu lama, pria itu tenggelam dalam pencariannya.
Tak berapa lama kemudian Tomi datang dengan sebuah berkas di tangannya. Pria itu meminta semua anggota tim berkumpul di ruang meeting. Aditya menjeda dulu rekaman cctv yang tengah dilihatnya lalu bergabung bersama rekannya yang lain di ruang meeting.
"Kasus pembunuhan Wina untuk sementara tinggalkan dulu. Saya mau kamu menyelidiki beberapa kasus yang baru saja masuk. Sudah seminggu ini terjadi kasus bunuh diri. Satu terjadi di kost-an yang ada di daerah Buah Batu dan dua terjadi di kampus Nusantara Bakti. Jaya, kamu dan Roni datangi kost-an tersebut. Tristan dan Nusa, kalian datangi Kampus Nusantara Bakti. Dalam seminggu ini sudah terjadi dua kasus bunuh diri di kampus itu. Coba kalian selidiki. Ikhsan, kamu dan Aditya datangi dokter forensik dan cari tahu apa saja yang mereka temukan dalam kasus bunuh diri ini."
"Siap."
Setelah mendapat pengarahan dari Tomi, keenam pria itu segera beranjak dari tempatnya. Jika sebelumnya Aditya selalu dipasangkan dengan Tristan, sekarang mereka memiliki tugas berbeda. Aditya mendatangi dokter forensik, sementara Tristan harus mendatangi Kampus Nusantara Bakti.
***
Yang jawab Tristan, tetoott🤣
Aku kan udah up 2 bab, jangan lupa like, komen dan toel bintang 5-nya lagi biar popularitasnya naik, terima kasih🙏
Ini aku kasih penampakan Irzal dan Arsy masa kini😉
waaah sean emang kmu punya orderan ala aja😆😆😆😆😆