"The Secret Behind Love." adalah sebuah cerita tentang pengkhianatan, penemuan diri, dan pilihan yang sulit dalam sebuah hubungan. Ini adalah kisah yang menggugah tentang bagaimana seorang wanita yang bernama karuna yang mencari cara untuk bangkit dari keterpurukan nya, mencari jalan menuju kebahagiaan sejati, dan menemukan kembali kepercayaannya yang hilang.
Semenjak perceraian dengan suaminya, hidup karuna penuh dengan cobaan, tapi siapa sangka? seseorang pria dari masa lalu karuna muncul kembali kedalam hidupnya bersamaan setelah itu juga seorang yang di cintai nya datang kembali.
Dan apakah Karuna bisa memilih pilihan nya? apakah karuna bisa mengendalikan perasaan nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jhnafzzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Akhir?
Pagi itu, Karuna terbangun lebih awal dari biasanya. Udara pagi yang dingin masuk lewat celah jendela yang terbuka sedikit, membawa kesegaran yang kontras dengan kekosongan yang ada di dalam hatinya. Di luar sana, dunia masih tampak cerah, namun bagi Karuna, dunia seakan tidak lagi sama. Mimpi buruk semalam berlanjut, menghantuinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin tidak terjawab.
Ethan masih tidur nyenyak di kamarnya, dengan napas yang teratur dan wajah yang penuh kedamaian. Karuna memandang anaknya sejenak, berpikir bahwa mungkin dunia yang mereka kenal benar-benar akan berubah. Ia mencoba untuk menenangkan diri, mencoba mencari ketenangan dalam keceriaan Ethan yang belum ternoda oleh kenyataan yang ia hadapi.
Sementara itu, Damian belum pulang. Ia meninggalkan rumah pagi-pagi sekali, dan selama beberapa hari terakhir, mereka hanya berbicara melalui pesan singkat atau telepon yang terasa lebih dingin daripada biasanya. Karuna bisa merasakan bahwa jarak antara mereka semakin besar. Tidak hanya jarak fisik, tapi juga jarak emosional yang semakin sulit untuk dijembatani.
Hari itu terasa semakin berat. Karuna mencoba mengalihkan perhatian dengan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang menumpuk. Ia membersihkan dapur, mencuci pakaian, dan melakukan hal-hal kecil lainnya yang tampaknya tidak pernah berakhir. Tapi meskipun ia sibuk, pikirannya terus kembali kepada Damian, kepada wanita yang dilihatnya di mal, dan kepada segala ketidakpastian yang mulai menggerogoti kehidupannya.
Siang hari, ketika Ethan pulang dari sekolah, Karuna memutuskan untuk memberinya perhatian penuh. Mereka makan siang bersama, bermain, dan menghabiskan waktu di taman dekat rumah. Karuna mencoba sekuat tenaga untuk menciptakan kebahagiaan untuk Ethan, meskipun hatinya hancur. Ia tahu bahwa anaknya masih terlalu kecil untuk memahami apa yang sedang terjadi, dan itu yang membuatnya merasa terjepit di antara dua dunia yang berbeda—dunia di mana ia berusaha untuk menjaga kebahagiaan Ethan, dan dunia yang dipenuhi oleh rasa sakit dan kebohongan yang semakin sulit untuk dipertahankan.
Saat sore menjelang malam, Karuna merasa sebuah ketegangan yang semakin membesar. Damian sudah pulang, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya merasa takut untuk bertemu dengan suaminya. Ia tahu percakapan yang harus terjadi, namun ia tidak tahu bagaimana memulainya. Apakah ia harus bertanya langsung tentang wanita itu? Ataukah ia harus menunggu Damian untuk membuka diri? Apakah ia siap mendengar jawaban yang akan menghancurkan hatinya?
Ketika pintu depan akhirnya terbuka, Karuna merasa jantungnya berdegup kencang. Damian masuk dengan ekspresi yang masih tampak kelelahan, seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam caranya berinteraksi kali ini. Ia tidak melihat Karuna seperti biasa. Tidak ada sapaan hangat, tidak ada senyuman, hanya tatapan kosong yang membuat Karuna merasa semakin jauh darinya.
"Damian," Karuna memulai dengan hati yang penuh keraguan. Ia mencoba untuk menjaga suaranya tetap tenang, meskipun perasaan cemas mulai menguasai dirinya. "Kita perlu bicara."
Damian berhenti sejenak, lalu melepaskan jaketnya dengan gerakan kasar. "Tentang apa lagi, Karuna?" jawabnya dengan nada yang lebih dingin daripada biasanya. "Apa lagi yang perlu dibicarakan? Kamu sudah tahu semuanya kan?"
Karuna terdiam, merasakan sebuah kepedihan yang mendalam. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, Damian. Tapi aku sudah melihat kamu kemarin. Aku tahu tentang wanita itu." Suaranya sedikit bergetar, meskipun ia berusaha keras untuk tidak menangis.
Damian menghela napas panjang, tampak frustrasi. "Oh, jadi sekarang kamu merasa perlu tahu semuanya?" ujarnya dengan nada yang hampir tidak bisa ditahan. "Kamu tahu apa? Aku sudah terlalu lelah untuk berpura-pura, Karuna. Aku capek dengan semuanya. Capek dengan kamu, capek dengan pernikahan ini, capek dengan hidup yang selalu merasa seperti beban."
Kata-kata itu seperti tamparan keras bagi Karuna. Ia menatap suaminya, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Damian," suara Karuna mulai serak, "kenapa kamu enggak pernah kasih tahu aku? Kenapa kamu harus terus berbohong? Apa yang salah dengan kita?"
Damian menatapnya dengan mata yang penuh kebencian dan frustrasi. "Kenapa kamu tidak pernah sadar, Karuna?" serunya, suaranya terdengar kasar dan penuh amarah. "Aku sudah memberi tahu kamu berkali-kali. Aku tidak bahagia. Aku tidak bahagia dengan hidup kita, dengan pernikahan ini, dengan segala hal yang berputar di sekitar kita. Aku sudah mencoba bertahan, tapi kamu tidak pernah mendengarkan. Kamu selalu sibuk dengan pekerjaan rumah tangga, dengan anak-anak, dengan segala hal lainnya, sementara aku semakin tenggelam dalam kebosanan yang tidak ada habisnya."
Setiap kata yang diucapkan Damian terasa seperti pisau yang menusuk hatinya. Karuna berusaha menahan tangisnya, tetapi rasanya begitu sulit. "Aku tidak tahu harus bagaimana, Damian. Aku... aku merasa sendirian dirumah ini."
Damian mendekat, tetapi bukan dengan cara yang penuh kasih. Ia berdiri begitu dekat dengan Karuna, hampir seperti hendak menyindirnya. "Kamu sendirian? Kalau kamu merasa sendirian, itu karena kamu memang seharusnya merasa begitu, Karuna. Aku sudah lelah mencoba. Kamu tahu kenapa? Karena aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan ini. Kamu tahu kenapa aku pergi kemarin? Aku sedang mencoba untuk mencari kebahagiaan, untuk merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas yang menjemukan ini."
Karuna tertegun, merasa perasaannya seperti dihancurkan dalam sekejap. Ia menatap suaminya dengan air mata yang sudah mulai tumpah. "Jadi, itu yang kamu cari? Kebahagiaan dengan wanita lain?" tanyanya, suaranya hampir tidak terdengar karena sedih dan marah yang bercampur aduk. "Begitu mudahnya kamu ninggalin aku?"
Damian menggelengkan kepala, senyum sinis mengembang di bibirnya. "Begitu mudah? Kamu benar-benar tidak paham, Karuna. Semua ini bukan tentang wanita itu. Ini tentang aku yang sudah tidak bisa lagi bertahan dengan kebohongan yang kita jalani. Aku butuh sesuatu yang lebih, sesuatu yang nyata."
Karuna merasa seperti sedang kehilangan pegangan. Suami yang dulu ia kenal, yang pernah ia cintai, kini berubah menjadi orang yang sangat asing. "Jadi, kamu enggak peduli dengan kami lagi?" tanyanya pelan, hampir berbisik. "Tentang Ethan? Tentang keluarga kita?"
Damian tertawa getir, bukan tawa yang penuh kebahagiaan, melainkan tawa yang penuh kepahitan. "Aku peduli, Karuna. Tapi peduli tidak berarti aku bisa terus hidup dalam kebohongan ini. Aku sudah mencoba bertahan, tapi sekarang aku lelah."
Hati Karuna hancur mendengarnya. Ia merasa seperti sedang memegang pecahan kaca yang tajam, dan setiap kata Damian membuatnya semakin terluka. "Jadi, kamu ingin kita berpisah?" tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Damian menghela napas panjang. "Aku tidak tahu," jawabnya, suaranya kembali menjadi lebih rendah, namun tetap penuh kebingungan. "Mungkin kita butuh waktu. Mungkin kita butuh ruang."
Karuna tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia merasa seperti segala sesuatu yang selama ini ia percayai, yang selama ini ia banggakan, kini runtuh begitu saja di hadapannya. "Jadi, ini akhirnya?" bisiknya, suara penuh kekosongan. "Kita berakhir di sini?"
Damian mengalihkan pandangannya, tidak memberikan jawaban. Ia berjalan menuju pintu dengan langkah berat, dan sebelum ia keluar dari ruangan, ia berhenti sejenak dan berkata, "Kamu bisa terus berpura-pura, Karuna. Tapi aku tidak bisa lagi."
Karuna berdiri terpaku di sana, hatinya terbelah. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Dunia yang ia kenal kini sudah berubah begitu drastis, dan ia merasa tidak ada lagi yang tersisa. Tidak ada lagi keluarga, tidak ada lagi kebahagiaan. Yang ada hanya kepedihan dan kebohongan yang harus ia hadapi seorang diri.
Damian meninggalkan rumah, dan Karuna kembali terduduk di sofa, menangis dalam kesendirian yang semakin dalam. Keputusan yang harus diambil, pertanyaan yang harus dijawab—semuanya kini terasa terlalu berat untuk dipikul sendirian.
Dalam keheningan itu, Karuna hanya bisa berdoa bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan jalan keluar dari semua rasa sakit ini.