Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Pengejaran Tanpa Henti
Hujan turun deras di luar markas Ariella, mengaburkan pandangan dari jendela besar yang menghadap ke kota yang tampak sepi. Namun, di dalam ruangan yang terang benderang itu, ketegangan meluap. Ariella berdiri di depan meja besar, memandangi layar-layar yang menampilkan data hasil serangan mereka di gudang The Raven Syndicate.
“Ini lebih dari sekadar pengiriman senjata,” ujar Liana, yang duduk di depan komputer, menatap layar dengan cemas. “Kami menemukan koordinat dan beberapa catatan pengiriman yang menunjuk pada fasilitas lain—lebih besar, lebih terlindungi.”
Ariella tidak mengalihkan pandangannya dari layar. “Fasilitas utama mereka, mungkin?”
“Ya,” jawab Liana, masih terfokus pada layar. “Dan ada sesuatu yang lebih mencurigakan lagi. Mereka sedang mempersiapkan operasi besar—sesuatu yang melibatkan kelompok teroris internasional.”
Ariella berjalan maju, matanya menyempit. “Operasi besar?”
“Sepertinya mereka berencana untuk mengirimkan senjata nuklir. Bahan-bahan yang digunakan untuk merakitnya juga tercatat di sistem. Itu yang kami temukan di gudang tadi,” kata Liana dengan nada serius. “Ini bukan hanya ancaman untuk kota ini, tetapi untuk seluruh dunia.”
Ariella menatap Liana dengan tatapan yang lebih tajam. The Raven Syndicate memang dikenal sebagai organisasi internasional yang penuh intrik, tetapi jika mereka benar-benar terlibat dalam hal seperti ini, itu berarti perang yang lebih besar sedang menunggu.
Rael, yang sejak tadi berdiri di dekat pintu, mendekat. "Kita harus bergerak cepat. Jika mereka sudah memulai pengiriman, kita bisa kehilangannya. Kita tidak hanya berhadapan dengan sindikat, tapi dengan kelompok yang memiliki kapasitas lebih besar untuk menghancurkan kita."
Ariella mengangguk, matanya penuh perhitungan. "Liana, berapa lama kita bisa melacak lokasi ini?"
“Kurang dari dua jam,” jawab Liana, tanpa ragu. “Tapi kita harus bergerak sekarang jika ingin sampai sebelum mereka berpindah lokasi.”
Ariella menghela napas dalam-dalam. Waktu mereka sangat terbatas. Setiap detik yang terbuang berarti kemungkinan besar mereka akan kehilangan jejak The Raven Syndicate untuk selamanya.
“Siapkan tim. Kita pergi malam ini,” kata Ariella dengan suara yang penuh ketegasan.
---
Ketika malam semakin larut, Ariella dan timnya bergerak dengan hati-hati. Kendaraan-kendaraan tanpa tanda membelah jalanan gelap menuju lokasi yang sudah dipetakan. Rael memimpin tim, dengan Marcus yang di bawah pengawasan ketat, karena Ariella tahu bahwa meskipun Marcus tampaknya bekerja sama, dia masih berpotensi menjadi ancaman.
Mereka tiba di luar area yang terindikasi sebagai fasilitas utama The Raven Syndicate—sebuah kompleks besar yang tampaknya tidak terjamah oleh pihak berwenang. Ariella memindai area melalui kacamata penglihatan malam, menilai bahwa tempat ini penuh dengan penjagaan dan sistem keamanan yang sangat ketat.
“Ini lebih rumit dari yang kita duga,” Rael berkata pelan, mengamati gerakan di sekitar perimeter. “Kita tidak bisa masuk begitu saja.”
“Ada cara,” jawab Ariella dingin, matanya memandangi tembok tinggi yang mengelilingi kompleks. “Kami akan masuk lewat saluran bawah tanah.”
Rael menatapnya dengan ragu, namun ia tidak membantah. “Kita akan membutuhkan waktu untuk masuk tanpa terdeteksi.”
Marcus yang berjalan di belakang mereka tampak cemas, tetapi tetap diam. Ariella sudah memperingatkannya untuk tidak mencoba melarikan diri, dan ia tahu bahwa Marcus tahu betul apa yang akan terjadi jika ia mengkhianati mereka lagi.
Ariella memberi sinyal, dan tim bergerak menuju pintu tersembunyi yang ditemukan Liana melalui data intelijen mereka. Dengan cekatan, mereka membuka pintu yang tampaknya tidak pernah digunakan. Begitu masuk ke dalam terowongan gelap, ketegangan semakin terasa. Setiap langkah mereka dihantui oleh bayangan musuh yang mungkin sudah mengetahui keberadaan mereka.
Bergerak perlahan, mereka mendekati fasilitas utama yang berada di bagian dalam kompleks. Dengan strategi yang cermat, mereka akhirnya berhasil sampai di ruang kontrol yang menjadi pusat pengendalian The Raven Syndicate. Ariella berdiri di depan pintu, memeriksa senjata yang ada di tangan. "Begitu pintu terbuka, serang tanpa ampun," perintahnya tegas.
Pintu ruang kontrol terbuka dengan suara pelan, dan mereka masuk dengan cepat, menembakkan senjata tepat ke arah penjaga yang tidak sempat bereaksi. Sementara itu, Marcus berdiri di belakang, tubuhnya kaku karena ketakutan.
Ariella bergerak cepat, memeriksa layar komputer yang menampilkan data tentang operasi mereka. Di satu sudut, sebuah pesan masuk yang menunjukkan bahwa pengiriman bahan-bahan nuklir sudah hampir selesai.
"Kurang dari dua jam lagi," gumam Ariella, matanya memancar penuh tekad. “Tidak ada waktu.”
Rael memberi isyarat agar timnya bersiap untuk melanjutkan pencarian. Mereka menggeledah setiap sudut, memastikan tidak ada lagi informasi yang terlewat. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Sebuah ledakan mengguncang kompleks, menyebabkan semua orang terhuyung mundur. Sebuah bom jebakan yang sengaja dipasang oleh The Raven Syndicate untuk menjebak mereka.
“Pergi!” teriak Ariella, segera memberi perintah kepada timnya. Mereka berlari menuju pintu keluar darurat yang sudah mereka tandai sebelumnya. Namun, ketika mereka keluar ke area terbuka, mereka mendapati bahwa jalan keluar mereka sudah dipenuhi oleh pasukan The Raven Syndicate.
Ariella merasakan ketegangan mencekam dalam dadanya. Mereka terjebak.
“Rael, ambil posisi!” teriak Ariella, memerintahkan timnya untuk menyusun formasi perlawanan. Rael dan beberapa anggota tim mengambil posisi strategis di balik tembok beton. Mereka mulai menembak, melawan pasukan musuh yang mulai maju dengan senjata otomatis.
Ariella tidak tinggal diam. Ia bergerak dengan cepat, menembakkan pistol dengan presisi tinggi ke arah musuh yang mencoba mendekat. Meskipun situasi semakin genting, ia tetap tenang, memimpin timnya dengan keahlian yang tidak terbantahkan.
Namun, dalam kekacauan itu, Marcus berlari ke arah lain, mencoba melarikan diri. Rael yang melihatnya segera memberi isyarat, dan beberapa anggota tim mengejar Marcus.
“Marcus!” teriak Ariella, tetapi sudah terlambat. Marcus sudah berlari terlalu jauh.
Ariella menggertakkan giginya, marah karena pengkhianatan terakhir yang dilakukan oleh Marcus. Namun, dia tahu bahwa fokus utama mereka adalah menghentikan pengiriman bahan-bahan nuklir tersebut.
Rael kembali ke posisinya, wajahnya serius. “Kita harus cepat. Kalau kita biarkan mereka melanjutkan pengiriman, kita akan kehilangan lebih dari ini.”
Ariella mengangguk, dan dengan sigap, mereka melanjutkan pengejaran menuju fasilitas pengiriman utama yang terletak di sisi lain kompleks. Mereka tahu, setiap detik yang berlalu akan menentukan nasib seluruh dunia.
Saat mereka tiba di area pengiriman, mereka menemukan konvoi kendaraan yang siap untuk pergi. Di dalamnya, bahan-bahan nuklir yang dikirim ke lokasi yang belum diketahui. Ariella mengerahkan seluruh timnya untuk menghentikan konvoi itu, menembakkan sinyal pembuka serangan.
Pertempuran semakin sengit saat Ariella dan timnya mengejar konvoi yang berusaha melarikan diri. Tiap kali mereka mendekati, musuh semakin keras mempertahankan diri. Namun, Ariella tidak akan mundur. Ia sudah terlalu jauh, terlalu lama bertarung untuk menyerah sekarang.
“Kejar mereka!” teriak Ariella dengan suara lantang. "Tidak ada yang bisa menghentikan kita sekarang!"
Di tengah pertempuran yang terus memanas, hanya satu hal yang pasti—perang ini belum berakhir, dan ancaman yang lebih besar menunggu mereka di depan.