Soraya adalah gadis paling cantik di sekolah, tapi malah terkenal karena nilainya yang jelek.
Frustasi dengan itu, dia tidak sengaja bertemu peramal dan memeriksa takdirnya.
•
Siapa sangka, selain nilainya, takdirnya jauh lebih jelek lagi. Dikatakan keluarganya akan bangkrut. Walaupun ada Kakaknya yang masih menjadi sandaran terahkir, tapi Kakaknya akan ditumbangkan oleh mantan sahabatnya sendiri, akibat seteru oleh wanita. Sementara Soraya yang tidak memiliki keahlian, akan berahkir tragis.
•
Soraya jelas tidak percaya! Hingga suatu tanda mengenai kedatangan wanita yang menjadi sumber perselisihan Kakaknya dan sang sahabat, tiba-tiba muncul.
•
•
•
Semenjak saat itu, Soraya bertekad mengejar sahabat Kakaknya. Pria dingin yang terlanjur membencinya. ~~ Bahkan jika itu berarti, dia harus memaksakan hubungan diantara mereka melalui jebakan ~~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tinta Selasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
Taira yang melihat kedatangan Sean, segera berdiri dengan canggung. Dia sedikit malu kedapatan seperti ini, apalagi mengingat pertemuan mereka yang baru kemarin. Tapi mengingat kejadian tadi, dimana Sean harus mengantar Soraya padahal jelas harus mengantar makanan untuk Ibunya, membuat Taira merasa sangat bersimpati.
Dengan itu, dia mengambil inisiatif sendiri untuk membawakan makanan yang sama kepada Ibu Sean. Tadinya dia hanya ingin mampir sebentar dan segera pergi. Namun siapa sangka, keramahan Ibu Sean berhasil menahan Taira untuk berbincang-bincang.
“Sean, kamu sudah kembali Nak ….”
Sean hanya mengangguk pelan dengan senyuman, membalas ucapan sang Ibu. Melihat piring, gelas, dan bungkusan di meja, Sean tahu bahwa Ibunya telah selesai makan. Dan dia tidak begitu bodoh hingga harus bertanya siapa yang membawa ini semua.
“Sean? Ah, maaf sekali. Aku tidak izin dulu untuk datang kemari. Tadi aku hanya teringat, dan berinisiatif membawa untuk Ibumu. Jadi, maaf sekali.”
Menghadapi permintaan maaf tanpa kesalahan ini, Sean meremas tengkuknya canggung. Dia tidak pernah ada di posisi seperti ini sebelumnya, jadi juga bingung harus memberi reaksi seperti apa. Sebagai seseorang yang hidup seperti biksu, dan hampir tidak punya teman apalagi teman perempuan, Sean semakin kesulitan untuk bereaksi.
Tapi sebagaimana seorang Ibu, Ibu Sean bisa melihat kesulitan Sean, jadi dia sendiri yang berbicara untuk putranya itu.
“Nak Taira, terimakasih banyak ya. Kamu sudah repot-repot sekali. Maaf yah, sudah menahan waktu kamu dengan cerita.”
“Oh tidak-tidak apa-apa Bu.” Ujar Taira yang langsung melambai tangannya. Dia adalah orang yang sangat sungkan, jadi tidak hanya mengatakan tidak apa-apa, Taira juga menjelaskan, bagaimana dia seorang mahasiswa pertukaran yang sedang mengambil beberapa penelitian disini. Jadi tidak merasa kerepotan sama sekali.
Meski tidak mengerti benar penjelasan Taira, Ibu Sean tersenyum lembut. Yang dia tahu, Taira sangat baik dan terlihat cerdas.
“Kalau begitu aku permisi dulu ya Bu.”
“Baiklah. Sekali lagi, terimakasih banyak ya Nak Taira. Senang sekali kenal kamu.”
Taira tersenyum, dan sedikit menunduk, sebelum benar-benar keluar.
Sean yang sedari tadi diam, akhirnya menemukan sesuatu untuk dilakukan. Saat Taira permisi untuk keluar, dia juga meminta izin sang Ibu untuk mengantar keluar Taira secara formal.
Sesampainya di depan pintu ruangan, Sean jelas menahan Taira, meski canggung.
“Taira, … terimakasih banyak. Mm, aku benar-benar terkejut tadi itu, sampai ….”
Taira mengangkat kedua tangannya, manakala dilihatnya Sean kesulitan untuk meneruskan ucapannya. Dia bisa mengerti maksud baik Sean, meski tidak mengatakan dengan jelas. Lagipula, dia sangat lurus, dan tidak merasa Sean harus berterima kasih, atas ide, yang menjadi idenya seorang diri.
Jadi Taira tersenyum lembut, “Aku mengerti maksudmu Sean. Ngomong-ngomong, aku benar-benar minta maaf atas kunjungan tanpa pemberitahuan ini. Ibumu sangat baik dan menyenangkan, apalagi saat berbicara. Aku harap, kamu tidak terganggu, karena aku masih ingin bicara dengan Ibumu lagi. Tapi kalau kamu terganggu, tolong beritahu aku.”
Sean yang tadinya menatap lantai, langsung terangkat kepalanya mendengar hal ini. Itu tadi adalah ucapan yang paling tulus, yang pernah diberikan orang lain tentang Ibunya. Karena selama ini, kalau ada ucapan mengenai Ibunya, itu hanyalah ucapan-ucapan yang buruk, yang menyakitkan hati.
“Eh, kalau begitu, aku permisi dulu. Aku harus ke Lab, temanku sudah menungguku.” Ujar Taira dengan lambaian kecil.
“Taira!”
Langkah Taira terhenti mendengar panggilan Sean. Dia kemudian berbalik, dan sedikit terkejut mendapati ucapan terimakasih yang canggung. Sebuah ucapan terimakasih dari Sean, dengan sedikit tundukan kepala. Hal yang biasanya, dilakukan kepada orang yang lebih tua atau lebih terhormat, membuat Taira terkekeh kecil. Membuatnya, tiba-tiba berinisiatif.
“Sean, apa kamu akan ke kampus hari ini?”
“Bagus, kalau begitu, mari bertemu di kantin Rumah Sakit sebentar.” Ujar Taira, sebagai tanggapan terhadap gelengan Sean.
Melihat Taira yang berlalu dengan langkah ceria, hati Sean tiba-tiba menghangat. Rasanya, memiliki teman perempuan, tidak buruk pikirnya.
•••
Sementara di sekolah, Soraya tidak menyangka bahwa dia masih akan memikirkan kejadian tadi pagi. Kejadian dimana, Sean meninggalkannya begitu saja saat sedang bicara. Apalagi, meskipun kebohongan, tapi ucapannya saat itu penuh dengan pujian untuk pria itu, dan bahkan sedikit ungkapan cinta palsu. Namun cara Sean melaju tanpa mau mendengarkan, kembali mengingatkan Soraya tentang isi ramalan itu.
“Ahhhhh!!” — BRAK
Seisi kelas langsung menatap heran ke arahnya, tapi Soraya terlalu larut dalam pikirannya sendiri.
“SORAYA!” CTARR.
Barulah setelah penggaris besi berbunyi di atas meja, Soraya mendapatkan kesadarannya. Dia bahkan setengah terlonjak awalnya.
“Kamu itu kurang ajar ya! Ibu ada di depan sini, tapi kamu berani gebrak-gebrak meja begitu. Maksud kamu apa? jangan karena kamu anak orang kaya, terus kamu bisa sembarangan yah.” Marah sang wali kelas, yang Soraya tidak tahu sejak kapan ada disana.
Melati yang duduk di depan Soraya, berbalik dengan kedua alis terangkat. Mempertanyakan apa yang dilakukan sahabatnya itu.
Tapi Soraya, dia hanya memasang wajah memelas sebagai satu-satunya jurus yang dia punya.
“Duh Bu, sorry, tadi itu, aku tuh lagi diam begini, terus tiba-tiba rasanya ada kayak yang masuk dalam pikiran aku. Kek mau kerasukan gitu. Hihihi….” Jelas Soraya dengan gerakan.
Selain sang wali kelas, semua sisanya terpingkal dibuat. Bahkan Melati yang merupakan sahabat, tidak tahan untuk menutupi wajahnya, akibat merasa malu bagi Soraya.
“DIAM! CUKUP KALIAN!” Teriak sang wali kelas dengan bunyi pukulan penggaris mengikuti. Wajah sang wali kelas, langsung memerah dibuat.
“Sorry, sorry, sorry! Kamu pikir Ibu teman kamu, di Sorry Sorry begitu. Pantas saja kalau kamu mau kerasukan, ya pikiran kamu selalu kosong begitu. Otak kok nggak ada isinya.”
Soraya yang mendengar ini, menyandarkan punggungnya seolah tak memiliki tulang belakang. Dia menunjuk sang wali kelas dengan gelengan kepala, “Wah ini parah sih, Ibu main fisik. Bawa-bawa otak.”
“Sora ….” Melati, sampai menggigit bibir bawahnya ketika meng-kode, berharap Soraya berhenti menjawab sang Guru, yang kembali membuat gelak tawa.
Sang wali kelas yang tidak tahan lagi, akhirnya memilih mengambil tindakan. “Keluar, ayo keluar kamu! Berdiri di depan kelas dengan kedua tangan terangkat sampai kelas selesai. Ibu sudah kehabisan cara sama kamu, Ibu akan mengirim panggilan kerumah kamu.”
Soraya yang masih duduk, mengembungkan kedua pipinya. Ini bukan pertama kali, jadi dia tidak terlalu peduli.
“Cepat keluar!”
Soraya dengan wajah cemberut, melakukan yang dikatakan sang wali kelas. Seperti biasa, alih-alih menyadari itu adalah kesalahannya sendiri, Soraya merutuki Sean dalam hatinya. Berpikir bahwa pria miskin dan dingin itu, adalah penyebabnya.
Jadi ketika dia berdiri di luar, dia merutuki banyak hal tentang Sean, berharap pria itu akan tergigit lidahnya, seperti mitos yang beredar.
“Dasar bengek! sok jual mahal! Lihat saja kau nanti, akan kubuat kau memohon padaku.” Ucapnya kali ini, yang didengar samar seorang gadis cantik, yang muncul dari lorong kelas.
Melihat siapa yang datang ke arahnya, Soraya memutar bola matanya jengah. Dia yang tadinya berdiri dengan tangan terangkat, kini berpindah tangan terlipat di dada dengan angkuh.
“Apakah menjadi bodoh membebaskan Kak Soraya untuk berada diluar meski kelas berlangsung!” Ujar gadis itu kasar, meski suaranya lembut.
Yah, Claudia bengek, mulut lebah. Pikir Soraya, sebelum membalas dengan gaya yang sama.
“Trus kau sendiri? Apa menjadi ketua OSIS membiarkanmu bebas berjalan di jam pelajaran? begitu!”
Gadis bernama Claudia itu langsung tersenyum mengejek. “Tidak usah pedulikan aku, Kak. Apapun yang kulakukan, itu adalah sesuatu yang penting. Semua atas permintaan dan dalam pengetahuan guru-guru.”
“Oh yah? terdengar seperti jongos.”
“Yakkk Soraya!!” Pada akhirnya sang ketua OSIS tidak bisa menahan kalimatnya lagi. Dia tidak tahan untuk berteriak pada Soraya, dalam saling ejek mereka.
Lagipula ini bukan hal baru di antara keduanya. Sebagai saingan cinta untuk Kapten basket sekolah, Rex. Keduanya selalu bertengkar kapanpun mereka bisa. Claudia yang meskipun seorang adik kelas, cukup berani terhadap Soraya. Karena meskipun Soraya lebih cantik, tapi kebodohannya di seantero sekolah sangat terkenal, jadi membuat Claudia merasa lebih pantas untuk bersama Rex.