Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Kita Berdua
...Tama...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Enam tahun lalu...
Kita semua lagi makan malam, tapi suasananya canggung.
Tante Ike dan Bokap gue mencoba ajak kita buat bicara, tapi kita berdua lagi enggak mood buat ngomong.
Dari tadi kita cuma menatap piring masing-masing. Kita cuma aduk-aduk makanan pakai garpu. Kita enggak ingin makan.
Bokap tanya Tante Ike mau duduk di belakang enggak. Tante Ike jawab iya.
Dia juga minta Yesica bantu gue buat beresin meja. Yesica mengangguk.
Kita berdua bawa piring ke dapur.
Kita diam.
Yesica bersandar di meja, sementara gue taruh piring ke wastafel. Dia memperhatikan gue yang mencoba mati-matian buat terlihat enggak peduli sama dia. Dia enggak sadar, kalau sebenarnya dia ada di mana-mana. Dia ada di segala hal dalam pikiran gue.
Hidup gue.
Ini bikin gue kewalahan. Kepala gue isinya bukan otak lagi.
Tapi dia.
Pikiran gue cuma tentang Yesica. Dan sekarang gue sadar kalau gue enggak boleh jatuh cinta sama lo, Yesica.
Gue lihat ke wastafel.
Gue lihat Yesica.
Gue hirup udara.
Gue ingin hirup Yesica.
Gue tutup mata.
Yang gue lihat cuma Yesica.
Gue cuci tangan.
Gue ingin sentuh Yesica.
Gue keringkan tangan pakai handuk sebelum gue berbalik menghadap dia.
Tangannya mencengkeram meja di belakangnya. Tangan gue terlipat di dada. "Mereka orang tua paling busuk di dunia ini," bisiknya. Suaranya bergetar. Hati gue ikut bergetar.
"Iya, menjijikkan," balas gue.
Dia ketawa.
Gue seharusnya enggak jatuh cinta sama tawa lo, Yesica.
Dia menghela napas.
Iya, gue jatuh cinta sama itu juga, napasnya yang berirama.
"Udah berapa lama mereka pacaran?" tanya gue.
Gue yakin dia pasti jujur. Dia angkat bahu. "Setahun, mungkin. Awalnya jarak jauh sampai Bokap lo pindahin kita ke sini biar bisa dekat sama dia."
Gue bisa rasakan betapa hancurnya hati Nyokap gue.
Kita berdua benci dia, 'Bokap' gue.
"Setahun?" tanya gue lagi. "Lo yakin?"
Dia mengangguk, tatapannya kosong. Dia enggak tahu soal nyokap gue.
Gue bisa lihat itu.
"Yesica?"
Gue sebut namanya dengan keras, seperti yang gue ingin lakukan sejak pertama kali ketemu dia.
Dia terus tatap gue. Dia telan ludahnya, lalu hembuskan napas pelan, "Iya?"
Gue maju melangkah ke arahnya. Tubuhnya bereaksi. Dia berdiri lebih tegak, napasnya lebih berat, pipinya makin merah, tapi enggak merah-merah amat.
Tangan gue merayap di pinggangnya sedangkan mata gue berusaha untuk mencari-cari jawaban di matanya. Dan, mata kucing itu enggak bilang "enggak," jadi gue lanjut.
Waktu bibir gue menyentuh bibirnya, rasanya campur aduk. Baik dan buruk. Benar dan salah. Rasanya gue ingin balas dendam.
Dia menghirup napas, mencuri sebagian dari napas gue. Gue hembuskan lebih banyak napas ke dia. Lidah kita bersentuhan, rasa bersalah kita saling membelit, dan jari-jari gue menyusup ke rambut yang Tuhan ciptakan khusus buat dia.
Rasa favorit baru gue sekarang adalah Yesica.
Hal favorit baru gue sekarang adalah Yesica.
Gue ingin Yesica jadi kado di ulang tahun gue.
Gue ingin Yesica jadi hadiah Natal gue.
Gue ingin Yesica jadi Buket yang ditujukan khusus buat gue di hari kelulusan gue.
Yesica, Yesica, Yesica.
Gue tetap bakal jatuh cinta sama lo, Yesica, apa pun yang terjadi.
Pintu belakang terbuka. Gue lepaskan Yesica. Dia juga melepaskan gue, tapi cuma secara fisik. Sayangnya gue masih bisa merasakan dia dalam segala hal yang lainnya, dalam batin gue terutama.
Gue mengalihkan pandangan dari dia, tapi segala arah mata ini menuju, dia selalu ada di pandangan gue. Sepertinya gue lagi pakai softlens tapi bergambar Yesica.
Tante Ike masuk ke dapur. Dia kelihatan bahagia. Dia punya hak buat bahagia. Iya, dia kan bukan orang mati.
Dia bilang ke Yesica kalau waktunya pulang. Gue bilang selamat tinggal ke arah mereka berdua, tapi kata-kata gue cuma buat Yesica.
Dia tahu itu.
Gue balik ke belakang dan menyelesaikan cuci piring. Gue bilang ke Bokap kalau Tante Ike baik.
Gue cuma belum bilang kalau gue benci dia, iya, Bokap gue. Mungkin gue enggak akan pernah bilang. Gue enggak tahu apa gunanya kasih tahu dia kalau gue enggak lagi melihat dirinya yang dulu.
Sekarang dia biasa saja. Hanya manusia biasa di mata gue. Mungkin itu adalah tahap sebelum lo jadi dewasa, menyadari kalau Bokap lo enggak lebih paham arti kehidupan daripada lo.
Gue masuk ke kamar. Gue ambil HP, dan gue chat Yesica.
Gue: Gimana besok malam?
^^^Yesica: Kita bohong aja sama mereka.^^^
Gue: Lo bisa ketemu gue jam tujuh?
^^^Yesica: Bisa.^^^
Gue: Yesica?
^^^Yesica: Iya.^^^
Gue: Mimpi indah.
^^^Yesica: Iya, Tama.^^^
Gue matikan HP, karena gue ingin chat itu jadi pesan terakhir yang gue terima malam ini.
Gue tutup mata.
Gue jatuh cinta, Yesica.
...Sintia...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Genap dua minggu gue enggak ketemu sama Tama, tapi baru dua detik sejak terakhir kali gue memikirkan dia.
Kayaknya dia cowok pekerja keras seperti Amio, dan meskipun kadang enak juga berada di apartemen ini sendirian, rasanya lebih enak lagi kalau Amio enggak kerja dan ada orang buat diajak mengobrol. Gue bakal bilang lebih enak lagi kalau Amio dan Tama dua-duanya lagi libur, tapi itu enggak pernah kejadian semenjak gue tinggal di sini.
Sampai sekarang.
"Bokapnya lagi kerja, dan dia libur sampai Senin," kata Amio. Gue sama sekali enggak tahu kalau dia mengajak Tama buat balik bareng kita untuk merayakan Tahun Baru di rumah gue di Surabaya.
Dia lagi mengetok pintu apartemen Tama. "Dia juga enggak ada kegiatan lain, di sini."
Gue yakin gue akan mengangguk sekencang-kencangnya setelah mendengar itu, tapi gue langsung jalan ke arah lift. Gue takut begitu Tama buka pintu, kegembiraan gue soal dia ikut sama kita bakal kelihatan jelas.
Gue di dalam lift, di dinding paling belakang, ketika mereka berdua masuk. Tama menatap gue dan mengangguk, tapi itu doang yang gue dapat.
Terakhir kali gue mengobrol sama dia, gue bikin semuanya jadi canggung di antara kita, jadi gue enggak ngomong sepatah kata pun.
Gue juga berusaha buat enggak menatap dia, tapi susah banget buat fokus ke hal yang lain. Dia santai pakai topi baseball, jeans, dan kaos gelap polos.
Gue rasa itu sebabnya kenapa susah buat enggak menatap dia, karena menurut gue cowok yang enggak terlalu berusaha buat kelihatan menarik justru jauh lebih menarik.
Mata gue akhirnya meninggalkan pakaiannya dan ketemu sama tatapan tajamnya. Gue enggak tahu harus senyum malu atau buang muka, jadi gue pilih buat menyontek gerakan dia untuk berikutnya, menunggu dia buang muka lebih dulu.
Tapi dia enggak melakukannya. Dia terus memperhatikan gue dalam diam selama sisa perjalanan di lift, dan gue keras kepala melakukan hal yang sama.