Naas, kemarin Ceren memaksa hatinya untuk menerima Gilang, si teman sekolah yang jelas-jelas tidak termasuk ke dalam kriteria teman idaman, karena ternyata ia adalah anak dari seorang yang berpengaruh membolak-balikan nasib ekonomi ayah Ceren.
Namun baru saja ia menerima dengan hati ikhlas, takdir seperti sedang mempermainkan hatinya dengan membuat Ceren harus naik ranjang dengan kakak iparnya yang memiliki status duda anak satu sekaligus kepala sekolah di tempatnya menimba ilmu, pak Hilman Prambodo.
"Welcome to the world mrs. Bodo..." lirihnya.
Follow Ig ~> Thatha Chilli
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MDND ~ Bab 18
Gilang sempat memejamkan matanya barang sejenak, merasai betapa nikmatnya rasa sakit penggugur dosa-dosa yang diberikan Tuhan untuknya, ada helaan nafas sulit mengingat Ceren yang mulai menerimanya.
Namun matanya kembali terbuka saat Ceren masuk ke dalam ruangan bersama Hilman. Lirikan mata itu lemah, namun segera menyipit ketika ia tersenyum saat Ceren masuk.
"Mas,"
Hilman memang kesal, namun mau bagaimana lagi, "hm. Bandel kamu, Lang." Ujarnya lirih. Selanjutnya Ceren hanya bisa menganga melihat proses cuci da rah itu, baru pertama kali ia menyaksikan proses kemo.
Tak lama, Hilman harus kembali ke sekolah, meninggalkan Ceren setelah sebelumnya mengobrol tentang kondisi Gilang bersama dokter Keano.
Ia kembali memanggil Ceren keluar dari ruangan untuk mengajaknya berbicara.
"Kenapa to, mas?"
Hilman mengusap dagunya berulang kali terlihat bingung dan gusar, sementara Ceren masih menunggunya berbicara.
"Gilang harus mondok di rumah sakit." Ceren menaikan alisnya sebelah mewakili pertanyaan dalam benaknya, "kondisi Gilang cukup mengkhawatirkan." kini ada lengu han berat saat Hilman bernafas dan itu membuat Ceren ikutan sesek, jangan bilang begitu...tolong jangan!
"Memangnya seberapa parah, mas, penyakit Gilang?"
"Ya aku tau, cancer itu penyakit mematikan...tapi sudah sampai---" tukasnya.
"Stadium 4 akhir." Jawab Hilman semakin membuat Ceren serasa ditimpa langit, "minggu lepas beberapa organ vital mulai mengalami kerusakan."
Dan untuk pernyataan itu, Ceren ingin Hilman menarik kata-katanya lagi, ia tak mau mendengarnya. Disaat ia mulai bisa menerima kehadiran Gilang, kenapa harus seperti ini?
Hilman terlihat sama seperti Ceren, ia mengalihkan pandangannya ke lain arah demi tak terlihat menyedihkan di depan adik ipar sekaligus muridnya itu, "kalau kamu mau menunggui Gilang, bilang sama pak Yana untuk membawa semua kebutuhanmu selama disini, ataupun jika kamu tetap mau sekolah dulu, itu better..."
"Saya titip Gilang sebentar." Hilman langsung membalikan badannya saat netranya terlihat sudah berkaca-kaca.
Ceren memundurkan posisinya hingga dapat bersandar di tembok barang sebentar saja demi menetralisir perasaannya.
Butuh waktu hingga sepuluh menit untuknya mengurangi rasa sedihnya, dan Ceren memutuskan untuk kembali ke dalam, menemani suaminya itu.
"Hofffttt...."
Gilang terlihat mengambil sebiji anggur di meja samping, membuat Ceren bergegas menghampiri, "biar aku ambilin..."
Gilang mengulas senyumannya, "ngobrol apa sama pak Bodo?" kekehnya mencibir kakaknya sendiri yang mendapat delikan dari Ceren.
"Dia marahin kamu, ya? Mana mas Hilman?! Apa masih di luar, biar aku kasih pelajaran, karena udah berani marahin istriku!" Gilang seperti hendak bangun, namun Ceren menghadang menahannya, "eh, mau ngapain?! So herooo!" cibirnya.
"Ngga kok. Pak Bodo ngga marahin aku. Dia ngasih tau kalo hari ini kita nginep disini..." jawab Ceren mengambil buah-buahan dan menawarkan itu untuk Gilang.
"Ngga, aku mau itu saja..." tunjuknya pada anggur. Ceren sudah mengambil posisi duduk di samping ranjang Gilang, namun baru saja ia hendak menyodorkan buah anggur, Gilang sudah mendorongnya menjauh, "tolong ambilkan pispot.." pintanya berwajah pucat nan getir.
Ceren segera mengedarkan pandangannya mencari benda yang dimaksud, "mana sih?"
Gilang sudah menahan sesuatu yang bersiap meluncur bebas dari mulutnya dan menunjuk ke bawah ranjang.
"Oh," Ceren bergegas mengambilnya, "huwekkkk!"
Gilang masih mengeluarkan isian perutnya di pispot sementara Ceren menatapnya getir, tangannya terulur mengusap punggung Gilang.
Ia menatap dengan netra yang kini mulai melelehkan cairan panasnya, "aku harus ngapain, Lang?"
Gilang kembali merebahkan badannya dan mengatur nafas, di kondisi begini Gilang masih dapat tersenyum dan berkata lembut, "jangan nangis, sayang...aku sudah terbiasa dengan kondisi ini. Nanti juga baik-baik lagi."
Namun tangis Ceren justru semakin deras berjatuhan tak bisa ditahan lagi, bahunya bergetar demi menahan sesenggukan. Gilang mengusap pipi Ceren, "jika Allah mau mengambilku sekarang, aku ikhlas Ren. Karena semua yang kuinginkan sudah ada di sampingku...."
.
.
Lelah karena menangis, Ceren sampai tertidur di samping Gilang yang juga memejamkan matanya, 3-4 jam bukanlah waktu sebentar.
Hingga seorang perawat mencolek Ceren dan memintanya bangun demi memindahkan ruang rawat Gilang.
Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya Ceren menemani Gilang ke ruang rawatnya, seiring bu Ambar dan pak Baraspati datang.
"Le, astaghfirullah...kenapa bisa masuk lagi, gusti. Maafin ibu yang kelupaan..." ia menyerbu Gilang yang kini terbaring di ranjang.
"Ngga apa-apa bu."
Pak Baraspati kini berdiri di samping Ceren, "Masmu yang bilang sama bapak...maafkan kami semua yang sudah menarikmu dalam pusara masalah ini..."
Ceren kembali menggeleng dan tersenyum getir menatap Gilang dan bu Ambar yang tengah asyik bercerita tentang bagaimana bersyukurnya Gilang ditemani Ceren. Tak lama Hilman ikut menyusul kesana sendirian tanpa Kaisar.
"Man, Kai bagaimana, dengan siapa di rumah, Sri kah?" ibu memang orang yang paling khawatir terhadap semua orang di rumah.
Ia mengangguk, "iya."
Sempat ia duduk dahulu di sofa namun kemudian ia menyodorkan beberapa buah buku catatan pada Ceren, "saya tidak mau kondisi Gilang dijadikan alasan kamu tertinggal pelajaran." ujarnya. Ceren meraih itu dengan hati menggerutu, tau aja si bapak kalo gue mau modus!
"Makasih mas." Ucapnya kurang ikhlas.
Pandangan Gilang sejenak terasa nanar melihat Ceren, ia cukup sadar diri sudah merepotkan dan menjadi beban Ceren, bahkan sejak siang Ceren belum makan apapun.
"Sayang,"
Badasss! Seketika wajah Ceren memerah karena malu, karena jelas panggilan itu terkesan lebay sampai semua penghuni disana menatapnya berlebihan.
"Mumpung ada bapak sama ibu, kamu makan dulu gih, dari tadi kamu belum makan..." pinta Gilang.
Gleukk! "oh, iya..." dan ia memutuskan untuk pergi saja ketimbang harus menanggung malu karena panggilan Gilang untuknya terkesan berlebihan.
"Kalo gitu aku----" jempolnya sudah menunjuk pintu ruangan.
"Bareng saja dengan masmu, nduk." tukas pak Baras yang langsung melirik Hilman, "man, kamu belum makan dan ngopi kan?" ia melirik arlojinya, "sudah hampir sore."
Ceren tak bisa lebih terkejut lagi, inginnya menolak saran ayah mertuanya itu, oh ayolah! Yang benar saja, makan ditemenin manusia setengah gedebong pisang begitu persis makan diawasin po cong!
Pandangan Gilang pun sontak saja memandang kakaknya, "iya mas. Mas tuh paling sering nunda-nunda makan, ndak baik. Sekalian bareng istri aku aja mas...boleh tah yang?" kini tatapannya beralih pada Ceren.
TIDAK!!!!
"Ah, iya----" angguk Ceren tersenyum kaku, ia tak kuasa menolak permintaan Gilang. Dan si alnya Hilman langsung beranjak tanpa penolakan, apes!
"Oke. Saya ke kantin dulu.." ucapnya, melengos bahkan melewati Ceren begitu saja, kalo gitu kenapa juga mesti barengan, paukkk!
"Aku ke kantin dulu sebentar," ijin Ceren diangguki ketiga lainnya. Ceren cukup dibuat terkejut saat ia keluar ruangan, ia kira Hilman akan terus saja berjalan meninggalkannya, namun rupanya ia masih berada disana menunggunya, "lama." Desisnya.
Alisnya mengernyit, "salah gue gituhh? Lagian siapa suruh nungguin oncom..." komat kamitnya bergumam tanpa suara dan hampir mengepalkan tangannya lalu melahapnya.
"Ayo." ia sempat terhenti dan menoleh ke belakang membuat Ceren kaget setengah mamposs, "i..iya mas."
Kembali, Ceren harus kembali berdua dengan Hilman dalam kondisi yang terasa canggung lagi. Rasanya cicak-cicak yang ia lewati saja sedang berkata, aweuuu....aweuu.... Si alan!
Jarak dari ruangan rawat Gilang ke kantin berasa bagai bumi dan Arsy-Nya Allah, jauhhhhhh!
Suasana yang tercipta pun, nol! Malah berasa panas di tengkuk!
Ceren memesan nasi goreng plus es jeruk, sementara Hilman hanya memesan kopi saja, "saya makan di rumah saja nanti."
Ngga nawarin sumpah...
"Iya mas." angguk Ceren kaku.
Beberapa kali Ceren mencuri pandang pada si bapak kepsek ini, bagaimana tidak terlihat wong ia ada di depan mata. Kesan dingin, datar dan berkharisma memang melekat pada sosok kepala sekolah muda itu.
Sesekali ia menyeruput kopinya sambil memainkan ponsel dan merokok meskipun tak sampai satu batang penuh.
Tanpa mengobrol satu tema pun ia beranjak, "saya duluan." tanpa ba bi bu lagi, ia merogoh dompetnya lantas membayar semua pesanan mereka, "makanan kamu sudah saya bayar, tidak perlu bayar lagi." ujarnya.
"Oh, makasih---" belum sampai selesai berkata, Hilman sudah melengos duluan, "mas..." membuat Ceren tak bisa untuk tak mengumpatinya, sambil melahap besar-besar, "gembelll! Ck..."
"Shhh! Punya kakak ipar persis batang pohon gelondongan!" rutuknya segera menyelesaikan makanan di depannya dengan emosi, padahal bapak selalu mengatakan tak boleh marah-marah di depan makanan.
Ceren kembali ke ruangan Gilang sesaat setelah makanannya habis, berharap jika kakak iparnya itu sudah pulang karena sudah meninggalkan Kaisar sendiri bersama pengasuhnya. Entah kenapa ia kurang nyaman saja ada satu pasokan oksigen dengan Hilman.
Berharap kondisi ruang rawat sepi, atau minimalnya hanya ada bu Ambar, alis Ceren dibuat mengkerut ketika baru saja membuka pinti dan mendapati pemandangan Gilang sudah memakai jaket bersama selang infusan yang sudah terlepas dari nadinya.
"Loh, ini----"
"Kita pulang sekarang ya, sayang. Aku bosen disini..." jawab Gilang dibantu bapak. Ceren tak mengerti dengan semuanya, begitupun dengan wajah bu Ambar yang telah berurai air mata.
"Kok dadakan kaya tahu?"
"Gilang mau dirawat jalan saja di rumah nduk," ucapan bu Ambar sedikit terbata.
"Cepat bereskan barangmu nduk."
"Loh...loh, sebentar! Emangnya dokter udah kasih ijin?" Ceren menghampiri Gilang dengan tatapan kebingungan.
"Udah. Mas Hilman lagi di ruangannya minta surat keterangan."
Belum ia selesai dengan keterkejutannya, dokter Keano datang ke ruangan sepaket wajah getirnya sementara Hilman....entah kemana.
"Gilang, jaga kondisi..jangan sampai drop lagi."
"Siap dok."
"Loh, Hilman mana, No?" tanya bapak.
"Dia...di luar pak. Katanya mau siapin mobil."
"Oke, see you soon, Lang...sehat-sehat," kini senyum palsu dan tatapan getir itu mendarat juga di Ceren, seolah memberikan isyarat tak mengenakan untuk hatinya.
Ada apa sebenarnya?
"Ceren. Sudah nduk?" tegur bapak.
"Sudah pak. Barang Ceren cuma ini aja." tunjuknya pada tas ransel kecil berisi satu stel baju dan buku.
"Biar Ceren yang dorong..." bantunya mengambil alih kursi roda Gilang, "aku cuma kangen rumah aja." ia mendongak menatap Ceren.
.
.
.
.
happy ending buat pasangan mas bodo dan cerenia, happy selalu bersama keluarga...makasih mbk sin, udah bikin novel yg greget kayak maa bodo
next, going to the next novel, gio adik bontotnya mas tama ya
kopi sudah otewe ya..