Bukan aku tidak mencintainya. Tapi ini sebuah kisah kompleks yang terlanjut kusut. Aku dipaksa untuk meluruskannya kembali, tapi kurasa memotong bagian kusut itu lebih baik dan lebih cepat mengakhiri masalah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Hari itu terasa mendebarkan, penuh harapan dan ketegangan. Ketika aku memasuki kelas, aku merasakan campuran kegembiraan dan kecemasan. Semua yang telah aku lakukan untuk sampai ke titik ini seolah berbayar, meskipun bayangan masa lalu masih menghantuiku.
Rebeca tampak antusias, dan aku menghargai semangatnya. Meskipun aku lebih fokus pada tujuan dan ambisi, kehadirannya membuat lingkungan akademi terasa lebih hangat. Saat instruktur mulai menjelaskan pentingnya analisis TKP, aku menyimak dengan seksama, mencatat setiap kata yang dia ucapkan. Ini adalah dunia yang ingin aku masuki, dan aku bertekad untuk menguasainya.
"Saat kita tiba di lokasi kejadian, kita harus bisa membaca cerita yang ditinggalkan di sana," instruktur melanjutkan. "Setiap barang, setiap jejak bisa memberikan informasi penting tentang apa yang terjadi. Keterampilan observasi kita adalah senjata paling kuat dalam membongkar misteri."
Semangatku membara di dalam diri. Aku tidak hanya ingin belajar; aku ingin berkontribusi, membantu menyelesaikan kasus-kasus yang selama ini mengganggu pikiranku. Pikiran tentang Lucía dan semua gadis lain yang menjadi korban mendorongku untuk tetap fokus.
Seiring berjalannya kelas, aku mulai merasakan keterikatan yang kuat dengan apa yang aku pelajari. Diskusi yang dinamis, tantangan intelektual, dan dorongan dari instruktur membuatku semakin bersemangat. Di akhir kelas, kami diberi tugas untuk melakukan analisis sederhana terhadap sebuah TKP yang disimulasikan.
Rebeca bersemangat untuk berkolaborasi. "Mari kita lakukan ini bersama! Aku rasa kita bisa mendapatkan banyak informasi dari ini," katanya.
Kami mulai mempelajari detail-detail kecil dari simulasi tersebut. Dari jejak sepatu hingga posisi benda-benda di sekitar lokasi, kami mencatat semuanya. Rasanya seperti jadi detektif, dan itu sangat menyenangkan.
Ketika kelas berakhir, aku merasa puas. Meskipun masih merasa seperti pendatang baru, aku tahu bahwa aku berada di tempat yang tepat. Di sinilah aku akan belajar, berkembang, dan berjuang untuk keadilan.
Setibanya di kamar asrama, pikiranku melayang ke Sofía. Aku tahu dia akan bangga melihatku memulai perjalanan ini. Aku bertekad untuk membuatnya bangga, untuk tidak membiarkan pengorbanannya sia-sia. Dalam hati, aku berjanji untuk berjuang demi semua gadis yang pernah mengalami penderitaan serupa.
Hari-hari ke depan pasti akan penuh tantangan, tapi aku siap menghadapinya. Aku sudah memulai babak baru dalam hidupku, dan aku tidak akan mundur.
Aku berusaha tetap fokus pada studi dan mengabaikan rasa canggung setiap kali instruktur itu menatapku. Namun, semakin aku berusaha menjauh, semakin sulit untuk menghilangkan bayangan masa lalu yang mengikutiku. Rasa takut akan pengakuannya menggantung di udara, dan aku merasa terjebak antara keinginan untuk membuktikan diri dan ketakutan akan pengungkapan identitasku.
Rebeca, yang selalu penuh perhatian, mulai menyadari perubahan dalam sikapku. Suatu sore, setelah kelas, dia menghampiriku. "Kamu terlihat sangat tegang setiap kali dia di dekatmu. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya, nada suaranya penuh keprihatinan.
"Aku hanya merasa tidak nyaman. Mungkin aku butuh waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru," jawabku, berusaha terdengar meyakinkan.
Tapi Rebeca tidak begitu saja percaya. "Kamu tahu, kita bisa membicarakannya. Jika ada yang mengganggu pikiranmu, lebih baik dibicarakan daripada dipendam."
Aku terdiam sejenak, berpikir apakah harus membuka diri padanya. Namun, akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengungkapkan rahasiaku. "Terima kasih, Rebeca. Aku akan baik-baik saja. Mungkin aku hanya perlu lebih banyak waktu."
Hari-hari berlalu, dan meskipun aku berusaha untuk tidak terpengaruh, instruktur itu terus menjadi perhatian. Ia tampak semakin sering menatapku dengan cara yang membuatku cemas. Suatu hari, saat kami berada di perpustakaan, aku melihatnya berbicara dengan rekan-rekannya, dan tidak bisa menahan diri untuk mendengarkan sedikit percakapan mereka.
"Dia terlihat sangat familiar, sepertinya aku pernah melihatnya sebelumnya," instruktur itu berkata serius.
Hatiku berdegup kencang. Apakah dia benar-benar mengenaliku? Mungkin saat-saat yang aku anggap sepele ini ternyata tidak sepele bagi orang lain.
Aku memutuskan untuk melakukan pendekatan. Jika aku ingin melanjutkan tanpa beban, aku harus menghadapi ketakutanku. Aku mencari momen ketika dia sendirian di koridor setelah kelas.
"Maaf, bisa berbicara sebentar?" tanyaku, mencoba mengatur napas meski jantungku berdebar.
Dia menoleh dan terlihat sedikit terkejut. "Tentu, Veronica. Ada yang ingin kamu bicarakan?"
Aku merasa terjebak dalam pandangannya yang tajam. "Aku hanya ingin tahu, apakah kamu ingat saat kita bertemu sebelumnya?" Ucapanku terdengar ragu.
Dia terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku merasa kita pernah bertemu, tapi aku tidak bisa mengingat di mana. Apa kamu bisa membantu mengingatkan?"
Sebuah beban berat seolah terangkat dari bahuku, tapi kekhawatiran masih ada. "Aku mungkin hanya terlihat seperti seseorang yang kamu kenal," jawabku, berusaha untuk tidak membongkar semuanya.
Dia mengangguk, tetapi aku bisa melihat ada keraguan di matanya. "Baiklah, jika ada yang ingin kamu ceritakan, aku di sini untuk mendengarkan."
Aku merasa sedikit lega, tetapi saat aku berbalik, aku tahu ini baru permulaan. Aku harus lebih berhati-hati dalam setiap langkah ke depan, dan tidak membiarkan masa lalu kembali menghantuiku.