Bianca, adalah wanita berusia dua puluh empat tahun yang terpaksa menerima calon adik iparnya sebagai mempelai pria di pernikahannya demi menyelamatkan harga diri dan bayi dalam kandungannya.
Meski berasal dari keluarga kaya dan terpandang, rupanya tidak membuat Bianca beruntung dalam hal percintaan. Ia dihianati oleh kekasih dan sahabatnya.
Menikah dengan bocah laki-laki yang masih berusia sembilan belas tahun adalah hal yang cukup membuat hati Bianca ketar-ketir. Akankah pernikahan mereka berjalan dengan mulus? Atau Bianca memilih untuk melepas suami bocahnya demi masa depan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vey Vii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolak Ukur Kedewasaan
Daniel terdiam, ia menerka-nerka tentang apa yang akan mertuanya lakukan untuk menghukum perbuatan Darren.
Sebagai orang yang bisa melakukan apa saja dan dengan cara apa saja, Abraham pasti tidak akan tinggal diam saat satu-satunya anak perempuannya disakiti, dihianati, dan dicampakkan begitu saja.
"Apa yang akan Papa lakukan?" tanya Daniel.
"Menghancurkan hidupnya, seperti dia menghancurkan hidup kami," ucap Abraham tegas.
Daniel tidak bisa membantah. Bagaimanapun, ia harus berpihak pada Bianca. Darren telah mengambil keputusan, dan ia harus menerima resikonya.
Saat Abraham dan Daniel saling diam, Bianca tiba-tiba bangun dari tempat tidur. Ia duduk dan membiarkan kakinya menjuntai ke lantai.
"Papa tidak perlu melakukan apapun," ucap Bianca lirih.
"Apa? Bagaimana bisa Papa harus diam setelah dia berbuat seperti ini?" tanya Abraham tidak mengerti. Daniel pun bingung dengan apa yang Bianca inginkan sebenarnya.
"Dia akan hancur dengan sendirinya, Pa. Kalian tidak perlu lelah memikirkan mereka atau membuang tenaga untuk mengurus mereka. Karma itu selalu ada," jelas Bianca.
Mendengar hal itu, Abraham dan Daniel saling pandang. Keduanya merasa heran, apa Bianca sungguh-sungguh dengan ucapannya? Apa dia baik-baik saja?
"Tapi, Sayang ..." Abraham mendekat, meraih kedua tangan putrinya.
"Tidak, Pa. Jangan lakukan apapun. Biarkan dia menikmatinya, biarkan dia melihatku hancur, biarkan dia bahagia. Dengan begitu, saat semuanya telah tiba, dia akan tahu kesalahannya," ujar Bianca. Ia paham Abraham sangat kecewa dan kesal, sama sepertinya.
Namun, Bianca merasa ia tidak akan ada bedanya jika melakukan hal yang sama seperti apa yang Darren lakukan padanya.
Daniel mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Bianca. Ia merasa beruntung bisa menikahi wanita sebaik Bianca. Tidak peduli apa yang akan orang lain katakan, Bianca adalah sosok terbaik di matanya.
"Baiklah kalau itu maumu." Abraham akhirnya mengalah.
Pesta pernikahan berakhir saat malam. Seluruh tamu undangan serta kerabat jauh yang datang kini mulai meninggalkan gedung pesta.
Selama hampir seharian, tidak sedetik pun Daniel meninggalkan Bianca. Ia begitu setia menemani wanita itu dan memastikan keadaannya baik-baik saja.
***
Pukul sepuluh malam, kedua orang tua Bianca dan kedua orang tua Daniel mengantar anak dan menantu mereka menuju rumah villa.
Bianca menolak untuk tinggal di rumah orang tuanya, ia tetap akan pulang dan tinggal di rumah villa bersama Daniel. Wanita itu tidak mau orang tuanya terus menerus merasa kasihan melihatnya dalam keadaan seperti ini.
Tanpa membawa banyak barang, Daniel mulai menginap dan tinggal di rumah villa ini sebagai suami Bianca.
"Apa kalian akan baik-baik saja? Perlukan kami menginap?" tanya Sintia.
"Tidak, Ma. Kami akan baik-baik saja," jawab Bianca.
"Baiklah, kalau begitu kami akan pulang," sela Bellinda. Ia ingin tinggal, namun Bianca terlihat keberatan dengan kehadiran mereka. Putrinya ingin sendiri, ia butuh menenangkan diri.
Setelah semua orang pergi, tinggal Daniel dan Bianca di rumah ini. Daniel mengantar Bianca ke kamarnya, namun wanita itu menolak.
"Aku ingin tinggal di kamar tamu, kau bisa memakai kamar ini," ujar Bianca.
"Hmm, tentu." Daniel setuju. Lagipula ini adalah kamar yang seharusnya menjadi kamar pengantin. Akan lebih baik jika Bianca menjauhi segala sesuatu yang mengingatkan ia pada Darren.
Meski Bianca tidak meminta, Daniel tetap mengantar Bianca ke kamar tamu. Ia melihat Bianca berdiri di depan jendela, mengamati pemandangan taman belakang rumah yang sunyi dan sepi. Itu menggambarkan perasaan dan hatinya.
"Kau tidak ingin mengganti gaun pengantin itu? Kau sudah memakainya seharian, Kak," tegur Daniel.
"Hmm."
"Akan aku siapkan air hangat untukmu, kau harus mandi dan membersihkan diri."
"Daniel." Bianca berbalik.
"Ya?" Daniel mengangkat kedua alis sambil tersenyum tulus.
"Terima kasih atas segalanya," ucap Bianca.
Daniel mendekat, berdiri tepat di depan Bianca. Kini ia tidak ragu memberikan pelukan hangat untuk wanita di hadapannya.
"Tidak perlu berterima kasih. Seharusnya aku yang berterima kasih karena kau sudah mempercayaiku."
Bianca merasa bersalah. Dengan menikahi Daniel, Bianca seakan merebut masa depan dan masa remaja bocah laki-laki itu.
"Mulai saat ini, kita harus saling menjaga. Jangan khawatirkan aku, semua akan baik-baik saja saat kita melewatinya bersama-sama," ucap Daniel sambil mengusap rambut Bianca.
Setelah itu, Daniel melakukan apa yang sudah ia katakan. Ia ke kamar mandi dan mengisi bath up dengan air hangat untuk Bianca.
"Mandilah, Kak. Aku akan menyiapkan susu agar tidurmu nyenyak," titah Daniel sebelum keluar dari kamar.
Dengan sikap dan sifatnya, Daniel membuktikan bahwa usia bukanlah tolak ukur kedewasaan seseorang. Pola pikir dan cara memecahkan masalah adalah salah satu hal yang bisa membuat seseorang bisa dikatakan dewasa tanpa memandang usia.
***