NovelToon NovelToon
Bolehkah Aku Bermimpi ?

Bolehkah Aku Bermimpi ?

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Janda / Keluarga / Karir / Pembantu / PSK
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Titik.tiga

Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.

Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.

Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21 : Di Tengah Derasnya Arus

Air sungai malam itu terasa dingin dan deras, perahu kecil yang mereka tumpangi terombang-ambing seolah tak berdaya melawan arus. Diana yang masih terengah-engah setelah berenang, duduk di bagian depan perahu, berusaha menjaga keseimbangan. Sementara itu, Raka dan Pak Arif berusaha mendayung secepat mungkin menjauh dari tepi sungai, sementara Putri dan Tiara yang terbaring lemah di tengah perahu hanya bisa bertahan dalam diam.

Suara anjing pelacak dan teriakan para penjaga masih terdengar samar dari arah hutan, namun semakin jauh. Raka berharap mereka telah berhasil menjauhkan diri cukup jauh. Hembusan napas mereka seolah menjadi satu-satunya suara yang jelas di antara deru arus sungai yang bergolak.

“Aku kira kita tidak akan berhasil tadi…” ujar Diana, suaranya rendah, namun nada lega terdengar jelas. Raka memandang kakaknya, Tiara, yang mulai membuka matanya perlahan. Meskipun wajahnya masih pucat, ia tampak lebih sadar. "Kak, kamu baik-baik saja?" Raka bertanya, khawatir namun penuh harapan.

Tiara tersenyum lemah, tangannya terangkat untuk menyentuh pipi adiknya. "Aku gak tahu harus berkata apa, de... Kamu datang untukku. Aku bahkan sudah berpikir aku tidak akan pernah keluar dari sana."

Raka menggenggam tangan kakaknya dengan kuat, perasaan lega dan bahagia bercampur aduk dalam dadanya. "Aku janji, Kak. Aku tidak akan membiarkan apapun terjadi padamu lagi."

Namun kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, suara tembakan terdengar lagi dari kejauhan. Para penjaga tampaknya telah menemukan jalan lain di sepanjang sungai. Raka, Pak Arif, dan Diana langsung tersentak, adrenalin mereka kembali terpacu.

“Kita harus lebih cepat!” seru Diana, matanya menatap cemas ke arah tepi sungai yang masih terlihat dalam bayang-bayang pepohonan.

Pak Arif mengayuh lebih kuat, meskipun napasnya semakin berat. “Jika kita bisa mencapai hulu sungai, kita akan berada di luar jangkauan mereka. Tapi arusnya makin deras, kita harus hati-hati.”

Air sungai kini bergejolak lebih kencang, dan perahu kecil mereka mulai bergoyang hebat. Setiap goyangan terasa semakin membuat perjalanan mereka berbahaya. Raka hampir kehilangan pegangan beberapa kali, namun tekadnya yang kuat untuk melindungi kakaknya membuatnya terus bertahan.

Tiba-tiba, terdengar suara keras dari bawah perahu. Sesuatu menghantam bagian bawah perahu dengan kuat, membuat perahu mereka hampir terbalik.

"Apa itu?" Diana menjerit sambil mencengkeram sisi perahu dengan kuat, matanya mencari-cari sumber gangguan.

Pak Arif mencoba melihat ke bawah perahu, wajahnya memucat. "Batu besar di bawah air… Kita harus lebih hati-hati!"

Namun, sebelum mereka bisa merespons, perahu mereka kembali terguncang hebat. Kali ini, guncangan itu lebih keras, dan air mulai masuk ke dalam perahu. Tiara menjerit, Putri pun mulai menangis ketakutan.

“Perahu kita bocor!” Raka berteriak, sambil mencoba menahan rasa panik yang mulai merayap dalam dirinya.

Mereka tahu, jika perahu itu tenggelam, mereka akan berada dalam bahaya besar. Sungai yang deras dan dingin bisa menenggelamkan mereka kapan saja. Di tengah kepanikan itu, Diana berusaha memompa semangat, meskipun dalam hatinya ia pun mulai merasa takut.

“Kita harus berenang ke tepi!” seru Diana akhirnya, suaranya penuh kepastian. “Tidak ada pilihan lain. Kita gak bisa menunggu sampai perahu ini tenggelam.”

Mereka semua setuju. Satu per satu, mereka melompat dari perahu yang mulai terisi air, melawan arus sungai yang semakin deras. Tiara yang masih lemah dipapah oleh Raka, sementara Pak Arif memegang erat Putri agar tidak terseret arus. Mereka berjuang dengan segenap tenaga, berenang melawan air yang dingin dan deras.

Suasana semakin mencekam. Suara teriakan para penjaga semakin menghilang di belakang, namun bahaya yang mereka hadapi sekarang jauh lebih besar. Di tengah gelapnya malam, arus sungai terasa tak kenal ampun. Namun mereka terus berenang, tak menyerah pada rasa lelah atau dingin.

Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, mereka berhasil mencapai tepi sungai. Napas mereka terengah-engah, tubuh mereka basah kuyup dan kedinginan, namun mereka tahu bahwa ini adalah kemenangan kecil. Mereka telah menjauh dari penjaga, meski kini tantangan baru menanti di hadapan mereka. Di tepi sungai, mereka terbaring kelelahan di antara semak-semak. Diana yang pertama kali bangkit, tubuhnya menggigil kedinginan. Dia melihat sekeliling, memastikan tidak ada penjaga yang mengikuti mereka.

“Kita harus mencari tempat berteduh. Kita terlalu mencolok di sini,” ucap Diana pelan sambil memandang Raka dan Pak Arif, yang masih berusaha memulihkan diri. Pak Arif mengangguk setuju. “Ada sebuah desa kecil tidak jauh dari sini. Tapi ingat pesan Pak Samsul, kita tidak boleh terlalu banyak bicara dengan penduduk di sekitar sini. Banyak dari mereka adalah anak buah Pak Mike.”

Raka, yang memeluk Tiara untuk memberinya kehangatan, mengangguk pelan. “Kita akan berhati-hati,” jawabnya, matanya serius.

Mereka pun mulai berjalan menuju desa kecil yang disebutkan Pak Arif. Jalan setapak yang mereka lalui semakin licin karena embun malam, dan kabut tipis mulai turun menutupi pandangan mereka. Suasana hutan yang sunyi terasa semakin mencekam, dan suara angin yang berdesir melalui pepohonan terdengar seperti bisikan tak menentu.

Di sepanjang perjalanan, Raka merasa jantungnya terus berdebar kencang. Ada perasaan tidak tenang yang menyelimutinya, seolah-olah mereka masih diawasi. Dia berusaha tetap waspada, namun kelelahan fisik dan mental mulai memengaruhinya.

“Raka…” suara Tiara yang lemah memecah kesunyian. Raka menoleh, memandang wajah kakaknya yang tampak semakin pucat.

“Aku… aku ingin istirahat,” lanjut Tiara, suaranya hampir tak terdengar.

Diana, yang berjalan di depan, menoleh dan mendekati mereka. “Kita hampir sampai, Ra. Sedikit lagi. Bertahanlah,” ucapnya lembut, mencoba memberi semangat pada Tiara.

Namun, Raka tahu bahwa kakaknya tidak akan sanggup melangkah jauh lagi. Dia menghentikan langkahnya, memandang Diana dan Pak Arif dengan pandangan putus asa. “Dia gak akan kuat,” ucapnya penuh keraguan. “Kita harus berhenti sejenak.”

Pak Arif memandang sekeliling, menimbang situasi. “Baiklah, kita istirahat di sini sebentar. Tapi kita mesti tetap waspada.”

Mereka pun berhenti di tepi jalan setapak, berlindung di balik sebuah pohon besar. Raka mendudukkan Tiara dengan hati-hati, memeluknya untuk memberinya kehangatan. Sementara itu, Diana dan Pak Arif berjaga, mendengarkan setiap suara yang mencurigakan di sekitar mereka.

Malam semakin larut, kabut semakin tebal menutupi jalan setapak yang mereka lalui. Mereka beristirahat di bawah pohon besar, meski ketakutan masih mengintai di setiap sudut hati mereka. Suara binatang malam menjadi satu-satunya hiburan kecil di tengah kegelapan. Diana dan Pak Arif berjaga dengan penuh kewaspadaan, sementara Raka memeluk erat Tiara, mencoba menghangatkan kakaknya yang mulai kehilangan energi.

“Kak, kamu harus kuat. Kita gak bisa berhenti terlalu lama di sini,” bisik Raka, meski suaranya terdengar penuh kekhawatiran. Wajah Tiara semakin pucat, napasnya terengah-engah. Raka tahu, kondisi kakaknya tidak baik, dan ia merasa bimbang antara harus melanjutkan perjalanan atau menunggu lebih lama agar Tiara pulih sedikit.

Pak Arif menatap mereka dari tempatnya berjaga. “Raka, kita gak punya waktu banyak. Desa itu tak jauh lagi. Jika kita sampai sana, kita bisa mencari tempat aman untuk Tiara beristirahat dengan benar.”

Raka mengangguk, tahu bahwa mereka harus terus bergerak. “Aku mengerti, Pak. Aku akan berusaha membawa Kak Tiara,” ucapnya dengan nada mantap, meski hatinya diliputi keraguan.

Dengan pelan, Raka mencoba membantu Tiara berdiri. Tiara memaksakan senyum tipis di wajahnya, meskipun tubuhnya terasa lemas. “Aku bisa, Raka. Aku akan bertahan,” bisiknya sambil menatap adiknya dengan mata penuh cinta dan rasa bersalah karena merasa menjadi beban dalam perjalanan ini.

Mereka kembali melangkah, pelan tapi pasti, menyusuri jalan setapak yang semakin menanjak menuju desa. Kabut yang tebal membuat jarak pandang semakin terbatas, sehingga setiap langkah mereka terasa lebih menegangkan. Diana yang berjalan di depan, terus menajamkan pendengarannya, takut ada penjaga yang masih mengikuti mereka.

Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara kendaraan. Lampu sorot samar terlihat di balik pepohonan, mendekat dengan cepat.

"Berhenti!" Pak Arif berbisik tegas. "Kita tidak boleh tertangkap di sini. Cepat, sembunyi!"

Mereka semua berlari mencari tempat berlindung di balik semak-semak dan pohon besar. Napas mereka tertahan, berharap cahaya lampu kendaraan tidak mengarah ke tempat mereka bersembunyi. Suara kendaraan semakin mendekat, kemudian berhenti tepat di depan jalan yang mereka lalui.

Diana yang bersembunyi di dekat Raka, memandang ke arah jalan dengan hati-hati. Dari balik semak-semak, dia bisa melihat dua pria keluar dari mobil jeep hitam, berbicara satu sama lain sambil memegang senter.

"Aku yakin mereka melarikan diri ke arah sini," kata salah satu pria itu dengan nada keras. "Periksa sekitar sini. Mereka pasti tidak jauh."

Raka merasakan jantungnya berdebar semakin cepat. Jika mereka ditemukan, semuanya akan berakhir. Tiara yang lemah, Raka yang masih muda, Putri yang ketakutan, dan bahkan Diana tidak akan mampu melawan mereka. Ia hanya bisa berharap penjaga-penjaga itu tidak menyadari keberadaan mereka di balik semak-semak gelap itu.

Pak Arif yang berada di tempat lebih aman, mengisyaratkan dengan tangan agar mereka tetap diam. Mereka semua menahan napas, tidak berani bergerak sedikitpun.

Salah satu penjaga mulai berjalan mendekat ke arah mereka, langkah kakinya terdengar jelas di tanah yang lembab. Cahaya senter yang dipegangnya menyapu sekeliling, mencari sesuatu di antara pepohonan dan semak-semak. Raka bisa merasakan tubuhnya mulai gemetar, takut jika sedikit gerakan saja akan menarik perhatian penjaga itu.

Penjaga itu semakin mendekat, cahaya senternya hampir menyentuh wajah Raka dan Diana. Namun tiba-tiba, suara lain terdengar dari arah yang berlawanan.

"Ayo, kita periksa di sisi lain sungai! Mereka mungkin sudah menyeberang," kata penjaga lain, memanggil rekannya.

Penjaga yang hampir menemukan mereka berhenti sejenak, menatap sekeliling dengan ragu, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan menjauh. Raka menghela napas lega, meski perlahan dan sangat pelan, takut mengeluarkan suara yang dapat menarik perhatian.

Setelah penjaga-penjaga itu kembali ke kendaraan mereka dan suara mobil jeep perlahan menghilang di kejauhan, Pak Arif memberi isyarat bahwa aman untuk keluar.

“Kita harus cepat bergerak. Mereka pasti akan kembali dengan lebih banyak orang jika tidak menemukan kita,” kata Pak Arif dengan tegas, meskipun nada suaranya jelas menyiratkan rasa lega karena mereka terhindar dari bahaya.

Mereka segera melanjutkan perjalanan, meskipun rasa takut masih menyelimuti hati mereka. Kaki mereka terasa berat, namun ketakutan membuat mereka terus melangkah. Diana yang selalu tampak tegar, kini pun tampak mulai kelelahan. Namun ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya, terutama di hadapan Putri yang terus dipegangnya erat.

Setelah perjalanan yang terasa seperti tak berujung, mereka akhirnya tiba di sebuah desa kecil. Lampu-lampu redup dari rumah-rumah kayu sederhana menyambut mereka, dan suasana hening menyelimuti desa itu. Desa ini tampak seperti tempat yang damai, namun peringatan Pak Samsul bahwa desa ini dipenuhi orang-orang yang bekerja untuk Pak Mike membuat suasana mencekam.

Pak Arif menunjuk ke sebuah rumah kecil di sudut desa. “Kita akan bersembunyi di sana untuk sementara waktu. Itu rumah teman lamaku yang bisa kita percayai,” ucapnya.

Mereka semua mengikuti Pak Arif dengan hati-hati, menyusuri jalan tanah yang licin. Rumah yang mereka tuju tampak sepi, namun dari jendela terlihat lampu yang menyala di dalam. Pak Arif mengetuk pintu perlahan, dan tak lama kemudian pintu dibuka oleh seorang pria paruh baya dengan wajah keras, namun matanya menunjukkan kehangatan.

“Pak Arif?” tanya pria itu, suaranya berat namun penuh kejutan. “Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam begini?”

“Kita butuh bantuanmu, Pak Darma,” ucap Pak Arif dengan suara rendah. “Kami sedang dalam masalah besar.”

Pak Darma mengangguk, matanya memandang ke arah kelompok mereka yang tampak lelah dan penuh luka. “Masuklah. Kita bicara di dalam.”

Mereka semua segera masuk ke dalam rumah kecil itu, merasa sedikit lega meskipun kewaspadaan tetap tinggi. Di dalam, Pak Darma menutup pintu dengan cepat dan membimbing mereka ke ruang tamu yang sederhana. “Apa yang terjadi?” tanyanya serius sambil memandang Pak Arif.

“Kami dikejar orang-orang Pak Mike,” jawab Pak Arif singkat, tanpa perlu menjelaskan terlalu banyak.

Pak Darma menghela napas dalam, lalu menatap Tiara yang tampak semakin lemah. “Dia terlihat tidak baik. Apa yang terjadi padanya?”

Raka, yang masih memeluk kakaknya, berkata dengan suara bergetar. “Dia terlalu lelah, Pak. Kami sudah berusaha sekuat tenaga membawanya ke sini, tapi dia benar-benar butuh istirahat.”

Pak Darma mengangguk. “Bawa dia ke kamar di belakang. Dia butuh tidur, dan saya akan mencari sesuatu untuk menghangatkan kalian semua.”

Raka membawa Tiara dengan hati-hati ke kamar yang ditunjukkan Pak Darma. Di kamar kecil itu, Tiara akhirnya bisa berbaring dengan nyaman di atas kasur yang meskipun sederhana, terasa seperti surga baginya setelah berhari-hari dikejar ketakutan.

Diana duduk di samping kasur, memandang Tiara dengan wajah prihatin. “Kau sudah jauh lebih kuat dari yang kau kira, Tiara. Aku yakin kita akan selamat dari semua ini.”

Tiara tersenyum tipis, meski matanya mulai menutup perlahan karena kelelahan yang luar biasa. “Terima kasih, Diana. Terima kasih karena tidak menyerah padaku.”

1
NT.Fa
hidup sepahit itu kah? Kasian Tiara
NT.Fa
Semangat ya Tiara
NT.Fa
cerita yg menarik... inspirasi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!