Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 34 ~
Selang sekitar sepuluh menit, pintu kamar mandi terbuka. Mas Bima keluar dengan wajah serta rambutnya yang agak sedikit basah, mungkin dia baru saja mencuci muka untuk meredam emosinya.
Dia pasti marah karena aku menghilang tanpa kabar, dia juga kecewa sebab aku dengan sengaja mengabaikan putrinya.
Tapi bagaimana dengan dia yang sudah mengkhianatiku di hotel Gemintang bersama Gesya?
Aku juga wajib marah, bukan?
"Mandilah, sudah ku siapkan air hangat" ucapnya membuatku terkejut.
Aku tertegun, sama sekali tak menyangka kalau mas Bima akan memerintahkanku dengan nada lembut seperti sedang bicara pada Lala.
Mengerjapkan mata, aku memperhatikan mas Bima yang raut wajahnya tak semenakutkan tadi saat dia menyeretku dari lantai bawah ke lantai atas.
Dia diam, dengan sabar menunggu responku.
"Arimbi!" Panggilnya ketika aku bergeming sambil menatap dirinya yang juga sedang menatapku.
"Bersihkan dirimu sekarang!"
Menelan ludah, aku mulai berjalan pelan menuju lemari. Baru saja melangkah sekitar tiga langkah, mas Bima segera meraih tanganku dan membawaku memasuki kamar mandi.
"Aku mau ambil baju ganti, mas"
"Biar ku ambilkan, mandilah sebelum airnya kembali dingin"
"T-tapi_"
Kalimatku terpenggal karena pintunya tahu-tahu tertutup.
Di dalam kamar mandi, aku hanya bisa pasrah memikirkan kemungkinan terbesar bahwa aku akan keluar dengan hanya memakai handuk yang di lilitkan._____
Ku guyur kepalaku dengan air yang sudah mas Bima persiapkan, berharap ketakutan akan hanyut seiring dengan air yang mengalir di tubuhku.
Tanpa ku sadari air mataku kembali menetes ketika bayangan pergulatan mas Bima dan Gesya menari-nari di otakku.
Meski aku tak melihat dengan mata kepalaku sendiri, tapi aku bisa melukis bagaimana gambaran orang yang sedang bercinta di atas ranjang.
Dadaku sesak, hatiku seperti tercubit dengan sangat keras, menimbulkan rasa perih yang entah bagaimana caraku mengobatinya.
Tak ingin berlama-lama, aku menyudahi ritual mandiku. Ku lilitkan handuk untuk membungkus tubuh dan juga rambut basahku.
Pelan, ku buka pintu kamar mandi. Setelah pintu terbuka, sepasang netraku langsung bertemu pandang dengan netra kelam milik mas Bima.
Aku menelan ludahku berusaha mengusir perasaan gugup yang langsung menyerangku.
"Baju ganti ada di atas sofa" Kata mas Bima melirik ke arah bajuku. Begitu juga denganku yang langsung mengarahkan atensiku pada sofa di sebelah ranjang.
Ketika pakaianku sudah berada di tanganku, dan ketika aku hendak kembali masuk ke kamar mandi, mas Bima buru-buru menghalangiku dengan berdiri di depan pintu sambil bersedakap.
Apa maksudnya?
Kenapa dia seakan tak memberiku izin untuk berganti pakaian di dalam kamar mandi?
"Permisi mas, aku mau masuk"
"Mau ngapain? Bukankah kamu sudah mandi?" fokusnya penuh menatapku.
"Aku mau pakai baju di dalam"
"Pakai di sini" Pintanya datar, sedatar raut wajahnya yang tanpa ekspresi.
"Tapi mas_"
"Pakai di sini" Ulangnya masih dengan nada yang sama.
Aku ambigu dengan pikiran terbagi antara mengingat kalimat mas Bima barusan dan menimbang-nimbang apakah harus menurutinya untuk memakai baju di hadapannya atau tidak.
"Mau ku bantu memakainya?"
"T-tidak" Sahutku kilat.
Ada senyum miring yang tiba-tiba terbit dan itu langsung membuat jantungku kian kebat-kebit.
"Kalau begitu pakailah sekarang"
"Tapi, mas!"
"Kenapa?" Sambarnya cepat. "Pakai sekarang kalau tidak aku akan_"
"Akan apa?" Selidikku.
"Membantumu"
Membuang napas pasrah, mau tak mau aku harus menuruti ucapannya.
Belum sempat aku mengenakan bajuku, mas Bima tiba-tiba berjalan ke arah meja kerja. Dan mumpung dia sedang memunggungiku, ini kesempatanku untuk mengenakan pakaian dalamku.
Setelah semua pakaian melekat di tubuhku, mas Bima menyuruhku makan. Dia yang tadi berjalan ke arah meja kerja ternyata mengambil nampan berisi nasi dan beberapa lauk di atas piring.
Aku memang belum makan, itu karena tak ada nafsu sedikitpun.
Jangankan nasi, air putih saja sepertinya tak bisa masuk saat pikiranku kalut.
"Makan!" Ujarnya lebih ke memerintahkan.
Duduk bersandar pada headboard, aku mulai menyendokkan nasi lalu ku suapkan ke mulutku.
Ku lirik mas Bima yang sedang duduk di kursi putar dengan menyenderkan punggung di sandaran kursi dan tangan terlipat di dada.
Tatapan penuh intens dan tak teralihkan dari wajahku barang sejenak. Tatapan yang menyiratkan sebuah intimidasi, yang membuatku kian merasa gugup.
Di perhatikan seperti itu, jelas konsentrasiku buyar. Aku bahkan nyaris tersedak makananku karena saking geroginya.
Hening, tidak ada suara selain dentingan sendok yang ku ciptakan.
"Dari mana saja kamu?" tanya mas Bima membuat gerakan menyuapkan sendok ke mulutku terhenti.
"Dari rumah teman"
"Teman yang mana? Semua taman-temanmu sudah ku hubungi, tapi mereka tak tahu keberadaanmu, dan kenapa sampai basah kuyup?"
Aku diam, tak tahu lagi harus menjawab apa.
Hening kembali menyergap.
"Lain kali, jangan matikan ponselmu. Kalau marah, jangan pergi dari rumah, bicarakan baik-baik denganku"
Mas Bima benar, tapi jika aku bertanya tentang hal pribadi dan ingin menyelesaikannya, bukankah dia selalu mengatakan itu privasinya?
"Mau kemana?" Tanyanya ketika aku bangkit. Aku merasa sudah kenyang, dan aku hendak ke dapur untuk meletakkan nampan ini.
"Naruh ini di dapur"
"Berikan padaku!"
"Tapi_"
"Sini" Mas Bima merebut nampan dari tanganku. "Jangan tidur dulu, setelah dari dapur, kita bicara"
Usai mengatakan itu, mas Bima berbalik dan aku mengekor di belakangnya berniat ke kamar mami untuk memboyong Lala ke kamar ini.
Aku sangat merindukannya, aku ingin memeluknya sebagai permintaan maafku karena sudah meninggalkannya.
"Mau kemana kamu?" Mas Bima berbalik.
"Ke kamar mami"
"Mau ngapain"
"Pindahin Lala ke sini"
"Nggak usah, mami sangat lelah karena mengurus Lala yang rewel beberapa saat lalu. Lala pasti juga lelah karena menangis dari jam lima sore dan baru berhenti tadi jam sepuluh"
Mendengar kalimat mas Bima, dadaku berdenyut nyeri.
Ya Tuhan,, aku sudah membuat Lala menangis hingga berjam-jam, bunda macam apa aku ini?
"Biarkan Lala istirahat, dan kamu" Pria itu mengatakannya dengan sorot penuh ke arah bola mataku. "Jangan tidur dulu!"
Mas Bima kembali membalikkan badan, lalu mengarahkan kakinya ke arah pintu kamar.
****
Mendengar kata kita bicara, kakiku melemas tapi sekuat tenaga aku berusaha mempersiapkan diri untuk menjelaskan alasan kenapa pergi dan mematikan ponselku.
Selang sekitar sepuluh menit, pintu tiba-tiba terbuka menampilkan mas Bima dengan raut datarnya.
Jantungku di dalam sana mulai berdetak tak karuan.
Sementara sepasang netraku terus memindai tubuh mas Bima yang berjalan mendekatiku. Pria ini dengan santainya duduk di tepi ranjang tepat di sampingku dan menghadapku.
"Apa yang akan kamu jelaskan tentang kepergianmu?"
Baiklah, sepertinya aku memang harus berani mengutarakan alasanku.
"Sebelum aku jawab kenapa aku pergi" Kataku setenang mungkin. "Bisa mas jelaskan apa yang mas Lakukan di hotel Gemintang bersama Gesya?"
Ada raut terkejut di wajah mas Bima usai mendengar pertanyaanku, tapi di detik berikutnya, aku di buat bingung karena tiba-tiba dia tersenyum miring.
"Kamu tahu aku di sana bersama Gesya?"
"Kalau aku nggak tahu, aku nggak akan nanya"
"Jadi itu alasan kamu menghilang selama beberapa jam?"
Mas Bima menggelangkan kepala, dan aku tak mengerti apa arti gelengan kepalanya itu.
"Katakan kalau cemburu"
"Istri mana yang nggak cemburu melihat suaminya keluar dari hotel, dan saat aku menemui Gesya di kamarnya, dia mengatakan kalau kalian baru saja melepas rindu"
Ucapanku membuat mas Bima langsung mengerutkan kening, kemudian diam dengan sorot berubah seolah sedang mencermatiku.
"Melepas rindu?"
Aku mengangguk meresponnya, kemudian menunduk menatap jemariku yang bertaut di atas pangkuan.
"Hufftt... Ternyata gara-gara ini to" Desisnya.
"Kamu lihat aku di sana?"
Aku kembali mengangguk.
Aku begeming dengan rahang terkatup rapat. Kami saling menatap penuh lekat.
Dari tatapan dan senyum miringnya, aku merasa mas Bima sedang meremehkan keingintahuanku tentang pertemuan mereka di hotel.
"Kalau kamu masuk lebih cepat ke hotel itu, kamu akan tahu apa yang terjadi antara aku dan Gesya"
"Mas pikir aku akan membiarkan hatiku hancur berkeping-keping?"
Mas Bima mendekatkan wajahnya lalu menghela napas tepat di depan wajahku, sementara aku menahan napas dengan jantung berdebar.
"Makannya" Tangan mas Bima menyingkirkan helaian rambutku yang menutupi sebagian mataku. "Jangan menerka-nerka dan jangan mudah terbawa emosi. Kalau sudah begini, coba siapa yang sakit hati? Salah paham karena terburu-buru menyimpulkan tanpa konfirmasi lebih dulu"
"Ngapain mas di sana?" tanyaku karena merasa aku belum mendapat jawabannya. Aku menahan untuk tak meluncurkan titik bening yang siap jatuh.
"Kalau aku bilang nggak ngapa-ngapain, apa kamu percaya? Atau kalau aku bilang aku sama sekali nggak masuk ke kamar Gesya, kamu percaya?"
"Maksudnya, mas mau nyalahin aku karena aku sudah ambil prasangka buruk, begitu?" Aku langsung mengusap pipi yang di luncuri setitik embun.
"Hmm" sahutnya tanpa rasa bersalah "Dan mau mengoreksimu. Lain kali harus tanyakan betul-betul, dan jangan buru-buru berspekulasi. Kamu tahu, gara-gara kamu pergi, Lala sampai membentakku, aku kewalahan membujuknya makan, aku juga tak bisa menghentikan tangisannya, jadi siapa yang ku salahkan kalau bukan kamu?"
"Tapi apa maksud rambut Gesya yang basah?" tanyaku lagi kian penasaran.
"Jadi kamu sedang menuduhku kalau aku menyentuhnya"
"Memangnya apa lagi prasangkaku kalau bukan ke arah sana?"
"Harusnya kamu berfikir Arimbi! Kamu saja yang jelas-jelas halal ku sentuh, aku tidak menyentuhmu, apalagi wanita sialan itu"
What!!! Mas Bima mengatai Gesya wanita sialan?
Tunggu...
Apa jangan-jangan aku di bohongi sama Gesya?
Tahu-tahu mas Bima berdiri, lalu meraih bantal di samping kiriku.
Sembari berjalan ke arah sofa, dia berkata.
"Sudah hampir jam satu. Tidurlah! kita akan lanjutkan pembicaraan kita besok pagi. Karena kamu sudah mendapat jawabanku, besok giliranku mendapat jawabanmu"
"Jawaban apa? Mas saja tidak memberiku jawaban secara gamblang"
"Percuma aku memberitahumu karena kamu pasti nggak akan percaya. Lebih baik, besok kita ke Gemintang dan lihat CCTV hotel itu. Dari situ kamu akan tahu aku ngapain di sana"
"Apa maksud mas?"
"Tidurlah sudah malam" Mas Bima merebahkan diri di atas sofa. Dia tidur dengan posisi miring seraya menatapku.
Merasa kesal, aku memiringkan badan memunggungi mas Bima.
Sebelum benar-benar terlelap, aku berfikir keras tentang jawaban apa yang mas Bima inginkan dariku.
Bersambung.
Semangat berkarya