Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Takdir?
Dante menghela napas panjang sambil melirik ke arah Naya dan Widuri yang tergeletak tak berdaya di jok belakang mobilnya. Mereka berdua mabuk berat, dan dia masih bingung harus membawa mereka ke mana. "Aduh, harus bawa mereka ke mana, ya?" gumamnya sambil menggaruk kepala.
Ini bukan situasi yang ideal baginya. Naya, seorang wanita yang baru saja memintanya melarikan diri dari tunangannya, dan Widuri, sahabat Naya yang terlalu mabuk hingga tak bisa mengurus dirinya sendiri. Dante mengenal mereka hanya sebentar, tapi kini ia mendapati dirinya bertanggung jawab atas dua orang yang praktis tak sadarkan diri.
Saat Dante mencoba mencari solusi di tengah malam yang dingin itu, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia melihat layar, dan nama yang tertera membuat alisnya terangkat. "Alex," gumamnya. Alex adalah mitra bisnisnya yang sebelumnya telah membuat janji untuk bertemu di club tersebut, meski Dante tak benar-benar yakin apa alasan Alex ingin bertemu di tempat seperti itu.
Dante segera mengangkat teleponnya. "Halo, Alex."
Suara Alex terdengar riang di seberang telepon. "Dante! Kamu di mana? Aku sudah di dalam club. Kita jadi ketemu, kan?"
Dante memandang ke arah club yang lampunya masih berkelap-kelip dari kejauhan, kemudian menoleh ke Naya dan Widuri yang masih tertidur di belakang mobilnya. "Umm, sepertinya ada perubahan rencana. Aku nggak bisa masuk ke club sekarang, ada... urusan mendesak di sini."
Alex tertawa ringan. "Urusan mendesak? Kamu? Di tempat seperti ini? Ayolah, bro, sejak kapan kamu jadi orang yang suka drama? Kamu nggak biasanya mundur kayak gini."
Dante menatap Naya yang mulai mengigau pelan di kursi belakang. Dia mendesah, tahu bahwa situasinya terlalu rumit untuk dijelaskan lewat telepon. "Ini bukan soal drama, Alex. Aku harus mengurus dua orang yang mabuk parah, mereka teman... seseorang yang aku kenal. Dan aku nggak bisa tinggalkan mereka begitu saja."
Alex terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Baiklah, kelihatannya kamu benar-benar sibuk. Kalau begitu, gimana kalau kita tunda dulu pertemuannya? Atau kamu butuh bantuan?"
Dante berpikir sejenak. Membawa Naya dan Widuri ke pertemuan bisnis jelas bukan ide yang bagus, tapi mungkin Alex bisa membantunya memikirkan solusi. "Sebenarnya, kalau kamu bisa kasih ide ke mana aku bisa membawa dua wanita mabuk ini, itu akan sangat membantu."
Terdengar tawa dari seberang telepon. "Oh, Dante. Baiklah, kalau kamu ada di sekitar situ, aku sarankan kamu bawa mereka ke hotel terdekat. Ada hotel kecil di ujung jalan dekat club, nggak terlalu jauh dari situ. Tempatnya cukup nyaman, setidaknya cukup aman buat mereka istirahat sampai sober. Gimana?"
Dante mengangguk meski Alex tidak bisa melihatnya. "Baik, itu terdengar seperti rencana yang bagus. Terima kasih, Alex."
"Tidak masalah, bro. Selamat menyelamatkan malam, ya!" Alex menutup telepon dengan nada bercanda, membuat Dante menggelengkan kepala.
Dante memasukkan ponselnya ke saku dan menyalakan mesin mobil. "Oke, kita bawa kalian ke hotel," gumamnya sambil menatap kaca spion, memastikan kedua penumpangnya masih di tempat. Dengan pelan, dia mengarahkan mobilnya menuju hotel yang disebutkan Alex.
Dalam perjalanan, Naya mulai bergerak sedikit, menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Dante melirik ke kaca spion, melihatnya setengah sadar tapi masih dalam keadaan mabuk berat.
"Kenapa sih hidup... ribet banget?" keluh Naya pelan sambil memejamkan mata. "Aku cuma mau... ya ampun, apa aku... salah?"
Dante tidak menanggapi, membiarkan Naya berbicara dalam igauannya. Sebagian dari dirinya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup Naya, tapi dia tahu itu bukan urusannya untuk saat ini. Yang penting adalah memastikan mereka aman.
Widuri, di sisi lain, tampak benar-benar tak sadar, tidur dengan mulut sedikit terbuka dan mendengkur pelan. Dante mendesah lega karena setidaknya satu dari mereka tidak menambah masalah.
Sesampainya di hotel kecil yang disebutkan Alex, Dante memarkir mobilnya di tempat yang aman. Ia turun dari mobil dan berjalan ke arah pintu masuk hotel untuk memesan kamar. Setelah berbicara singkat dengan petugas resepsionis, ia berhasil mendapatkan sebuah kamar dengan dua tempat tidur.
Dante kemudian kembali ke mobil untuk menjemput Naya dan Widuri. Ia membuka pintu belakang dan mengangkat Widuri terlebih dahulu. Walaupun dia ringan, tetap saja mengangkat orang yang tak sadar diri itu bukanlah tugas yang mudah. Setelah menaruh Widuri di salah satu tempat tidur di kamar hotel, ia kembali untuk membawa Naya.
Saat Dante memapah Naya keluar dari mobil, ia terkejut ketika Naya tiba-tiba meraih lengannya dan bergumam, "Dante... kamu... baik banget."
Dante mengangkat alis, merasa sedikit tak nyaman dengan pujian itu, terutama mengingat situasi mereka. "Ayo, Naya, kita harus masuk," ucapnya lembut, mencoba tetap fokus.
Naya setengah berjalan, setengah bersandar di Dante, dengan langkah yang tak stabil. "Aku nggak biasa kayak gini... biasanya aku kuat... tapi sekarang... aku lemah."
Dante menuntunnya ke dalam kamar hotel, memastikan Naya bisa berbaring dengan nyaman di tempat tidur. Setelah memastikan bahwa kedua wanita itu aman, ia duduk di kursi dekat jendela, menghela napas panjang. Malam ini benar-benar di luar perkiraannya. Ia berencana bertemu Alex untuk urusan bisnis, tapi malah terlibat dalam situasi yang jauh lebih rumit.
Setelah memastikan Naya dan Widuri terbaring dengan aman di kamar hotel, Dante menghela napas panjang sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding. Matanya menatap kedua wanita yang kini tertidur lelap, tak sadar betapa rumit dan kacau malam ini untuknya. Kelelahan mulai merayapi tubuhnya, tapi bukan karena keletihan fisik—melainkan frustrasi dan rasa jenuh yang tiba-tiba menyelimuti dirinya.
"Kenapa aku selalu terlibat dalam masalah ini?" gumamnya, nyaris tak percaya.
Dante memijat pelipisnya. Rasanya seperti takdir terus menyeretnya kembali ke dalam hidup Naya—meskipun ia sudah berusaha menjaga jarak. Sebelumnya, hubungan mereka hanya terbatas pada urusan kerja yang berujung konflik, namun kini situasinya jauh lebih rumit dan personal.
Setelah diam sejenak, Dante memutuskan bahwa sudah saatnya untuk pergi. "Sudah cukup. Aku nggak perlu terlibat lebih jauh," bisiknya pada dirinya sendiri. Ia menoleh sekali lagi ke arah Naya yang tampak damai dalam tidurnya, sebuah ironi besar mengingat betapa ribut dan emosional ia sebelumnya.
Dante berjalan pelan menuju pintu, membuka gagangnya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan mereka. Namun sebelum keluar, ia kembali menatap pemandangan kamar yang remang-remang itu—seakan ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya.
"Ini bukan urusanku lagi," ucap Dante pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri. "Aku sudah melakukan bagianku."
Setelah itu, ia keluar dari kamar hotel, membiarkan pintu menutup perlahan di belakangnya. Begitu berada di luar, angin malam yang dingin menyapanya, membuatnya sedikit lebih sadar. Jalanan sekitar hotel sepi, dan langit masih tertutup awan kelabu setelah hujan deras sebelumnya.
Dante segera menuju mobilnya yang terparkir di luar hotel. Ia membuka pintu, masuk ke dalam, dan duduk di kursi pengemudi, lalu menyalakan mesin. Namun, meski dia bisa saja langsung pergi, tangannya tetap di setir, dan pikirannya melayang kembali ke Naya.
Selama beberapa menit, Dante hanya duduk diam di dalam mobil, merasa kesal dan bingung sekaligus. Ada sesuatu tentang Naya yang membuatnya merasa terus terjebak dalam lingkaran ini. Mungkin rasa bersalah? Atau simpati karena melihatnya dalam keadaan rentan? Atau bisa jadi, tanpa disadari, ia memang peduli?