Bagi beberapa orang, Jakarta adalah tempat menaruh harapan. Tempat mewujudkan beragam asa yang dirajut sedemikian rupa dari kampung halaman.
Namun, bagi Ageeta Mehrani, Jakarta lebih dari itu. Ia adalah kolase dari banyak kejadian. Tempatnya menangis dan tertawa. Tempatnya jatuh, untuk kemudian bangkit lagi dengan kaki-kaki yang tumbuh lebih hebat. Juga, tempatnya menemukan cinta dan mimpi-mimpi baru.
“Kata siapa Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri? Kalau katamu begitu, mungkin kamu belum bertemu dengan seseorang yang akan membuatmu menyadari bahwa Jakarta bukan sekadar kota bising penuh debu.”—Ageeta Mehrani, 2024
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surprise
Rasanya seperti kena prank. Setelah sempat dibuat melayang karena sekotak bubur ayam rumahan dan seperangkat vitamin pemberian Reno, serta kebaikan hati para karyawan yang tidak memberikannya request aneh-aneh seperti hari biasa, kini Ageeta harus dibuat megap-megap karena bolak-balik naik turun tangga darurat.
Sama seperti kekompakan mereka tadi pagi dengan jawaban tidak ketika ditanya ingin apa, persis sebelum jam makan siang, mereka semua juga kompak mengajukan request yang tidak ada putus-putusnya. Selesai satu tumbuh yang lain, begitu terus sampai kaki Ageeta rasanya hampir copot. Sampai-sampai Ageeta juga tidak punya waktu untuk kembali ke pantri, sekadar menyiapkan makan siang untuk dirinya sendiri.
Kali ini, request datang dari Laras. Perempuan yang biasanya tidak suka aneh-aneh itu tiba-tiba saja ngidam ingin dibelikan ketoprak porsi double. Padahal semua orang di kantor ini juga tahu kalau Laras tidak pernah bisa terlalu banyak makan karbohidrat.
Kendati sambil mendumal dan berkali-kali harus berhenti untuk mengatur napasnya yang satu-satu, Ageeta tetap berhasil membelikan apa yang perempuan itu mau. Sekarang dia hanya perlu kembali ke kantor, mungkin akan lebih baik baginya naik lift nanti daripada harus memaksa naik tangga. Demi menjaga kakinya tetap utuh menempel di tempatnya.
Setelah upaya menerobos terik matahari yang membuat kulitnya terasa terbakar penuh, Ageeta akhirnya sampai lagi di area gedung perusahaan. Hanya tinggal berjalan lurus menuju lift yang ada di lobi, dan pekerjaannya akan selesai.
Namun, seperti sudah dirancang sedemikian rupa agar hari sibuknya berjalan sempurna, Ageeta sama sekali tidak kebagian untuk naik lift.
“Ini kenapa mendadak banyak banget manusia yang lalu-lalang di kantor, sih?!” gerutunya. Sebab biasanya, Ageeta merasa kantor ini terlalu sepi untuk ukuran perusahaan top 3.
Walaupun napasnya sudah ngos-ngosan dan kakinya gemetar hebat nyaris tidak mau lagi diajak jalan, Ageeta tetap mengayunkan kakinya menuju tangga darurat. Sambil menyeka keringat, juga cairan bening yang merembes sedikit di sudut-sudut matanya.
“Harus sabar, harus ikhlas,” ucapnya. Diusapnya dada berkali-kali, menyabarkan diri sendiri.
Pada akhirnya, tangga-tangga besi di sana tetap Ageeta daki satu persatu. Sesekali berhenti karena napasnya habis, sesekali pula mengambil jeda karena kakinya terasa keram. Hingga akhirnya, dia tiba juga di tujuan.
Mata Ageeta berkaca-kaca sewaktu melihat pintu ruangan yang tertutup. Dengan bibir yang maju sedikit ala-ala bocah hendak menangis, ia mempercepat langkah dan segera mendorong pintu tersebut. Hanya untuk dibuat kebingungan tatkala menemukan ruang kerja yang berseberangan dengan pantri itu kosong melompong. Laras dan yang lainnya menghilang, entah ke mana.
“Ini apa lagi, Ya Tuhan....” Ageeta menatap satu persatu meja kerja di sana dengan nelangsa.
Akhirnya, mau tidak mau, Ageeta bawa saja ketoprak pesanan Laras ke pantri. Langkahnya lunglai, sudah tidak bertenaga. Lemah pula ketika tangannya mendorong pintu pantri, tidak berekspektasi untuk menemukan siapa pun di sana kecuali...
“Happy birthday!”
Waktu seakan berhenti berputar ketika pita-pita dan confetti diledakkan ke udara, disusul riuh suara terompet yang ditiup berpadu dengan nyanyian selamat ulang tahun yang dikumandangkan bersama-sama.
Tangis yang sedari tadi Ageeta tahan karena lelah naik turun tangga, meledak begitu saja. Ketoprak milik Laras dia tinggalkan di atas meja, hanya untuk dirinya bisa berlari ke arah perempuan itu, menghambur ke dalam pelukannya.
Orang-orang semakin riuh, semakin bersemangat menyanyikan lagu selamat ulang tahun dan meminta Ageeta untuk cepat-cepat memanjatkan doa sebelum meniup lilin dengan angka 26 berwarna merah menyala itu.
Ageeta melepaskan diri dari pelukan Laras pelan-pelan, menatap satu persatu rekan karyawan yang tersenyum tulus merayakan ulang tahunnya. Kemudian, ia baru menyadari bahwa pantri yang merupakan markas tempatnya banyak berada, telah disulap sedemikian rupa.
Pada dinding yang kosong dekat rak-rak penyimpanan, ditempel balon warna-warni dan tulisan Selamat Ulang Tahun yang disusun huruf demi huruf. Tak lupa pita dan renda-renda, dipercantik pula dengan adanya lembaran-lembaran polaroid berisi potret Ageeta bersama para karyawan bestie-nya.
“Ayo, tiup lilinnya,” kata Laras.
Ageeta, masih berusaha menghentikan tangis harunya, mulai meniup lilin satu persatu. Setelah padam, suara tepuk tangan menggema memenuhi pantri. Lantas terseru perintah untuk memotong kue, dan segera dilaksanakan oleh Ageeta dengan bantuan Laras.
“Potongan pertama, mau kamu kasih ke siapa?” tanya salah seorang rekan.
Tidak perlu berpikir lama, Ageeta langsung membawa sepotong kue di piring kepada Laras. Kepada perempuan cantik blasteran itulah potongan pertama layak diberikan. Sebab sedari ia masih anak baru di kantor ini, Laraslah yang telah banyak membantu.
“Makasih,” ucap Laras. Senyumnya terkembang lebar. Sempat-sempatnya pula memamerkan potongan kue miliknya kepada rekan-rekan yang lain, yang lantas ditanggapi oleh mereka dengan sorakan seakan-akan mereka betulan merasa iri.
Satu demi satu potongan selanjutnya kemudian Ageeta berikan kepada rekan-rekan yang lain, mereka menerimanya juga dengan senyum yang tak kalah lebar dari milik Laras.
Ageeta tersanjung. Kesal dan lelah yang dia bawa sedari tadi, lantas menguap begitu saja. Mengudara, bersama derai tawa yang mereka bagi bersama.
Di hari spesial yang bahkan sempat dia lupakan itu, Ageeta menyadari bahwa dia tidak pernah benar-benar sendiri. Ia tidak sebatang kara. Sebab orang-orang yang dia temui di kantor ini, yang bermula sebagai orang asing dan mulai menjadi dekat satu sama lain, sudah lebih dari cukup untuk dia anggap seperti keluarganya sendiri.
...****************...
“Bapak manggil saya?”
Reno mengangkat kepala, menjeda kegiatannya kala suara jernih Ageeta menyusup ke telinga.
“Oh, iya. Sini,” ujarnya. Sembari menunggu Ageeta berjalan mendekat, diambilnya paper bag dari kolong meja kerja, dinaikkan ke atas lalu didorong ke arah Ageeta ketika gadis itu sudah berdiri di depan meja kerjanya.
Sang gadis tampak kebingungan. Dahinya yang berkerut banyak adalah perwakilan untuk pertanyaan ini apa? Yang belum sempat ditanyakan melalui lisan.
“Kado untuk kamu. Happy birthday, ya. Maaf saya nggak bisa ikut rayain tadi siang karena ada meeting di luar.” Reno menjelaskan tanpa menunggu diminta.
Ageeta menatap Reno cukup lama, alih-alih berterima kasih atau lebih dulu memeriksa apa isi paper bag di hadapannya.
Untuk Laras dan rekan-rekan yang lain, Ageeta tidak heran kalau mereka tahu kapan dirinya ulang tahun. Tidak merasa aneh juga telah diberikan kejutan dengan effort yang tidak main-main. Tapi kalau untuk Reno... Ageeta tidak pernah berpikir kalau lelaki itu akan tahu—dan cukup peduli—tentang hari ulang tahunnya.
“Ekspresi kamu kenapa kayak gitu? Nggak suka ?”
“Ng—nggak....” Ageeta menggelengkan kepala. “Saya cuma heran, kok Bapak bisa tahu hari ulang tahun saya?”
“Laras yang kasih tahu.”
“Mbak Laras?”
Reno mengangguk, menyambar botol air mineral di atas meja lalu meminumnya sedikit sebelum kembali berbicara. “Dia juga yang heboh bikin group chat khusus buat adaian surprise party kecil-kecilan buat kamu.” Terangnya. Hampir-hampir tergelak kalau mengingat lagi bagaimana cara Laras membujuknya untuk ikut masuk ke dalam group chat tersebut. For your information, Reno memang tidak pernah suka nomor kontaknya dimasukkan ke dalam grup apa pun, kecuali yang ada hubungannya dengan pekerjaan.
Mendengar penjelasan Reno, lagi-lagi mata Ageeta berkaca-kaca. Laras memang selalu bisa mengambil hatinya. Selalu nomor satu dalam hal membuatnya menangis haru—walau di banyak kesempatan, gadis itu juga yang paling sering membuatnya naik darah.
“Meweknya jangan di sini, nanti saya dikira habis marah-marah lagi sama kamu. Saya nggak mau dihujat sama Teman Ageeta.”
“Teman Ageeta?”
“Iya, Teman Ageeta. Itu persatuan orang-orang yang cinta dan care sama kamu di kantor ini.” Yang kali ini, Reno tidak bisa menahan tawa. Gagasan perihal nama fandom unik ini datangnya juga dari Laras. Entah kenapa perempuan itu memang seperti ingin mendeklarasikan kepada semua orang betapa ia mencintai Ageeta—plus mengajak orang-orang untuk turut melakukan hal serupa.
“Ambil kado kamu, terus pergi. Saya mau lanjut kerja lagi.” Interupsi Reno.
Ageeta yang sedang mengarungi keharuannya lagi, sontak menarik kembali air mata yang sudah hampir jatuh. Berkomat-kamitlah ia meski tanpa suara, seraya meraih ujung paper bag tanpa menaruh curiga bahwa isinya... seberat itu!
“Ya Tuhan!” serunya, usai berhasil menangkap paper bag tebal berwarna putih itu sebelum jatuh mengenaskan di lantai. Ia peluk erat-erat benda tersebut, lalu tak sengaja teraba isi di dalamnya sehingga ia bisa menerka-nerka apa isi di dalamnya.
Sesaat, Ageeta terdiam. Ia hendak mencerna dengan saksama apakah tebakannya benar. Lalu...
“Pak,” lirihnya.
Seolah mengerti, Reno mengangguk enteng. “Buat kamu kuliah. Kamu ambil kelas online, kan?”
Ageeta mengangguk, lalu berucap, “Tapi, Pak, apa enggak too much?”
“Enggak.” Reno menjawab yakin. Bukan bermaksud sombong atau terkesan menggampangkan sesuatu, tetapi satu unit MacBook bukanlah kado yang berlebihan, kalau ditujukannya untuk Ageeta. Mengingat sudah seberapa giat dan gigihnya gadis itu bekerja selama ini.
“Manfaatin baik-baik dan belajar yang bener. I’m watching you, Ageeta Mehrani.” Susul Reno.
Terima kasih saya rasanya tidak cukup, maka Ageeta sampai membungkukkan badan berkali-kali, sebelum akhirnya pamit undur diri dengan perasaan yang campur aduk. Ya senang, ya sungkan, ya merasa sedikit terbebani. Tetapi, apa pun itu, Reno benar. Apa yang sudah diberikan kepada dirinya memang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Tidak hanya MacBook ini, tetapi juga kado-kado lain yang dia terima dari rekan-rekan yang lain.
“Tuhan, terima kasih sudah sayang sama Ageeta!” Ia berseru lantang. Tuhan memang bisa diajak bicara meski tanpa harus mengeluarkan suara, tetapi untuk kali ini, Ageeta ingin seluruh dunia tahu bahwa dia benar-benar merasa bersyukur karena Tuhan banyak sekali memberikan hal-hal baik ke dalam hidupnya.
Bersambung....
ninggalin 🌹 dulu buat ka author✌️✌️✌️