Lovestruck In The City

Lovestruck In The City

The Capital City

Bagi sebagian orang, Jakarta adalah tempat menaruh harapan. Datang jauh-jauh dari kota lain membawa mimpi besar untuk diwujudkan, tak jarang harus menelan kecewa karena realitas menampar wajah terlalu keras. Ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri, begitu yang selalu Ageeta dengar dari orang-orang ketika mencegahnya untuk tidak pergi ke perantauan.

Kedatangannya ke kota ini tepat ketika usianya genap 18 tahun. Baru lulus SMA, masih udik dan bau matahari. Bermodal ijazah dari sekolah Negeri biasa-biasa saja, ia nekat melamar kerja. Menjadi apa saja, asal halal dan bisa membantunya menghidupi diri sendiri.

Di tahun pertama kedatangannya, Jakarta masih terlihat biasa saja. Hanya debu kendaraan bermotor yang berlebih, suara dengung klakson silih berganti, juga tumpukan sampah berbau busuk yang sehari-hari Ageeta temui. Meskipun memang kesulitan mencari kerja, ia masih tidak berpikir bahwa Jakarta seburuk itu. Hingga kini, memasuki tahun ke-delapan, Ageeta menjadi semakin terbiasa. Terlebih karena baru-baru ini, ia memiliki asa baru yang dia bawa ke mana-mana. Pengharapan sederhana untuk diterima dan dicintai apa adanya.

“Heh!” gulungan koran mendarat di kepala Ageeta, membuyarkan lamunannya. Ia meringis dan mengumpat, kemudian memutar kepala cepat seperti burung hantu yang lehernya bisa berputar 360 derajat.

“Kenapa?” tanyanya datar, kepada seorang pria berkemeja biru tua yang berkacak pinggang di hadapannya.

“Mana kopi saya? Saya udah nunggu dari tadi!” Pria berambut hitam legam itu menyalak. Untuk menambahkan kesan dramatis, jam merek mahal di pergelangan tangan kiri ditunjuk berkali-kali.

Ageeta melenguh, memutar bola mata malas kemudian bangkit dari kursi. Ogah-ogahan menuju pantri, lalu membuka laci penyimpanan kopi dengan gerakan sewot dan bibir maju tiga senti.

“Office girl di kantor ini bukan cuma saya, Pak Reno. Lagi pula, Bapak kan kerjanya di lantai delapan, kenapa repot-repot nyari kopi ke lantai enam?” Kendati sambil mengomel, Ageeta tetap meracikkan kopi untuk pria yang menjabat sebagai General Manajer itu.

“Cuma kopi buatan kamu yang bisa saya minum. Yang lain kalau bikin kopi selalu kebanyakan air sama gula.” Santai, Reno mendudukkan dirinya di kursi yang semula Ageeta diami. Gulungan koran dibuka, mulai dibaca dari halaman awal yang headline di sana tertulis dengan kalimat klickbait khas media zaman sekarang.

Persetan soal etika, yang penting beritanya ramai dan banyak pembaca.

“Haduh, gimana negara ini mau maju kalau menterinya pada korupsi?” tanpa permisi, Ageeta ikut mencuri pandang pada halaman yang Reno baca. Berkomentar sambil geleng-geleng kepala seraya meletakkan cangkir berisi kopi panas di depan sang atasan. “Masih mending kalau duitnya dipakai buat apa, ini mah dipakai buat nyawer biduan. Dasar orang gila!”

“Uang haram memang larinya nggak akan ke hal-hal yang bermanfaat.” Yang ini suara Reno. Menyesap kopi buatan Ageeta sedikit, mencecap rasa pahit-manis di lidahnya beberapa saat, kemudian manggut-manggut.

“Enak?”

Reno melebarkan senyum, mengangkat jempol tepat ke depan wajah Ageeta. “Numero Uno,” pujinya.

Tanpa berusaha menunjukkan bunga-bunga yang mekar di hatinya, Ageeta mengibaskan rambut. Sok centil dan merasa penuh percaya diri. “Ya iyalah, siapa dulu yang bikin? Ageeta Mehrani!” serunya bangga. Hendak menepuk dada, namun urung dan hanya diganti dengan senyum selebar kepalan tangan orang dewasa.

Reno geleng-geleng kepala dibuatnya. Sejujurnya, salah satu alasan kenapa dia rela bersusah payah turun ke lantai 6 hanya untuk secangkir kopi yang bisa dia dapatkan dari café di seberang kantor adalah reaksi Ageeta yang seperti ini. Tidak seperti office girl lain yang cenderung segan dan malu-malu, Ageeta punya energi positif yang tidak main-main. Cerah dan ceria, kombinasi yang sempurna untuk menetralkan aura suram di lanta 8—lantainya para atasan dengan beban pekerjaan segudang. Sifat menyenangkan Ageeta itu jugalah yang membuatnya disukai banyak orang, termasuk jajaran direksi yang terkesan dingin dan terlalu jauh untuk dijangkau orang lain.

“Omong-omong,” memotong momen selebrasi kecil-kecilan yang Ageeta lakukan, Reno memulai topik obrolan baru. “Kamu jadi daftar kuliah?”

Alih-alih redup, senyum lebar Ageeta semakin merekah setelah pertanyaan itu mengudara. Dengan semangat, gadis itu menganggukkan kepala.

“Mau ambil jurusan apa?” koran diletakkan, kopi disesap lagi seraya matanya menatap lurus ke arah Ageeta.

“Sastra Inggris,” sahut sang gadis. Mata cekolatnya berbinar, memancarkan semangat yang tak terhentikan.

“Kenapa milih jurusan itu?”

“Biar makin pintar Bahasa Inggris,” sahut Ageeta. Gadis itu menyeret kursi dari pojok pantri, membawanya menuju meja bundar tempat Reno meletakkan korannya, kemudian duduk. Kedua tangannya bertaut, menopang dagu selagi matanya yang berbinar terus menatap Reno. “Kalau udah pintar Bahasa Inggris, pasti lebih gampang buat jadi bule hunter.”

Sambungan kalimat itu sontak membuat kopi di dalam mulut Reno menyembur keluar. Percikannya muncrat hingga mengotori meja dan bagian depan kemejanya sendiri. Sementara Ageeta, mengandalkan refleks yang cukup bagus, berhasil selamat dari muncratan butiran kopi setelah menggeser kursinya mundur secepat kilat.

“Saya tahu kopi buatan saya enak, tapi alangkah lebih baiknya kalau Pak Reno minum pelan-pelan supaya nggak keselek,” nasihat sang gadis. Sok tahu menyimpulkan alasan kenapa kopi yang diminum oleh pria berusia awal 30-an itu bisa menyembur keluar.

Menanggapi kesoktahuan Ageeta, Reno meraih koran miliknya dan menggulungnya cepat, tanpa ragu menggunakannya untuk memukul kepala Ageeta sekali lagi agar gadis itu berhenti bicara sembarangan.

Sang gadis memekik heboh, melindungi kepalanya yang mendapatkan hadiah sebanyak empat kali. “Saya baik loh ngingetin Bapak, kenapa kepala saya malah dipukul?!” protesnya tak terima.

Melupakan soal kemejanya yang kotor dan kopi yang jadi mubazir tak dihabiskan, Reno mengempaskan punggung ke kursi seraya mendesah kasar. Kedua lengannya terlipat, tatapannya menajam—mengintimidasi.

“Apa? Kenapa?” tantang sang gadis. Masih tidak terima kepalanya yang difitrahi malah mendapatkan terlalu banyak hadiah sepagi ini.

“Masih berani nanya kenapa kamu?” tanya Reno balik.

Ageeta bedecak, ikut-ikutan bersedekap. “Saya enggak tahu, makanya nanya.”

“Kamu mau tahu?”

Ageeta mengangguk.

Reno menghela napas rendah, menegakkan punggung dan menyuruh Ageeta mendekat. Sang gadis patuh, menarik kursi, mencondongkan tubuh ke depan dan…

Tap!

Satu tepukan pelan mendarat di bibir tebalnya yang dipulas gincu warna merah. Merengut, sudah pasti. Berharap mendapat penjelasan, dia malah sekali lagi dihadiahi. Namun, belum sempat bibir tebal itu mengajukan protes, sanga atasan sudah lebih dulu buka suara.

“Mulut kamu itu kalau ngomong suka sembarangan, jadinya harus dikasih pelajaran,” ujarnya. Sudah jelas, Ageeta tidak akan menemukan setitik pun penyesalan baik dari raut wajah maupun nada suaranya. Selain terkenal tampan—ekhem, ini Ageeta tidak sengaja mencuri dengar dari para karyawan ketika jam makan siang—Reno juga tenar sebagai seseorang bermulut tajam dan anti menarik kembali apa yang sudah diucapkan. Ageeta tidak akan menuntut permintaan maaf, karena itu akan percuma. Jadi sebagai gantinya, dia hanya bersungut-sungut dan kembali ke tempat duduknya dengan raut wajah yang ditekuk.

“Padahal kan memang lagi trend orang-orang jadi bule hunter,” cicitnya, nyaris seperti bisikan gaib yang hanya bisa didengar oleh telinganya sendiri.

“Daripada mikir buat jadi bule hunter, mendingan kamu belajar yang bener biar bisa cari pekerjaan lain.”

Ageeta menaikkan pandangan, bibirnya berhenti mendumal. “Kenapa? Jadi office girl memangnya nggak worth it?”

“Bukan nggak worth it, tapi kalau bisa cari pekerjaan lain ya kenapa enggak? Memangnya kamu mau stuck di sini terus? Enggak pengin gitu pakai kemeja sama rok sepan, gantungin lanyard di leher, ngerjain lebih banyak hal yang bisa eksplor kemampuan otak kamu yang selama ini cuma dipakai buat haluin mas-mas Korea dan Thailand di FYP TikTok kamu itu?”

“Ya … mau, sih.” Ageeta menyahut dengan suara kecil dan sambil garuk-garuk kepala. Sungguh demi apa pun, dia cuma bercanda soal menjadi bule hunter. Celetukan asal yang memang sudah kerap kali keluar dari bibirnya yang terbiasa bertukar jokes dengan sesama office girl ketika jam makan siang. Lagi pula, seperti yang Reno bilang, seleranya adalah mas-mas Asia, bukan bule Eropa, jadi sangat tidak masuk akal kalau dia betulan ingin merealisasikan ucapan asalnya. Tapi, lebih dari itu, kenapa respons Reno heboh sekali kali ini? Bukankah pria itu sudah cukup terbiasa mendengar celetukan asalnya karena hampir setiap hari bertemu meski hanya di jam-jam ketika ia butuh asupan kopi?

Untuk beberapa lama, tidak ada yang bicara. Hanya saling pandang seolah dengan begitu saja mereka sudah cukup mengerti isi kepala masing-masing. Sampai kemudian, nada dering yang berbunyi nyaring dari saku celana Reno menjadi satu-satunya hal yang memecahkan keheningan.

Berdeham sekali, Reno merogoh saku celana bahan dan mengeluarkan ponsel, memeriksa ID penelepon sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak panggilan. Nama Juan terpampang segede gaban, lengkap dengan profile picture keluarga bahagia dengan formasi ayah, ibu, dan bayi perempuan mereka yang baru berusia 3 tahun.

Telepon akhirnya diterima pada dering ke-tujuh. Reno menempelkan benda pipih dengan case khas bapak-bapak ke telinga kiri seraya bangkit meninggalkan kursi.

“Kenapa?” sapanya.

Dari ekor matanya, Reno menemukan Ageeta mengamati setiap pergerakan yang dia ambil. Maka sebelum langkahnya mencapai pintu pantri, dia berhenti dan berbalik. Hanya untuk berkata, “Omongan adalah doa, jadi kurang-kurangin bikin celetukan yang aneh meskipun niat kamu cuma bercanda.” Lalu melanjutkan langkah dan kembali sibuk bertukar bicara dengan Juan.

Sementara di tempat duduknya, Ageeta termenung. Bukan. Ini bukan perkara omongan Reno yang memang ada benarnya, melainkan dada kirinya yang mendadak berdebar-debar tidak biasa. Seakan jantung di dalamnya sedang memompa darah dengan semangat yang ekstra, tidak seperti pada umumnya.

“Aduh….” Ia mengeluh. Menggerayangi dadanya selagi pandangannya masih tidak beralih dari pintu pantri. “Kayaknya bener kata Mbak Laras, yang paling bahaya dari Pak Reno itu adalah tatapan matanya pas lagi ngomong serius.”

Ageeta berdiam diri cukup lama di pantri pagi itu. Tanpa tahu bahwa debaran di dada kirinya itu akan lebih sering muncul seiring dengan berjalannya waktu.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

F.T Zira

F.T Zira

tujuannya sesimpel itu... ti ati.. yg ada jodohmu warga lokal juga😆😆

2024-07-22

1

F.T Zira

F.T Zira

modusnya lancar ya bang😆😆

2024-07-22

0

F.T Zira

F.T Zira

masukin sianida gak bakal ada yg liat kyk nya🤭🤭🤭

2024-07-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!