"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Pulang
Setelah makan malam, Hana merapikan meja lalu membuka kulkas, mengambil dua botol soda. Gerakannya lincah tapi terlihat santai.
"Ayo, nonton film sambil minum soda," katanya, sambil menyodorkan remote TV ke Ryan. "Kau pilih filmnya."
Ryan memegang remote itu, ragu. "Apa saja yang kau suka. Aku jarang nonton film."
Hana tertawa pendek, sambil menuang soda ke gelas. "Serius? Kau hidup di zaman apa?"
Ryan tersenyum kecil, agak canggung. 'Haruskah aku bilang yang sebenarnya? Aku memang nggak pernah terlalu suka nonton film atau hiburan semacam ini,' pikirnya.
Akhirnya mereka memilih film aksi yang sedang populer. Hana menonton dengan penuh perhatian, tapi Ryan? Pikirannya jauh. Fokusnya pada layar terpecah, dia lebih banyak mengamati detail-detail kecil di ruangan dan menghindari tatapan Hana.
Tiba-tiba, Hana berbicara. Masih menatap layar, suaranya datar tapi ada beban di baliknya. "Ryan, pernah terpikir untuk cerita? Maksudku, tentang apa yang pernah kau alami. Aku bisa melihat ada banyak hal yang kau simpan."
Ryan langsung kaku. Pertanyaan itu seperti tamparan. 'Masa lalu...' pikirnya. Semua rasa tidak nyaman naik ke permukaan. 'Haruskah aku cerita? Tidak... dia tak perlu tahu semua itu.'
Tanpa memandangnya, Hana melanjutkan, "Kalau nggak sekarang juga nggak apa-apa. Aku cuma mau kau tahu, kau nggak sendirian."
Ryan meremas gelas di tangannya, seolah berusaha menahan perasaan yang meluap. Kata-kata Hana terdengar tulus, tapi beban yang dia pikul terasa terlalu berat untuk dibagi begitu saja. Malam ini tidak tepat.
"Aku nggak akan memaksa," kata Hana, kali ini menoleh, menatap Ryan dengan pandangan lembut. "Mungkin nanti, kalau kau sudah siap."
Ryan ingin bicara, tapi tenggorokannya seperti terkunci. Hanya anggukan kecil yang keluar. 'Kenapa aku selalu seperti ini? Mau bicara tapi nggak pernah bisa,' pikirnya kesal pada diri sendiri.
Film masih berjalan, tapi keduanya sudah kehilangan minat. Hana menguap kecil, lalu berkata, "Kayaknya udah saatnya tidur. Hari ini cukup panjang."
Ryan hanya mengangguk, lalu berdiri. Suasana canggung menyelimuti mereka. Di depan pintu kamar tamu, Hana berhenti sejenak, lalu berbalik.
"Ryan." Suaranya serius, tak seperti tadi. Ada sesuatu di sana.
Ryan menoleh, terkejut. "Ya?"
Hana menatapnya dalam, matanya penuh perhatian tapi juga penuh arti. "Jangan pernah merasa kau nggak berguna. Percayalah pada dirimu. Di mataku, kau jauh lebih dari yang kau pikir."
Kata-kata itu seperti menghantam Ryan. 'Aku lebih dari yang kupikirkan? Tapi kenapa? Apa yang dia lihat dariku yang aku nggak tahu?' batinnya.
Hana tersenyum kecil sebelum berbalik masuk ke kamarnya. Pintu menutup perlahan, meninggalkan Ryan berdiri di lorong, merenungkan kalimat tadi. Ada sesuatu yang berubah malam ini, meski dia tak bisa menjelaskan apa.
'Mungkin... aku bisa coba lihat diriku dari sudut pandang yang berbeda,' pikir Ryan sambil membuka pintu kamar tamu dan menutupnya di belakangnya.
Malam itu, Ryan merasa berbeda. Ada kedamaian kecil yang mulai menyelimuti hatinya, meski samar. Kata-kata Hana terus terngiang di pikirannya saat dia berbaring, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, dia tertidur dengan senyum kecil di wajahnya.
Di balik pintu kamarnya, Hana menyandarkan punggungnya ke dinding, mata menatap langit-langit dengan pikiran yang bergulir. 'Aku juga berharap, kau juga berharap. kita berdua berharap saling mengubah sesuatu dalam diri kita.'
...----------------...
Ryan terbangun dengan perasaan berat, matanya masih setengah tertutup. Kamar tamu itu gelap, membuatnya sulit untuk langsung sadar sepenuhnya. Dia menguap lebar, mencoba mengingat di mana sebenarnya dia berada.
"Oh iya, rumah Hana," gumamnya, suara serak karena baru bangun.
Sambil menggosok matanya, dia melihat sekeliling, mencari jam. Tidak ada jam di kamar itu. Sedikit linglung, Ryan memutuskan untuk keluar ke ruang tamu. Jam dinding besar di sana menunjukkan pukul empat pagi.
'Empat pagi? Kenapa aku bangun sepagi ini?' pikirnya kesal, lalu mengingat bahwa hari ini adalah hari Minggu. 'Untung nggak perlu buru-buru.'
Rumah itu sunyi. Ketenangan yang biasanya membuat nyaman, justru membuatnya merasa aneh. 'Kayaknya lebih baik aku pulang sekarang sebelum keadaan makin canggung,' batinnya. Dia melirik ke arah tasnya yang tergantung di dekat pintu masuk, tersembunyi di antara mantel-mantel lain.
"Baiklah, sebaiknya aku pulang sekarang," bisiknya pada diri sendiri.
Namun, saat menuju kamar mandi, Ryan melihat seragam sekolahnya masih tergantung, basah dan kotor. Tidak mungkin memakainya pulang dalam kondisi seperti itu. "Yah, terpaksa," gumamnya sambil melepaskan pakaian pinjaman yang sudah diberikan Hana tadi malam.
Dia melipat pakaian pinjaman itu dengan rapi, meletakkannya di atas sofa. 'Nanti Hana pasti akan menemukannya,' pikirnya cepat.
Sebelum pergi, pandangannya tertuju ke dapur. Peralatan masak dari kemarin masih ada di sana. Ryan merasa tak enak jika meninggalkan rumah Hana begitu saja tanpa membantu sedikit pun.
"Setidaknya aku bisa cuci peralatan masak yang belum sempat di cuci," gumamnya sambil melangkah ke dapur.
Ryan mulai mencuci wajan, spatula, pisau dapur, dan kompor yang penuh cipratan minyak dengan hati-hati, suara air mengalir lembut di antara keheningan pagi. Setelah selesai, dia mengeringkan tangannya dan melihat dapur yang kini lebih rapi.
"Sudah lebih baik," ujarnya pelan, merasa sedikit lebih lega.
Dia melirik lagi ke arah jam dinding. Sudah pukul 4:15 pagi. 'Oke, saatnya pergi,' pikirnya.
Ryan membuka pintu depan dengan pelan, takut membuat suara yang akan membangunkan siapa pun di rumah itu. Udara pagi yang dingin langsung menyerangnya, membuatnya menarik napas panjang dan segar. Dengan langkah hati-hati, dia mulai berjalan menjauh dari rumah Hana, menyusuri jalan yang sepi dan dingin itu.
Namun, tak lama setelah Ryan pergi, suara mesin mobil terdengar mendekat dari kejauhan. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan rumah Hana. Pintu mobil terbuka, seorang pria bertubuh besar keluar dengan langkah pelan namun mantap. Pria itu adalah David, ayah Hana.
Dengan ekspresi tenang namun mata waspada, David memasuki rumah. Dia meneliti setiap sudut dengan seksama, seolah mencari sesuatu yang tak beres. Perasaan aneh menghampirinya begitu melihat suasana rumah yang terlalu tenang.
Matanya langsung tertuju pada baju yang terlipat rapi di atas sofa. Alisnya berkerut tajam. Dia mengenali baju itu dengan mudah. Itu adalah baju lamanya, baju yang jarang dipakai lagi.
"Siapa yang memakai ini?" desisnya rendah.
David bergerak menuju dapur. Di sana, dia melihat piring-piring Dan peralatan masak sudah bersih dan rapi, membuat kecurigaannya semakin besar. Dia tahu sesuatu telah terjadi.
"Seseorang ada di sini," gumamnya.
Dia kembali ke ruang tamu, matanya menyapu seluruh ruangan dengan lebih intens. Ada rasa tak nyaman yang terus mengganggu pikirannya. Pukul 4:30 pagi, dan segalanya terasa janggal.
Amarah mulai merayap di wajahnya, tetapi dia menahannya dengan baik. 'Aku akan menunggu Hana bangun,' pikirnya dingin. "Aku butuh penjelasan dari anak itu."
Sementara itu, Ryan terus berjalan, menjauh dari rumah Hana. Udara pagi yang segar membuatnya merasa sedikit lebih baik. Dia menarik napas dalam, tersenyum tipis. 'Mungkin... hari ini akan jadi hari yang lebih baik,' pikirnya sambil terus melangkah, tak sadar bahwa ada sesuatu yang telah berubah di belakang sana.
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂