"Kak, ayo menikah?" Vivi yang masih memakai seragam putih merah itu tiba-tiba mengajak Reynan menikah. Reynan yang sudah SMA itu hanya tersenyum dan menganggapnya bercanda.
Tapi setelah hari itu, Reynan sibuk kuliah di luar negri hingga S2, membuatnya tidak pernah bertemu lagi dengan Vivi.
Hingga 10 tahun telah berlalu, Vivi masih saja mengejar Reynan, bahkan dia rela menjadi sekretaris di perusahaan Reynan. Akankah dia bisa menaklukkan hati Reynan di saat Reynan sudah memiliki calon istri?
~~~
"Suatu saat nanti, kamu pasti akan merindukan masa kecil kamu, saat kamu terluka karena cinta..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
"Kak Rey, sayang dong istri seksi dianggurin gini. Kedua tangan Kak Rey kan masih bisa bergerak." Vivi mengedipkan matanya menggoda Reynan.
Reynan tak menjawabnya. Dia semakin mengalihkan pandangannya dari Vivi. Entah terbuat dari apa hati Reynan, dia sama sekali tidak tergoda oleh Vivi.
"Kak Rey..." Vivi mencubit kecil lengan Reynan. "Sini, lihat aku," kata Vivi dengan suara yang manja sambil menarik lengan Reynan.
Reynan masih saja mengalihkan pandangannya. Meski dadanya sudah berdesir menahan gejolak yang tiba-tiba muncul.
"Kak Rey ini kayak batu. Imannya kuat banget. Padahal imannya goyah juga gak papa kan udah sah." Kemudian Vivi memasukkan kakinya ke dalam selimut yang dipakai Reynan.
"Pakai selimut sendiri! Itu ada di atas rak."
"Nggak mau. Enak gini." Vivi semakin mendekatkan dirinya dan memeluk Reynan yang hanya terdiam saja.
Reynan hanya menahan sesak di dadanya karena lekuk tubuh Vivi benar-benar terasa di lengan dan tubuh bagian sampingnya. Dia lelaki normal, jelas saja terpancing saat sesuatu yang bulat dan masih padat itu menindih sempurna lengan kirinya. Tapi Reynan terus menahan dirinya agar tidak merespon Vivi.
Bulu kuduk Reynan semakin merinding saat satu kaki mulus Vivi menindih perutnya. Hampir saja lutut Vivi mengenai sesuatu di tubuh Reynan yang tidak bisa bohong menerima reaksi dari perlakuan Vivi.
"Vivi jangan begini, aku tidak bisa tidur," kata Reynan berusaha menarik tangannya, tapi Vivi semakin menahan lengan Reynan.
"Dibiasain agar terbiasa."
Reynan hanya menarik napas panjang. Bagaimana dia bisa tertidur dengan posisi seperti itu. Tapi dia juga tidak bisa melarang Vivi lebih keras. Akhirnya dia biarkan Vivi mendekap tubuhnya menggantikan guling.
Reinan kini menatap wajah Vivi yang telah tertidur pulas. Wajah itu memang cantik dan semakin cantik karena dia selalu ceria dan tersenyum.
"Dasar bocah!" gumam Reynan tapi ternyata Vivi bisa mendengar gumaman Reynan itu.
"Kak Rey, aku bukan bocah," kata Vivi tanpa membuka matanya. Dia hanya bergeliat kecil di lengan Reynan.
Reynan melenguh tertahan, Vivi benar-benar telah memancingnya. Entah sampai kapan dia bisa mempertahankan egonya. Hingga satu jam telah berlalu, Reynan belum juga bisa tertidur. Dia melihat Vivi yang berada di sampingnya dengan napas teratur itu. Dada yang menempel di lengannya terlihat menonjol ke atas dan hampir keluar dari gaun tidurnya yang sangat rendah itu.
Diam-diam Reynan terus menatapnya. Memang pemandangan yang sangat indah. Seolah bergerak otomatis, perlahan tangan Reynan bergerak menyentuh bulatan itu. Bagai tersengat listrik saat jari itu berhasil menyentuh gundukan yang menonjol itu. Terasa lembut dan kenyal. Hanya tiga kali usapan, Reynan kembali menjauhkan tangannya.
Dia kini menatap langit-langit kamarnya yang putih bersih itu, lalu berusaha memejamkan kedua matanya.
...***...
Pagi hari itu, seperti biasanya, Vivi bangun terlebih dahulu dan membuka tirai lalu membuatkan Reynan segelas susu hangat.
"Pagi, Kak Rey." Vivi tersenyum melihat Reynan yang kini telah membuka kedua matanya. Dia membantu Reynan duduk lalu memberikan susu untuknya.
"Awali pagi hari dengan minum susu, soalnya malam hari Kak Rey tidak mau minum susu alami."
Untung saja Reynan tidak tersedak mendengar kalimat Vivi. Dia teringat jika semalam telah berani sedikit menyentuh wadah susu alami itu secara sengaja.
"Aku panggilkan Kak Noval, daripada Kak Rey uring-uringan sejak pagi. Tapi setelah mandi, jalan-jalan sama aku sebentar sebelum sarapan." Kemudian Vivi keluar dari kamar dan memanggil Noval.
Reynan hanya terdiam. Sepertinya lama-lama dia akan terbiasa dengan perhatian Vivi.
Sejak saat itu, setiap pagi Vivi mengajak Reynan jalan-jalan pagi dan menghirup udara segar di taman dekat rumahnya. Dia juga melatih Reynan berdiri dan berjalan perlahan.
Memang sangat sulit, karena sepertinya semangat Reynan untuk sembuh itu sangat kecil. Akhirnya Vivi duduk di bangku taman, sedangkan Reynan duduk di kursi roda yang berada di dekatnya.
"Capek, Kak Rey berat."
"Makanya tidak usah bantu aku terapi lagi," kata Reynan dengan datar.
"Kenapa? Kak Rey gak mau sembuh?"
Reynan hanya terdiam sambil membuang pandangannya dari Vivi.
"Kak Rey harus semangat untuk sembuh, biar kita cepat punya anak," kata Vivi dan sekarang dia mulai berkhayal. "Pasti lucu ya kalau kita punya anak. Nanti kalau anak kita nangis, aku ikut nangis." Vivi tertawa di ujung kalimatnya. Vivi terus berangan dan mengajak Reynan bercerita meskipun sama sekali tidak ada jawaban dari Reynan.
Mendengar celoteh Vivi, tanpa sadar Reynan tersenyum kecil. Dia menyembunyikan senyuman itu dari Vivi. "Vivi, mataharinya semakin naik, ayo kita pulang. Nanti kita terlambat ke kantor."
"Baik, Kak." Kemudian Vivi berdiri dan mendorong kursi roda Reynan pulang ke rumah.
...***...
Saat hari mulai siang, Vivi duduk menatap layar komputernya dengan serius. Akhir-akhir ini pekerjaannya memang sangat menumpuk.
"Perut aku kenapa sakit begini?" Vivi menekan perutnya yang terasa nyeri. "Jangan-jangan saatnya tanggal merah." Vivi menepuk dahinya sendiri karena saking sibuknya dengan Reynan, dia sampai lupa jadwal rutinnya setiap bulan. Kemudian dia berdiri, jelas saja rok kremnya sudah berpulau merah.
"Yah, tembus kan. Aku lupa gak bawa pembalut."
"Vivi, kamu..."
Seketika Vivi menutupi pantatnya agar tidak terlihat Farid. "Eh, Kak Farid. Sebentar ya, aku mau ke supermarket di depan." Vivi melepas blazernya dan berniat menutupi roknya.
"Biar aku saja yang belikan. Keperluan wanita kan?"
"Eh, jangan Kak! Nanti Kak Farid malu."
"Kenapa malu? Sebagai assistant harus bisa membeli semua barang yang dibutuhkan bosnya."
"Eh, tapi aku bukan bos Kak Farid."
"Sama saja." Farid tersenyum dan mengusap puncak kepala Vivi sesaat lalu pergi.
"Ih, enak ya kalau punya kakak laki-laki." Vivi tertawa kecil lalu dia kembali duduk dan menatap layar monitornya sambil menunggu Farid.
Di dekat pintu, ada Reynan yang melihat kedekatan mereka berdua. Ada rasa tidak rela saat Vivi menerima perhatian dari pria lain. Tapi dirinya sendiri tidak pernah memberi perhatian pada Vivi. Seegois itukah dirinya pada Vivi?
💞💞💞
Like dan komen ya...
dari dimanfaatin aldi & sekarang masih aja betah jadi artis
udah resiko kalau ada adegan gitu , jadi jangan sok nangis