“Silakan pergi dari mansion ini jika itu keputusanmu, tapi jangan membawa Aqila.” ~ Wira Hadinata Brawijaya.
***
Chaca Ayunda, usia 21 tahun, baru saja selesai masa iddahnya di mana suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Kini, ia dihadapi dengan permintaan mertuanya untuk menikah dengan Wira Hadinata Brawijaya, usia 35 tahun, kakak iparnya yang sudah lama menikah dengan ancaman Aqila—anaknya yang baru menginjak usia dua tahun akan diambil hak asuhnya oleh keluarga Brawijaya, jika Chaca menolak menjadi istri kedua Wira.
“Chaca, tolong menikahlah dengan suamiku, aku ikhlas kamu maduku. Dan ... berikanlah satu anak kandung dari suamiku untuk kami. Kamu tahukan kalau rahimku bermasalah. Sudah tujuh tahun kami menikah, tapi aku tak kunjung hamil,” pinta Adelia, istri Wira.
Duka belum usai Chaca rasakan, tapi Chaca dihadapi lagi dengan kenyataan baru, kalau anaknya adalah ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Persetujuan Mama Maryam
“Bagaimana kalau nanti Wira tidak mengizinkanmu bekerja?” tanya Mama Maryam.
Chaca tersenyum getir, lalu mengusap sudut bibir Aqila yang belepotan dengan makanannya sebelum menjawab.
“Seharusnya Mama sudah paham kami menikah karena apa. Pernikahan terjadi karena permintaan Mama dan Papa, serta paksaan dari Pak Wira, bukan karena saling suka. Apalagi posisiku hanyalah istri kedua yang kemungkinan tidak dianggap sebagai istri. Dan, apa susahnya Mama nanti menjelaskannya dengan Pak Wira. Pastinya beliau akan mendengarkan saran dari kedua orang tuanya daripada aku ... wanita yang tidak ada arti baginya. Ketimbang nanti aku akan benar-benar pergi dari sini membawa anakku. Jadi ... apa susahnya Mama dan Papa memberikan aku izin.” Chaca agak sedikit mengancam dan mencoba menunjukkan jika ia punya harga diri.
Mama Maryam melipat bibirnya, tatapannya begitu tercengang melihat perubahan sikap Chaca. Manusia bisa berubah karena keadaan, begitu juga yang dialami oleh Chaca.
“Baiklah, kami akan mengizinkan kamu untuk bekerja. Untuk masalah Wira, Mama yang akan berbicara padanya,” putus Mama Maryam meski agak ragu. Mau bagaimanapun ia merasa menyesal setelah melihat Wira tidak datang usai menikahi adik iparnya.
Hati Chaca rasanya ingin berteriak girang, tapi yang bisa ia laku hanya lah mengulum senyum tipisnya. “Terima kasih Mah, Pah, aku akan menjaga kepercayaan yang diberikan ini. Dan, sekalian mohon minta tolong Mah, agar ajudan itu tidak mengikuti aku. Mungkin aku tidak bermasalah, hanya saja pastinya orang di sekelilingku tidak akan nyaman melihatnya,” pinta Chaca dengan rasa hormatnya, tidak bermaksud menyuruh mertuanya. Karena semuanya ini pun pasti bisa dikendalikan oleh mertuanya tanpa harus melapor pada Wira.
“Ya, nanti Mama akan urus.”
***
Empat hari kemudian, tepat jam sembilan pagi, Chaca sudah berpenampilan rapi dengan blouse berwarna salem dipadu dengan rok plisket warna coklat. Tatanan rambutnya dikuncir rendah, sedangkan wajahnya hanya sekadar pakai bedak tipis dan liptint merah muda agar wajah tidak terkesan pucat.
Aqila dititipkan pada Bik Rahma dan baby sitter yang diperkerjakan oleh suaminya. Meski hatinya berat meninggalkan buah hatinya, tapi ia harus memaksakan dirinya untuk mengubah nasib dirinya, demi harga dan martabat dirinya sendiri. Ia pun tak mau selamanya jadi benalu mertuanya.
Dipandang sebelah mata itu amat menyakitkan. Siapa lagi yang akan mengubah nasib sendiri jika bukan diri sendiri, bukan orang lain yang mengubah kita sendiri.
Dengan berbekal alamat dari teman baiknya yang dikenal melalui sosial media yaitu Rayya. Akhirnya jam 10 lewat, ia tiba di kantor Firma Hukum Sidabukke yang ada di daerah SCBD—Sudirman, Jakarta Selatan.
“Assalamualaikum, selamat siang, Mbak Rayya,” sapa Chaca dengan matanya yang berembun. Akhirnya setelah bertahun-tahun hanya bisa berkomunikasi by phone, akhirnya bisa bertemu langsung.
“Waalaikumsalam, akhirnya, kita bertemu juga, Chaca,” sapa wanita yang sudah berumur 30-an. Ia memeluk Chaca dengan pelukan rindu, begitu juga dengan Chaca yang bisa bertemu dengan teman berbagi ceritanya.
“Aku senang akhirnya bisa bertemu dengan Mbak Rayya,” ungkap Chaca dengan matanya berbinar-binar saat mereka mengurai pelukannya.
“Mbak juga sangat senang bisa ketemu sama kamu. Masya Allah, kamu tuh aslinya cantik meski penampilanmu sederhana,” puji Rayya saat menelisik penampilan Chaca.
Wanita itu tersenyum. “Mbak Rayya malah bikin aku minder, sangat cantik dan anggun,“ balas Chaca, tersenyum tipis.
“Makasih banyak, kalau begitu kita langsung masuk ke atas aja yuk. Kebetulan ada relasi Mbak, jadi ceritanya ada wawancara singkat sebelum kamu mulai bekerja di sini,” ajak Rayya yang menyambut Chaca di lobby.
Chaca mengatur napasnya dalam-dalam, membuang rasa gugupnya. “Mbak Rayya, yakin nih mau terima aku kerja di sini? Sejujurnya aku tidak percaya diri, tapi aku mau belajar banyak kok,” tanya Chaca saat mengikuti langkah Rayya.
Wanita itu tersenyum ramah. “Yang terpenting kamu menguasai program ms. office di komputer, dan bisa pegang petty cash 'kan. Mbak lagi butuh staf admin, dan pastinya kamu bisa. Pekerjaannya juga tidak terlalu berat buat kamu yang baru mau mulai, nanti Mbak akan ajarkan prosedurnya kerja di kantor Mbak,” jawab Rayya sangat meyakinkan Chaca.
“Mbak Rayya, sekali lagi aku terima kasih ya, sudah kasih aku kesempatan dan batu loncatan,” ujar Chaca tulus dari harinya.
Rayya menyentuh pundak wanita itu. “Welcome the new Chaca. Jika hidupmu ingin berubah, mulai-lah dari dini, tidak ada kata terlambat untuk berubah selama kamu ada keinginan. Mbak harap bisa menjadi bagian dari The New Chaca, adiknya Mbak yang cantik ini.”
***
Di tempat yang berbeda, Australia, Adelia semakin hari wajahnya selalu berseri-seri setelah hampir seminggu lebih menikmati honeymoon kesekian kali dengan suaminya. Tapi tidak dengan Wira, pria itu tampak biasa saja tidak menunjukkan rasa bahagia bersama istri pertamanya.
“Adel, aku harus segera kembali ke Jakarta. Aku tidak mungkin berlama-lama mengambil cuti. Banyak pasien yang aku tinggalkan dan urusan rumah sakit pastinya akan terbengkalai,” ujar Wira sembari menikmati sarapan paginya.
Adelia mendesah pelan, mood untuk menikmati makan pagi tiba-tiba saja ambyar. Lantas ia menaruh alat makan di atas meja, lalu menatap dalam suaminya.
“Alasan pasien atau sebenarnya ingin bertemu dengan Chaca, Mas?” tanya Adelia dengan nadanya suaranya terdengar sinis.
Selama dua minggu lebih ini Adelia banyak tingkah, yang minta ke sana ke mari, lalu berujung minta honeymoon keluar negeri. Semua ini ada alasannya? Adelia rupanya tidak siap suaminya berbagi perhatian dengan madunya, padahal ia adalah salah satu orang yang memaksakan suaminya untuk menikahi adik iparnya sendiri.
Pria itu mendongak. “Ya, salah satunya aku memang harus bertemu dengan Chaca. Memangnya sampai kapan kamu mau menahan aku untuk tidak bertemu dengannya? Semakin lama aku tidak bertemu maka jadwal program inseminasinya akan semakin mundur. Berarti aku akan semakin lama berumah tangga dengannya. Kamu mau seperti itu?” tanya Wira.
Adelia tertegun. Disangkanya suaminya tidak mengerti maksud dari semua tuntutan dirinya, dan pria bisa memakluminya, hanya saja ada batasan toleransinya.
“Kamu yang telah mendukung aku menikahinya karena tujuan untuk memerhatikan Aqila dan agar aku pun memiliki keturunan sendiri. Jadi berhentilah banyak tingkah, selama dua minggu ini aku sudah memberikan waktu untukmu, menunjukkan perhatianku, sedangkan aku dengan Chaca hanya sekedarnya saja sesuai yang kamu minta. Lantas ... apalagi yang kamu khawatirkan? Hati dan tubuhku tetap jadi milikmu, sedangkan Chaca ... dia tidak mendapatkan apa pun. Mungkin hanya sekedar uang jika ia berhasil mengandung dan melahirkan anakku,” jelas Wira dengan tegasnya.
Ucapan yang cukup menohok buat Adelia.
“Hari ini kira terakhir menginap di sini, besok kita kembali ke Jakarta, tiketnya sudah aku pesan. Tapi, kalau kamu tidak mau kembali, kamu bisa melanjutkan liburanmu sendiri. Sedangkan aku akan tetap kembali,” tegas Wira sebelum Adelia mengeluarkan suaranya. Dan, wanita itu hanya bisa mendesah pelan.
Wira menyudahi sarapan paginya, lalu mengambil ponselnya, kemudian beranjak dari duduknya menuju balkon kamar hotel. Ia mengirim pesan pada ajudan yang bertugas di mansion kedua orang tuanya, menanyakan keadaan Chaca dan Aqila. Dan, ajudan tersebut mengirim foto Chaca dan Aqila yang sempat ia ambil secara diam-diam, dan mengatakan kondisinya baik-baik saja sesuai instruksi Mama Maryam.
Pria itu menatap dalam foto di ponselnya, tangannya pun terulur mengusap layar ponselnya, seakan sedang menyentuh pipi Chaca.
Bersambung .... ✍️
lanjut
Chaca mulai merasakan kembali d saat dia d lecehkan..dn parah nya lg, dr tarikan napas..perlakuan kasar smp bentuk tubuh smua nya sama persis dgn kejadian naas waktu itu,,apakah yg melecehkan Chaca sebenar nya Wira? dn Ezzar yg jd kambing hitam nya karena kejadian nya pas d kamar Ezzar??
ooohh klo benar, kamu benar2 laki2 terlucknut Wiir..udh merampas sesuatu yg suci, setelah nya kamu seakan akan g terjadi apa2..
dn kamu membiarkan Adelia semena mena terhadap Chaca,,benar2 kamu laki2 tak punya perasaan..pendidikan kamu tinggi tp moral kamu noooll...