Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9 GUGAT CERAI
Beberapa hari sebelum hari pernikahan, Ibu kembali datang dengan permintaan yang membuatku tertegun.
"Reza, kamu harus minta Aisyah datang ke pernikahanmu," kata Ibu tegas.
Aku menatapnya dengan ragu. "Bu, untuk apa? Aku rasa Aisyah tidak akan mau datang."
Ibu mendengus kesal. "Dia itu istri pertamamu, Reza. Kalau dia hadir, orang-orang akan melihat kalau dia menerima keputusan ini. Lagipula, biar dia tahu bahwa kamu tetap bisa bahagia meski tanpa dia terlalu ikut campur."
Aku meremas jemariku, merasa tidak nyaman dengan permintaan ini. Aisyah sudah jelas menunjukkan sikapnya sejak awal—dia mengizinkanku menikah lagi, tapi dia juga menarik diri sepenuhnya dari hidupku.
"Aku nggak yakin Aisyah mau datang, Bu," kataku akhirnya.
Ibu menatapku tajam. "Coba saja dulu! Kamu harus bicara baik-baik. Bilang padanya bahwa ini juga demi menjaga hubungan baik. Jangan sampai orang mengira dia istri yang iri dan tidak bisa menerima takdir."
Aku hanya bisa diam. Dalam hati, aku tahu… bukan Aisyah yang sulit menerima takdir. Akulah yang sekarang mulai dihantui oleh keputusanku sendiri.
Malam itu, setelah anak-anak tidur, aku mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan Aisyah. Aku menemukannya di dapur, sedang mencuci piring dengan tenang.
"Aisyah, aku mau bicara sebentar," ujarku pelan.
Aisyah tidak menoleh, tapi aku tahu dia mendengar. Dia hanya mengangguk kecil.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Ibu ingin kamu datang ke pernikahanku," kataku akhirnya.
Tangan Aisyah yang sedang mengelap piring tiba-tiba berhenti. Dia diam sejenak sebelum melanjutkan pekerjaannya seolah-olah aku tidak mengatakan apa-apa.
"Aku tahu ini mungkin terdengar tidak masuk akal," lanjutku, mencoba mencari kata-kata yang tepat, "tapi Ibu berpikir kalau kamu hadir, orang-orang tidak akan berpikir macam-macam. Mereka akan melihat kalau semuanya baik-baik saja, kalau kita semua saling menerima."
Aisyah mengeringkan tangannya dengan tenang, lalu berbalik menghadapku. Tatapannya masih sama—datar, tanpa emosi.
"Jadi, maksudmu aku harus datang untuk membuat orang-orang percaya bahwa aku baik-baik saja?" tanyanya, suaranya terdengar pelan, tapi menusuk.
Aku menelan ludah. "Bukan begitu, Aisyah. Aku hanya… aku hanya ingin semua tetap baik-baik saja."
Aisyah menatapku lama, lalu tersenyum tipis. "Baiklah, aku akan datang."
Aku terkejut. "Kamu… akan datang?"
Dia mengangguk. "Ya. Aku ingin melihat langsung seperti apa pernikahan yang kalian idam-idamkan ini."
Entah kenapa, jawabannya membuat dadaku terasa semakin sesak. Ada sesuatu di balik kata-katanya yang terasa dingin dan menyakitkan. Tapi aku tidak bisa mengatakan apa-apa.
"Terima kasih, Aisyah," kataku akhirnya, meskipun aku sendiri tidak yakin kenapa aku mengucapkan itu.
Aisyah hanya tersenyum kecil, lalu berbalik meninggalkanku. Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh, dan untuk pertama kalinya… aku benar-benar takut dengan keputusanku sendiri.
...****************...
Tepat hari ini, aku pun sudah menjadi suami Laras dan mengadakan pesta yang cukup besar di hotel ternama, banyak sekali tamu berdatangan dan mengucapkan selamat tapi aku belum melihat Aisyah yang katanya berjanji akan datang.
Di tengah hiruk-pikuk pesta pernikahanku dengan Laras, aku berdiri di tengah aula hotel mewah yang telah dihias dengan megah. Banyak tamu berdatangan, memberikan selamat, dan menikmati hidangan yang telah disiapkan. Laras di sampingku tampak anggun dalam gaun putihnya, tersenyum bahagia.
Namun, di balik semua kegembiraan ini, pikiranku masih tertuju pada satu hal—Aisyah.
Dia bilang akan datang, tapi sampai sekarang aku belum melihatnya. Mataku terus mencari ke setiap sudut ruangan, berharap menemukan sosoknya.
Tiba-tiba, Ibu menghampiriku dengan wajah penasaran. "Reza, Aisyah mana? Bukannya dia bilang mau datang?"
Aku menghela napas, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mulai merayap di hatiku. "Aku juga belum melihatnya, Bu. Mungkin dia masih di perjalanan?"
Ibu mendengus kecil. "Jangan-jangan dia sengaja nggak datang? Dasar perempuan keras kepala. Udah bagus dia tetap kuundang, kalau nggak mau datang, berarti dia memang bukan istri yang baik."
Aku hanya diam. Sebenarnya, di dalam hatiku, aku tahu Aisyah bukan tipe orang yang mengingkari janji. Kalau dia bilang akan datang, pasti ada alasannya kenapa dia belum di sini.
Tapi sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, tiba-tiba suasana ruangan sedikit berubah. Beberapa tamu mulai menoleh ke arah pintu masuk, berbisik-bisik. Aku mengikuti arah pandangan mereka… dan di sanalah dia.
Aisyah.
Dia datang.
Namun, bukan hanya kehadirannya yang mengejutkanku, melainkan bagaimana dia datang… dan dengan siapa.
Begitu melihat Aisyah melangkah masuk bersama keluarga besarnya, termasuk kedua mertuaku, jantungku berdegup lebih kencang. Wajah mereka semua tampak dingin, tanpa ekspresi bahagia seperti tamu lainnya. Tidak ada senyum, tidak ada tatapan hangat, hanya kesan tegas dan formal seolah-olah mereka datang ke acara ini bukan sebagai undangan, melainkan sebagai saksi sebuah peristiwa yang tak menyenangkan.
Laras di sampingku menggenggam tanganku erat, mungkin ikut merasakan atmosfer yang mendadak berubah menjadi lebih dingin. Ibuku yang sedari tadi menunggu pun langsung tersenyum, mencoba bersikap ramah.
"Aisyah, akhirnya kamu datang juga!" seru Ibu dengan nada yang terdengar puas. "Sudah kuduga, kamu pasti datang untuk memberikan restu kepada suami dan istri barunya, kan?"
Aisyah melangkah mendekat dengan anggun, tapi sorot matanya tetap datar. Dia mengenakan gaun sederhana berwarna lembut, sangat kontras dengan kebisingan dan kemewahan pesta ini. Lalu, dia berhenti tepat di hadapanku.
"Selamat, Reza," katanya akhirnya, suaranya terdengar datar tapi tetap berwibawa. "Akhirnya keinginanmu dan keluargamu untuk memiliki istri baru sudah terwujud. Aku begitu kagum dengan pesta yang kamu adakan, Mas. Beda sekali saat kita berdua menikah. Yang hanya dibuat ala kadarnya," sindir Aisyah membuat tenggorokan ini ini tercekat.
"Aisyah... Aku--"
"Jangan dilanjutkan!" potongnya membuat keringat dinginku semakin membasahi wajahku.
Aku menelan ludah, merasa ada sesuatu yang berbeda dari caranya berbicara. Bukan kemarahan, bukan kesedihan, tapi seperti seseorang yang sudah benar-benar selesai.
Mertuaku, ayah Aisyah, akhirnya buka suara. "Kami datang bukan untuk merestui, tapi untuk menuntaskan sesuatu."
Aku mengernyit. "Maksud Ayah?"
Aisyah dengan tenang membuka tas kecilnya, mengeluarkan sebuah map berwarna cokelat, lalu menyerahkannya kepadaku. "Ini," katanya.
Dengan tangan gemetar, aku membuka map tersebut dan seketika tubuhku menegang.
"Surat cerai?" tanyaku hampir berbisik.
Aisyah mengangguk pelan. "Aku sudah menandatanganinya. Sekarang tinggal tanda tanganmu."
Ruangan yang tadi penuh dengan keceriaan mendadak terasa hening di telingaku. Aku menatap Aisyah, mencari apakah ini hanya lelucon atau bentuk kemarahan sesaat, tapi matanya tidak menunjukkan emosi apa pun.
"Aisyah… kita nggak perlu sampai seperti ini…" suaraku lirih, nyaris memohon.
Dia tersenyum kecil, tapi senyum itu bukan senyum bahagia. "Reza, aku sudah berusaha menerima semuanya. Aku sudah mencoba bersabar. Tapi, aku juga manusia. Aku bukan wanita yang bisa kau tempatkan di sudut rumah sambil kau nikmati kebahagiaan dengan wanita lain. Kau ingin istri baru? Kau sudah mendapatkannya. Tapi aku juga ingin hidupku kembali. Jadi, tolong, tanda tangani itu, dan bebaskan aku."
Aku menggenggam kertas itu dengan erat, merasakan sesuatu di dalam dadaku remuk. Ini bukan yang aku harapkan. Aku pikir Aisyah hanya marah sementara. Aku pikir dia akan bertahan seperti dulu. Aku pikir dia masih mencintaiku…
Tapi kini, aku sadar.
Aku sudah kehilangan dia.
Reza menyesal seumur hidup, thor
terutama Reza yg menjadi wayang...
semangat Aisyah
kehidupan baru mu
akan datang