Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33 - Aku Siap
"Buk_"
Tak hanya sekedar menarik sang istri secara tiba-tiba ke dalam pelukan, kali ini Zain juga berani membungkam sang istri dengan ciuman. Ya, dia tidak memberikan kesempatan untuk Nadin protes kedua kalinya.
Sebuah permulaan yang agak sedikit nekat. Kemarin-kemarin Zain belum memiliki keberanian untuk bertindak sejauh ini. Sekalipun dipeluk, itu sewaktu menenangkan Nadin di kost, sedikit memaksa juga dan sang istri minta lepas.
Begitu juga ketika di rumah utama, Zain hanya berani macam-macam ketika Nadin sudah tidur. Jika mata sang istri masih terbuka, dia hanya melakukan hal wajar yang sekiranya tidak akan membuat sang istri ketakutan.
Namun, di malam ini pria itu tak kuasa menahan lebih lama. Jika harus menunggu Nadin tidur dulu maka masih lama. Sudah cukup sabar Zain menanti, tidur satu atap bersama wanita yang disebut istri dan tidak melakukan apa-apa jelas saja bukan hal mudah.
Zain paham Nadin memang butuh waktu, terlebih lagi caranya mendapatkan Nadin juga tidak manusiawi. Kendati demikian, yang bisa menghilangkan ketakutan itu adalah Zain sendiri dan jika tidak sekarang kapan lagi? Begitulah pikiran Zain saat ini.
Begitu lembut dia lakukan, ciuman yang awalnya begitu manis dan pelan berubah menjadi lummatan rakus yang seketika membuat Nadin menegang. Tubuhnya bergetar, dia tidak membalas karena kemampuan Zain sangat sulit dia imbangi.
Maklum saja, pria pertamanya adalah Zain dan selama hidup dia belum pernah silahturahmi bibir. Berbeda dengan Zain yang memang sudah kerap kali melakukannya bersama Jessica. Hanya sebatas ciuuman, tidak lebih karena dulunya Zain memegang teguh prinsip untuk menjaga kehormatan kekasihnya.
Berbeda dengan sebelumnya, Zain memberikan kesempatan untuk Nadin bisa mengambil napas. Beberapa detik saja, setelah itu dia kembali mellumat bibir mungil Nadin yang selalu memenuhi mimpinya.
Rasanya masih sama, Zain bisa mengingat perasaan ini. Bibir Nadin seolah candu yang menghantarkan gelora panas hingga memicu percikan gairrah. Keduanya sama-sama terbawa suasana, Nadin tidak lagi berontak, dan hal itu Zain anggap sebagai lampu hijau dari sang istri.
Saat itulah, Zain memanfaatkan kesempatan untuk melucuti pakaian sang istri hingga menampilkan tubuh bagian atas Nadin yang tampak polos. Jantung Zain berdegup tak karu-karuan, dalam keadaan sadar geloranya justru kian membara.
Beberapa saat Zain pandangi, dua buah sintall yang tampak kenyal itu membuat Zain meneguk salivanya pahit. Satu kata yang paling pantas untuk Nadin, sempurna. Ya, walau ukurannya terbilang kecil, tapi di mata Zain paling cantik milik istrinya.
Dia pernah melihat milik Jessica dari foto yang dia terima sewaktu pacaran, tapi begitu melihat milik Nadin, dia bahkan lupa akan hal itu. Beberapa saat Zain pandangi, dia baru tersadar kala tangan Nadin berusaha menutupi.
Secepat mungkin Zain menepis tangan sang istri dan kembali menciumnya agar fokus Nadin teralihkan. Tak hanya bibir, kali ini dia menelusuri leher dan juga dadanya.
Disertai gigitan kecil, Zain tak lupa meninggalkan tanda kepemilikan di sana. Sebuah serangan kecil yang berhasil membuat sang istri bergemelinjang. Dia tahu Nadin juga sudah terbuai, terbukti kala Zain turun ke bagian bawah dan melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa basah liang sempit sang istri.
Belum berhenti di sana, Zain tertantang untuk membuat istrinya semakin basah. Perlahan, pria itu menunduk dan membuat pinggang Nadin terangkat hanya dengan lidahnya saja.
"Massh sudaaaa_aaaargghh!!" Nadin memekik juga pada akhirnya, geli dan nikmat pertama yang dia rasakan sungguh tak tertahan.
Tentu hal itu membuat Zain tersenyum bangga, foreplay yang dia lakukan benar-benar berhasil menghantarkan sang istri di titik ini. Tak ingin kehilangan kesempatan, Zain segera melucuti boxernya yang sejak tadi sudah terasa begitu sesak.
Pria itu memposisikan diri untuk siap memasuki sang istri. Tatapan Nadin tertuju ke bagian bawah dan secepat mungkin Zain alihkan dengan cara menyentuh dagu sang istri "Jangan dilihat," bisiknya begitu pelan kemudian.
Nadin mengangguk, dia mengatur napas dan menatap lekat Zain yang sedang berusaha di atasnya. Namun, baru saja dia merasakan benda asing itu bersentuhan dengan permukaan miliknya, Nadin seketika memejamkan mata dengan tubuh yang kembali bergetar seketika.
Tidak dapat dibohongi, dia takut dan seketika terbayang akan rasa sakitnya. Tak hanya terbayang, tapi rasa sakitnya semakin nyata kala Zain berusaha mendorong dirinya. Sama sekali tidak sedang bercanda, tapi memang sakit hingga wanita itu susah payah berusaha menahan teriakannya.
"Eeummmh Shiitt!! Kenapa sesulit ini?"
Jika di bawah Nadin tengah susah payah menahan sakit, Zain juga susah payah berusaha untuk menerobos pertahanan Nadin yang terasa amat sulit baginya. Zain bingung dimana salahnya, padahal pertama kali semudah itu dia merenggut kehormatan Nadin.
Anehnya, di kali kedua dia justru kesulitan. Beberapa kali dicoba masih gagal dan hanya berhasil setengah, pantang bergerak sedikit Nadin seolah bergetar dengan wajah yang membuat Zain tidak tega. Memang dia tidak bicara, tapi sangat terbaca jika yang Nadin rasakan tidak bercanda.
.
.
"Teruskan, Mas."
Di tengah kebingungan Zain, suara Nadin yang terdengar lemah menyadarkannya. Wanita itu membuka mata dan saat itu juga Zain menyaksikan sang istri tampak berkaca-kaca.
"Are you okay?" tanya Zain memastikan, keringat sebesar biji jagung yang mengucur di kening sang istri menjadi pusat perhatiannya.
Nadin mengangguk, dia meyakinkan Zain jika dirinya sudah siap. Tak hanya itu, Nadin juga menyeka keringat di kening dan atas bibirnya demi memperlihatkan dia baik-baik saja. "Fine, aku siap, Mas."
"Siap?"
"Iya, sia_peeuuggh." Nadin menggigit bibir, matanya kembali terpejam kala Zain sedikit mendorong tubuhnya sekali lagi.
Hanya sebentar, rasa sakit itu tiba-tiba terhenti dan sesak di bagian bawahnya tak lagi terasa. Nadin membuka mata, tidak ada lagi Zain di hadapannya. Pria itu sudah berpindah di samping dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Kenapa berhenti?" tanya Nadin menatap Zain dengan sesal dan juga perasaan bersalah.
Zain tidak terlihat marah, pria itu hanya tersenyum hangat kemudian mengecup kening sang istri. Sekalipun dipaksa, mana mungkin dia tega. "Lain kali saja, malam ini segini dulu."
"Bukannya nanggung, Mas?"
Sebenarnya iya, tapi bagaimana Zain tidak tega. Dulu mungkin dia bisa karena terpengaruh obat perangsang dan juga alkohol yang dia tenggak, tapi malam ini jelas saja tidak. "Tidak apa, besok-besok kita coba lagi ... mungkin jalannya kurang beccek."
"Apa hubungannya sama jalan?" tanya Nadin mendongak, dia bingung tiba-tiba Zain tergelak tak jelas usai mengucapkan hal itu.
Zain yang tadi tergelak, kini terhenti usai mendengar pertanyaan sang istri "Masih kecil, jangan banyak tanya ... mending tidur sana."
.
.
- To Be Continued -
"kian menjadi (mereda/reda) sembari"