Aisyah, seorang istri yang selalu hidup dalam tekanan dari mertuanya, kini menghadapi tuduhan lebih menyakitkan—ia disebut mandul dan dianggap tak bisa memiliki keturunan.
mampukah aisyah menghadapi ini semua..?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon prettyaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aisyah mencoba berubah
Malam itu, saat Aisyah kembali ke rumah, ia langsung berlari ke dalam pelukan Farhan. Tangisnya pecah, deras dan tanpa henti, seolah semua kepedihan yang ia tahan selama ini akhirnya meledak.
"Farhan… aku capek… aku nggak kuat lagi…" Aisyah terisak dalam pelukannya, tangannya mencengkeram erat punggung suaminya. "Kenapa aku selalu dianggap tidak cukup? Aku sudah berusaha, aku selalu mendukungmu, tapi tetap saja aku diremehkan…"
Farhan mengusap punggung Aisyah dengan lembut, hatinya terasa perih mendengar istri yang begitu ia cintai menangis seperti ini. "Sshh… Aisyah, kamu cukup… kamu lebih dari cukup… Jangan dengarkan kata-kata ibu, aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun merendahkanmu…"
Aisyah semakin erat memeluknya, air matanya terus mengalir membasahi bahu Farhan. "Aku takut, Farhan… Aku takut suatu hari nanti aku kehilanganmu karena aku tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka…"
Farhan mencium puncak kepala Aisyah dengan penuh kasih. "Tidak akan pernah. Kamu istriku, kamu satu-satunya yang aku butuhkan. Tidak peduli apa kata mereka, aku hanya ingin kamu tetap di sisiku."
Tangisan Aisyah terus berlanjut, tetapi kini ia merasa sedikit lebih tenang dalam dekapan Farhan. Setidaknya, di pelukan suaminya, ia masih merasa dicintai dan dihargai.
•••
Keesokan pagi nya, Aisyah terbangun dengan mata yang masih sembab. Farhan masih tertidur di sampingnya, satu lengannya melingkari pinggangnya seolah memastikan bahwa Aisyah tetap ada di sana. Ia menatap wajah suaminya yang damai dalam tidur, dan hatinya terasa sedikit lebih hangat. Namun, bayangan ucapan ibu Farhan masih bergema di kepalanya.
Ia pelan-pelan melepaskan diri dari pelukan Farhan dan turun dari tempat tidur. Kakinya melangkah ke depan cermin, menatap pantulan dirinya. Wajahnya tampak lelah, tetapi ada sesuatu yang lain dalam matanya kali ini, sebuah tekad yang perlahan mulai tumbuh.
Ia mencintai Farhan, tidak ada yang bisa meragukan itu. Tapi ia tidak bisa terus-menerus menjadi seseorang yang hanya bertahan dan menangis dalam diam. Jika orang lain menganggapnya tidak cukup, maka ia akan membuktikan bahwa mereka salah.
Aisyah menyeka air matanya yang tersisa, lalu menarik napas dalam. Ia harus berubah. Bukan untuk menyenangkan ibu Farhan, bukan untuk membuktikan sesuatu pada Rania, tetapi untuk dirinya sendiri. Ia ingin berdiri di samping Farhan dengan kepala tegak, bukan sebagai seseorang yang harus dibela terus-menerus, tetapi sebagai seorang istri yang kuat dan setara.
Saat Farhan bangun dan melihat Aisyah yang sudah rapi dengan senyum kecil di wajahnya, ia mengernyit. "Sayang, kamu nggak apa-apa?"
Aisyah tersenyum lembut, lalu mengangguk. "Aku baik-baik saja, Farhan. Aku hanya… berpikir. Aku nggak mau terus-terusan merasa kecil di depan orang lain. Aku ingin jadi lebih baik, bukan untuk membuktikan apa pun, tapi untuk diriku sendiri."
Farhan menatapnya dengan penuh kasih, lalu menarik Aisyah ke dalam pelukannya. "Apa pun yang kamu inginkan, aku ada di sampingmu. Kamu nggak perlu berubah untuk siapa pun, Sayang. Tapi kalau ini yang kamu mau, aku akan mendukungmu sepenuh hati."
Aisyah mengangguk pelan. Ia tidak tahu bagaimana caranya, tapi ia tahu satu hal, ia tidak akan membiarkan siapa pun membuatnya merasa tidak cukup lagi.
•••
Beberapa hari setelahnya, Aisyah mulai mengambil langkah kecil untuk mengubah hidupnya. Ia tetap menjalankan toko bunganya seperti biasa, tetapi kali ini ia mulai lebih serius mempelajari manajemen bisnis, pemasaran, dan strategi usaha. Jika selama ini ia hanya mengandalkan hobi dan kecintaannya pada bunga, kini ia ingin mengembangkan usahanya agar lebih besar dan lebih kuat.
Ia mulai membaca buku tentang bisnis, mengikuti seminar online, bahkan berkonsultasi dengan beberapa teman yang lebih berpengalaman dalam dunia usaha. Setiap malam, setelah Farhan tertidur, ia duduk di ruang kerjanya, mencatat ide-ide baru untuk meningkatkan tokonya.
Farhan melihat perubahan ini dengan penuh kebanggaan. Ia tidak pernah mempermasalahkan status Aisyah sebelumnya, tetapi ia senang melihat istrinya semakin percaya diri dan bersemangat.
Namun, perubahan Aisyah tidak luput dari perhatian ibu Farhan. Saat makan malam di rumah keluarga Farhan, wanita itu menatap menantunya dengan tatapan menyelidik.
“Kudengar sekarang kamu mulai sibuk belajar bisnis?” nada suaranya terdengar lebih skeptis daripada kagum.
Aisyah mengangguk, berusaha tetap tenang. “Iya, Bu. Saya ingin mengembangkan usaha saya lebih jauh.”
Ibu Farhan mendengus kecil, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Toko bunga kecil itu? Apa kamu yakin bisa bersaing di dunia bisnis yang sesungguhnya?”
Aisyah menggenggam erat sendoknya, tapi sebelum ia bisa menjawab, Farhan sudah lebih dulu membuka suara.
“Bu, usaha sekecil apa pun tetap punya peluang untuk berkembang. Semua bisnis besar juga berawal dari nol.”
Ibu Farhan melirik putranya dengan tajam. “Aku hanya tidak ingin melihat Aisyah membuang waktunya untuk sesuatu yang tidak pasti.”
Aisyah tersenyum kecil, tetapi kali ini ada keteguhan di matanya. “Saya tahu ini tidak mudah, Bu. Tapi saya ingin mencobanya. Saya tidak ingin terus-terusan merasa tidak cukup. Saya ingin berdiri di sisi Farhan dengan kepala tegak, bukan hanya sebagai istri, tapi juga sebagai seseorang yang bisa dibanggakan.”
Untuk pertama kalinya, ibu Farhan terdiam, seolah tidak menyangka bahwa Aisyah akan berbicara seperti itu. Sementara itu, Rania yang sejak tadi diam, menggenggam gelas anggurnya lebih erat. Ia bisa merasakan sesuatu berubah, Aisyah yang dulu hanya diam dan menerima, kini mulai melawan.Dan ia tidak menyukainya.