Rojak adalah pemuda culun yang selalu menjadi bulan-bulanan akibat dirinya yang begitu lemah, miskin, dan tidak menarik untuk dipandang. Rojak selalu dipermalukan banyak orang.
Suatu hari, ia menemukan sebuah berlian yang menelan diri ke dalam tubuh Rojak. Karena itu, dirinya menjadi manusia berkepala singa berwarna putih karena sebuah penglihatan di masa lalu. Apa hubungannya dengan Rojak? Saksikan ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sugito Koganei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 18 - Topeng murah senyum dan baik hati
Malam itu, di rumah mungil bercat putih dengan pagar kayu yang sudah mulai lapuk, Vina duduk termenung di ruang makan. Tatapannya kosong, sesekali ia menatap tangannya sendiri, seakan mencari sesuatu yang seharusnya ada di sana. Telekinesisnya menghilang, dan itu membuatnya gelisah.
"Mbok, lama banget sih?" tanya Vina saat melihat Mbok Yani datang membawa sepiring soto ayam yang masih mengepul.
Mbok Yani, wanita paruh baya yang telah mengurusnya sejak kecil, hanya tersenyum sabar.
"Antriannya panjang, Non. Tapi ini soto ayam kesukaanmu, ayo dimakan selagi hangat."
Vina mengangguk lemah dan mulai menyendok kuah soto, tapi kegelisahan masih terpancar di wajahnya. Mbok Yani yang tengah mencuci piring di dapur melirik Vina melalui pantulan kaca jendela.
"Kenapa kamu tampak gelisah, Non?"
Vina menghela napas panjang.
"Mbok... kenapa telekinesisku tiba-tiba hilang?"
Sendok di tangan Vina gemetar saat ia mengingat kejadian sore tadi. Saat ia diserang oleh makhluk mengerikan itu, kekuatannya seakan lenyap begitu saja. Tak ada benda yang bergerak ketika ia mencoba, tak ada kekuatan yang melindunginya.
Mbok Yani terbelalak, air di baskom nyaris tumpah dari tangannya.
"Apa?! Hilang?! Sejak kapan? Kenapa bisa begitu?"
"Aku engga tahu..." suara Vina melemah.
"Saat diserang iblis itu... aku coba untuk bantu Regulus dengan telekinesis aku, tapi tak ada yang terjadi. Lalu, aku malah merasa panik dan mulai halusinasi, Mbok. Aku merasa Regulus serang aku. Aku dicekik, ditusuk, dan disiksa sama dia."
Mendengar nama itu, wajah Mbok Yani seketika pucat. Ia buru-buru duduk di depan Vina, tangannya menggenggam erat tangan gadis itu.
"Non, jangan terlalu dipikirkan. Bisa jadi kamu hanya stres. Kekuatanmu mungkin akan kembali kalau kamu lebih tenang."
Vina menatap Mbok Yani dengan ragu, tapi ia tahu wanita tua itu selalu berkata jujur padanya. Ia kembali menunduk, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi tetap saja, ada rasa takut yang menggerogoti hatinya.
"Ayo makan dulu, Non. Perutmu harus tetap terisi. Kalau kamu lemas, bagaimana bisa mencari tahu apa yang terjadi dengan kekuatanmu?" bujuk Mbok Yani lembut.
Vina akhirnya mengangguk dan kembali menyuap soto ayamnya. Tapi, jauh di dalam pikirannya, pertanyaan itu masih terus berputar.
Keesokan harinya, di sekolah, Rojak, Vina, Budi, Siti, dan Adit bersiap untuk mempresentasikan hasil tugas kelompok mereka. Semua berjalan lancar hingga tiba giliran Vina.
Saat namanya dipanggil, Vina masih melamun. Adit yang duduk di sebelahnya menyenggol lengannya.
"Vina, giliran lu."
Gadis itu tersentak.
"Oh, iya..." ucapnya dengan suara pelan.
Saat berbicara di depan kelas, tidak ada kontribusi berarti yang ia berikan. Matanya terlihat kosong, pikirannya melayang entah ke mana. Rojak yang memperhatikannya sejak tadi merasa ada yang aneh.
Ketika presentasi selesai, Rojak mendekatinya.
"Vina, lo kenapa? Kok lu ga enak gitu?"
Vina hanya menggeleng pelan tanpa menjawab apa pun. Rojak tahu ada yang tidak beres, tapi ia memilih diam untuk saat ini.
"Apa jangan-jangan, dia kena santet kayak kemarin lagi ya?"
Saat jam istirahat tiba, Rojak berjalan ke kantin dan melihat Angie sedang melamun di bangku taman sekolah.
"Angie, lagi mikirin apa?" sapanya.
Angie tersenyum, tapi Rojak tahu itu senyum yang dipaksakan.
"Ah, nggak apa-apa."
Rojak menatapnya tajam, tetapi tidak mendesak. Angie mencoba tersenyum lagi meski hatinya diliputi masalah besar: ia baru saja mengetahui bahwa Rizal, orang yang selama ini ia percaya, ternyata adalah dalang di balik kehancuran hidup Rojak. Lebih mengejutkan lagi, Rizal bukan manusia biasa, dia adalah siluman harimau, Inazukko.
Rojak bisa menebak pikiran Angie, tapi ia tidak ingin membahasnya lebih jauh.
"Tumben lo nggak sama Vina?" tanya Angie.
"Vina kayaknya lagi nggak enak badan atau ada sesuatu yang terjadi. Dia kelihatan aneh sejak tadi pagi." jawab Rojak.
Angie mengernyit.
"Siapa sebenarnya Vina? Yang gue tahu dia punya kekuatan telekinesis dari kejadian di dimensi lain saat melawan Fenrir Api kemarin. Tapi gue sendiri tidak tahu banyak tentang dia."
Rojak menghela napas.
"Vina itu... gadis yang suka bergaya gotik. Awal gw kenal dia, dia terasa misterius. Tapi lama-lama, dia sebenarnya orang yang ceria meski sedikit tenang."
Angie mengangguk pelan.
"Mungkin dia cuma lagi nggak enak badan."
"Ya, gue juga mikirnya gitu, Gie" ujar Rojak.
Sementara itu, Vina merasa sakit lagi. Vina kemudian batuk-batuk bahkan batuk darah. Karena itu, Vina bergegas ke UKS untuk ditangani lebih lanjut dan apa yang sebenarnya terjadi pada Vina.
“Jadi, saya kenapa ya, Dok?”tanya Vina.
Dokter menjawab dengan jawaban yang mengejutkan dan penuh akan tanda tanya.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan, Vina baik-baik saja. tidak ada penyakit apa pun disini. Kamu terlihat sehat-sehat saja.”kata Dokter.
“Hah? Kok sekarang, saya sakit ya? Kepala saya agak berat, Dok. Saya saja sampai batuk darah.”Kata Vina.
“Nah itu dia. Baru saya menemukan kasus seperti ini. Begini saja, lebih baik, sekarang kamu pulang duluan saja.”kata Dokter.
Vina meminta izin kepada Wali kelas agar dirinya pulang duluan karena dia terlihat sakit. Setelah diizinkan, Vina pun bergegas pulang. Di lain sisi, Rojak tampak ada yang tidak beres dari Vina yang tiba-tiba sakit. Insting Regulusnya, menangkap jika Vina saat ini mungkin saja sedang disantet.
“Mbah Rukmini pasti berulah lagi.”kata Rojak.
Vina sampai di rumahnya dengan langkah gontai. Saat tiba di ruang tamu, matanya menangkap sebuah kertas yang tergeletak di atas meja. Dengan perlahan, ia mengambilnya dan membaca pesan dari Mbok Yani yang memberitahu bahwa ia harus pulang kampung mendadak karena anaknya sakit.
Menghela napas, Vina menaruh kertas itu kembali dan berjalan menuju sofa. Lelah setelah hari yang panjang, ia merebahkan kepalanya dan tanpa sadar langsung tertidur.
Namun, tidurnya tak berlangsung lama. Tiba-tiba, ia merasa ada cairan hangat menetes di wajahnya. Matanya terbuka perlahan, tapi saat menatap ke atas, tidak ada apa-apa.
“Terus, darah tadi asalnya dari mana?”tanya Vina.
Tiba-tiba, dadanya terasa sesak, batuknya kambuh. Kali ini lebih parah. Saat ia terbatuk, bukan hanya darah yang keluar, tetapi juga kaki seribu yang menjijikkan.
Dengan tubuh gemetar, ia menoleh ke kaca di sudut ruangan dan mendapati pantulan dirinya tersenyum menyeramkan. Ia tak sempat berpikir lebih jauh karena sesuatu tiba-tiba mencekik lehernya dan mengangkat tubuhnya ke udara.
“AKH! AAARGGGGHHHH! AAAAAAAA.....”
Panas luar biasa menyeruak dari dadanya, menjalar hingga ke jantungnya. Rasa sakit yang luar biasa menusuk setiap saraf di tubuhnya. Sungguh malangnya penderitaan gadis itu. Tepat saat ia hampir kehilangan kesadaran, Regulus muncul entah dari mana dan langsung menyerang kekuatan jahat yang menyiksanya.
Begitu santet itu lenyap, tubuh Vina jatuh ke lantai. Dan ia pun pingsan.
Vina mengerjap pelan. Kelopak matanya terasa berat, seperti baru saja melalui mimpi buruk yang panjang. Cahaya redup dari lampu minyak di sudut ruangan membuat bayangan bergetar di dinding kayu yang tua. Saat kesadarannya pulih, ia menyadari tubuhnya terbaring di atas dipan dengan kain lusuh menutupi sebagian tubuhnya.
"Dia sadar!" suara perempuan memekakkan telinganya, membuatnya langsung tersentak.
Vina menoleh dan melihat sosok Rojak duduk di sebelahnya. Tatapan tajam pria itu seketika melunak ketika melihat Vina yang berusaha bangkit. Angie, gadis yang baru saja berteriak, dengan sigap menyerahkan semangkuk soto ayam yang masih mengepul.
"Ayo makan dulu, biar ada tenaga." kata Angie dengan nada khawatir.
Vina mengerutkan keningnya, mencoba mengingat kejadian terakhir sebelum semuanya menjadi gelap. Kilatan bayangan muncul dalam pikirannya—rasa sakit yang luar biasa, tubuhnya yang melayang di udara, suara tertawa lirih yang penuh kebencian. Dan kemudian, gelap.
"Apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara serak.
Rojak menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab.
"Lu tadi pingsan habis disantet sama Mbah Rukmini."
Jantung Vina berdegup lebih kencang. Ia sudah menduga itu. Mbah Rukmini bukan nama asing baginya. Perempuan tua itu adalah sosok yang selalu menghantuinya selama ini.
"Gue jadi heran. Kenapa dia selalu aja ngincer lu?" Angie menyela, wajahnya penuh rasa penasaran dan ketakutan.
"Apa dendamnya pada lu sehingga lu disantet sama dia? Dan... kenapa kekuatan telekinesismu menghilang?"
Vina menggigit bibirnya, mencoba merasakan kembali kekuatannya. Dulu, dengan hanya satu pikiran, ia bisa mengangkat benda-benda tanpa menyentuhnya. Namun sekarang, bahkan untuk menggerakkan sendok di depannya, ia merasa tak berdaya. Tak ada kekuatan yang tersisa.
"Cukup, Angie." Rojak memotong, nada suaranya lebih dalam. Matanya yang tajam menatap Vina seolah sedang menelusuri sesuatu dalam dirinya.
"Gw sekarang udah tahu apa yang terjadi pada lu."
Vina menatapnya penuh harap. Jika ada seseorang yang bisa memahami hal ini, itu adalah Rojak. Insting Regulus dalam dirinya, kini mulai mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Malam itu, suasana begitu sunyi. Angin berembus lembut menerpa daun-daun pisang yang berayun pelan di belakang rumah Mbok Yani. Bulan bersinar redup, terhalang kabut tipis yang membuat malam terasa lebih mencekam. Di dalam rumah panggung tua itu, Vina duduk diam, menunggu dengan sabar. Matanya tajam, penuh amarah yang tertahan. Di sampingnya, Rojak berdiri bersandar di dinding kayu, sementara Angie duduk di kursi bambu dengan wajah penuh kecemasan.
Tak lama kemudian, pintu berderit pelan. Sosok Mbok Yani masuk dengan langkah gontai, membawa aroma dupa yang menyengat. "Anakku sudah sembuh," ucapnya lirih, namun matanya melebar saat melihat tiga sosok yang sudah menunggunya di sana.
"Kalian..." Mbok Yani menatap mereka satu per satu, lalu tertuju pada Vina yang matanya menyala dengan amarah.
"Kenapa Non Vina menatap saya kayak begitu? Dan kenapa kalian ada di sini?"
Vina menarik napas dalam, menahan gejolak dalam dadanya sebelum akhirnya berkata.
"Aku mau tahu sesuatu, Mbok. Batu delima yang kau berikan padaku kemarin, itu bukan jimat biasa, kan?"
Mbok Yani tampak terkejut, lalu berpura-pura tidak mengerti.
"Apa maksudmu? Itu hanya untuk keselamatanmu, Nak."
Rojak maju selangkah, suaranya tegas dan menusuk.
"Jangan pura-pura tidak tahu. Batu itu bukan sekadar jimat. Itu perangkap. Benda itu memasukkan banyak jin ke dalam tubuh Vina, membuatnya tersiksa dari dalam. Dan lebih parah lagi, batu itu juga yang menghilangkan kekuatan telekinesisnya."
Wajah Mbok Yani menegang.
"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."
"Jangan bohong!" Rojak membentak.
"Kau ingin membunuh Vina, bukan?"
Hening. Lalu, tawa meledak di ruangan itu. Mbok Yani tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema seperti bisikan yang bergema di seluruh sudut rumah. Perlahan, tubuhnya berubah. Kulitnya yang keriput menegang, rambutnya menipis menjadi lebih panjang dan kusut, matanya berubah menjadi hitam pekat. Dalam hitungan detik, Mbok Yani telah menghilang, digantikan oleh sosok nenek tua berjubah hitam dengan senyum menyeringai penuh kebencian.
Angie menutup mulutnya, terkejut bukan main.
"Astaga... kau bukan Mbok Yani!"
"Tentu saja bukan," Mbah Rukmini mendesis.
"Batu delima itu memang bukanlah jimat pelindung."
Pada saat ritual kemarin malam dimana Vina menceritakan jika ia sedang diteror oleh santet Mbah Rukmini, ternyata terdapat mantra yang sebenarnya tidak disadari oleh Vina, jika itu adalah mantra untuk memasukkan jin ke dalam tubuhnya.
“Ikuti apa kata saya, Non.”Kata Mbok Yani.
"Heh para bhatara kang mengku jagad alus.”Kata Mbok Yani.
"Heh para bhatara kang mengku jagad alus, welasana kawula ing sangsara, anugrahana kawula kawisesanira." Diikuti oleh Vina.
“Welasana kawula ing sangsara.”
"Welasana kawula ing sangsara.
“Anugrahana kawula kawisesanira."
“Anugrahana kawula kawisesanira."
Dan kemudian, Mbok Yani mengucapkan mantra kepada para jin.
“Wahai para penguasa alam kegelapan. Kuasailah gadis ini! Kuasai dia! Kuasai dia! Kuasai dia!”teriak Mbok Yani.
Dan itulah yang sebenarnya terjadi. Kuasai yang dimaksud, adalah para iblis yang menguasai dirinya dan menghapus seluruh ilmu yang ada di dalam diri Vina.
Vina mengepalkan tangannya.
"Kenapa kau melakukan ini padaku? Apa salahku sampai kau tega menyantetku?!"
Mbah Rukmini menyeringai, lalu berkata dengan suara dingin yang membuat bulu kuduk berdiri.
"Kamu memang sungguh kepala batu, cucu goblok!"
Kata-kata itu membuat semua orang di ruangan itu membeku. Rojak dan Angie saling pandang, mencoba mencerna apa yang baru saja mereka dengar.
"Apa maksudmu?" tanya Angie dengan suara gemetar.
Mbah Rukmini mendengus, lalu mulai berbicara.
"Dulu, saat kau kecil, setiap pulang kampung di hari Lebaran, kau selalu bersikap aneh. Anak-anak lain bermain dengan normal, tapi kau...? Kau berbeda. Kau teriak-teriak, dan tiba-tiba semua orang terpental begitu saja. Mereka takut padamu, Vina. Suatu hari, kau datang ke rumahku dan tanpa sengaja menunjukkan kekuatan telekinesismu."
Mbah Rukmini menatap Vina dengan penuh kebencian.
"Kau tahu apa yang terjadi setelah itu? Orang-orang mulai berbisik. Mereka bilang aku punya cucu titisan setan! Aku dijauhi, dicibir, dianggap pemelihara ilmu hitam! Semuanya gara-gara kau!"
Vina menahan napas. Ia tak pernah tahu ada kisah seperti ini di masa kecilnya.
"Aku bahkan bilang pada orang tuamu, kau itu anak setan," lanjut Mbah Rukmini. "Tapi mereka tak percaya. Aku tak mau bertemu denganmu lagi. Aku tak mau keluargaku dicemarkan olehmu. Aku ingin kau lenyap dari kehidupanku!"
Angie terkejut.
"Jadi selama ini... kau membencinya hanya karena omongan orang?"
"Omongan orang bisa membunuh lebih kejam daripada pisau.”
Mbah Rukmini menyeringai.
"Dan aku tidak mau mati karena cucuku sendiri."
Rojak yang sedari tadi diam mulai berbicara.
"Itu saja alasanmu? Hanya karena takut dengan pendapat orang?"
"Awalnya, ya," jawab Mbah Rukmini.
"Tapi kemudian aku berhutang banyak pada seorang rentenir. Aku mempelajari ilmu hitam untuk menyingkirkannya. Semakin dalam aku masuk ke dunia ini, semakin aku sadar... kau juga harus lenyap, Vina. Kau adalah kutukan bagiku!"
Vina menatap neneknya dengan mata yang mulai memerah.
"Lalu... kenapa kau juga ingin membunuhku juga?" tanya Rojak.
Mbah Rukmini menyeringai.
"Karena ada yang membayarku untuk itu. Rizal."
Rojak dan Angie terkejut mendengar nama itu.
"Jadi... Rizal menyewamu untuk membunuhku?" tanya Rojak tajam.
“Rizal... Ternyata kamu se-brengsek ini...”kata Angie.
"Ya. Tapi ada masalah... karena Rizal selalu saja menghalangi langkahku untuk membunuh kalian berdua. Itu membuat rencanaku harus tertunda berkali-kali."
Vina menggigit bibirnya. Ia tak tahu harus berkata apa. Kemarahan dan kesedihan bercampur dalam dirinya. Dengan suara bergetar, ia berkata.
"Nenek...."
"Tutup mulutmu!" Mbah Rukmini mendesis marah.
"Aku muak melihatmu! Aku akan mengakhiri semuanya sekarang juga!"
Dengan gerakan cepat, Mbah Rukmini mengayunkan tangannya, mengirimkan gelombang energi hitam ke arah Vina. Namun sebelum serangan itu mengenai sasarannya, Rojak melompat ke depan, menangkisnya dengan tangan kosong.
“Wusna sangkalus ing wisa!”teriak Rojak yang kemudian berubah menjadi Regulus.
"Kau tidak akan menyentuhnya." ujar Regulus dengan suara dalam yang menggema.
Mbah Rukmini menyeringai.
"Mari kita lihat siapa yang lebih kuat, bocah Regulus."
Pertarungan besar pun tak bisa dihindari.
Bersambung