Setelah bercerai, lalu mengundurkan diri sebagai seorang Ajudan pribadi. Akhirnya pria yang akrab disapa 'Jo' itu kembali menerima sebuah tawaran pekerjaan dari Denis yang tak lain adalah temannya saat sejak masih SMA.
Dia yang biasanya mengawal wanita-wanita paruh baya, seorang istri dari beberapa petinggi. Kini dia di hadapkan dengan seorang gadis keras kepala berusia 20 tahun, Jasmine Kiana Danuarta. Sosok anak pembangkang, dengan segala tingkah laku yang membuat kedua orang tuanya angkat tangan. Hampir setiap Minggu terkena razia, entah itu berkendara ugal-ugalan, membawa mobil di bawah pengaruh alkohol, ataupun melakukan balapan liar. Namun itu tak membuatnya jera.
Perlahan sifat Kiana berubah, saat Jo mendidiknya dengan begitu keras, membuat sang Ayah Danuarta meminta sang Bodyguard pribadi untuk menikahi putrinya dengan penuh permohonan, selain merasa mempunyai hutang budi, Danu pun percaya bahwa pria itu mampu menjaga putri semata wayangnya dengan baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai beraksi.
Seperti hari-hari biasanya. Jovian bangun tidur lebih awal, meskipun pria itu sudah diberitahu Danu jika hari ini akan lebih santai karena gadis yang berada di dalam pengawasannya sedang tidak ada kelas, sehingga membuat Kiana tidak akan pergi kemana-mana, dan itu cukup bagus agar dirinya bisa lebih menikmati waktu luang.
Jovian keluar dari unit miliknya, memasuki lift dan menekan tombol paling atas untuk mendatangi tempat gym yang memang berada disana. Kaos hitam tanpa lengan, dengan celana pendek. Tak lupa ear phone yang sudah menempel di telinganya, memutarkan gendre musik yang Jovian sukai.
Ting!!
Pintu lift terbuka dengan sangat perlahan-lahan. Kakinya melangkah keluar, mendekati tempat yang sudah cukup ramai meski jam baru saja menunjukan pukul tujuh pagi hari.
Volume musik terdengar begitu kencang, menyambut kedatangan Jovian di pagi hari ini, karena memang biasanya tempat itu selalu sepi dan tidak seramai saat ini.
Beberapa wanita menoleh ketika menyadari kehadirannya, mereka tersenyum juga berbisik-bisik. Namun Jovian tidak mau terpengaruh, dia terus berjalan ke arah sudut ruangan itu, untuk meletakan tas kecil yang dibawa olehnya, berisikan ponsel, Tumbler berisi susu protein, dan handuk kecil.
Jovian mulai melakukan pemanasan. Tahap awal sebelum dia berlari diatas treadmill, dan mengangkat beban untuk melatih otot-otot tubuhnya.
***
Satu jam berlalu.
Wajah memerah, keringat bercucuran begitu deras, dengan nafas memburu dan tersengal-sengal ketika Jovian baru saja selesai melatih beberapa bagian otot tubuhnya. Jovian meraih Tumbler dan handuk kecil yang dia bawa, duduk di lantai begitu saja, kemudian menunduk berusaha menetralkan pernapasannya.
"Eheum!" Seorang wanita cantik dengan postur tubuh yang terlihat ideal mendekat.
Jovian yang hendak meminum susu protein nya pun berhenti seketika, kemudian menengadahkan pandangan.
Set pakaian olahraga berwarna merah muda, memperlihatkan kemolekan nya di hadapan Jovian. Perempuan itu tersenyum, seraya mengulurkan tangannya.
"Emmmm, … boleh kenalan? Aku Mayden." Katanya dengan senyum manis yang dia perlihatkan.
Sementara ekspresi wajah Jovian datar seperti biasanya.
"Aku, … member baru. Lagi cari temen soalnya masih awam banget." Katanya lagi.
Jovian meraih ukuran tangan itu, kemudian menjawab;
"Jovian." Balasnya singkat padat dan jelas.
"Boleh duduk?"
"Silahkan saja kalau tidak keberatan mendekati orang berkeringat."
"Tidak masalah, aku juga berkeringat. Baru selesai treadmill." Wanita itu terus menjawab, seolah mencari celah agar pria tampan di sampingnya terus berbicara.
Mereka duduk berdampingan. Dengan Jovian yang fokus dengan minumannya.
"Kamu, pemilik unit disini juga?" Dia memulai lagi.
Jovian melirik sekilas, lalu mengangguk.
"Oh ya? Di lantai berapa? Aku juga sudah dua bulan tinggal disini, dan baru pertama kali masuk Gym."
"Lantai sepuluh."
"Wah beda dua lantai sama aku." Wajahnya berbinar.
"Lantai dua belas?" Jovian menebak.
Wanita itu menggelengkan kepala.
"Delapan." Katanya dengan bibir yang tak hentinya memperlihatkan senyuman merekah.
Jovian mengangguk lagi, dan terdiam setelahnya. Pria itu terlihat malas, tapi apa boleh buat dia harus melakukannya agar dapat mempunyai beberapa teman wanita, setidaknya agar dapat mengalihkan pikirannya terhadap Diana yang akhir-akhir ini selalu mengganggu pikirannya.
Ya, seperti yang Denis katakan. Bahwa sudah saatnya dia membuka hati untuk wanita lain.
"Kapan-kapan mampir ke unit aku. Di 8f!"
Wanita itu bangkit.
"Aku kembali kesana lagi, bye!" Mayden melambaikan tangan, kemudian pergi.
Sementara Jovian tidak melakukan apapun selain memutar kedua bola matanya.
"Wanita jaman sekarang lebih berani. Berbeda dengan jaman dulu yang selalu terlihat malu-malu untuk memulai semuanya … seperti Diana." Gumamnya tanpa menyadari apa yang dia katakan.
Jovian segera bangkit setelah beristirahat beberapa saat. Berniat pergi, sebelum dering ponsel menghentikan niatnya.
"Siapa?" Kening Jovian menjengit ketika ada nomor baru yang masuk melakukan panggilan telepon.
"Ya halo?" Sapa Jovian terlebih dulu.
"Ini aku Om." Suara itu terdengar sangat ceria.
Dan tentu saja membuat Jovian semakin mengernyitkan kening.
"Kiana mau keluar Om. Kata Papa aku harus minta Om buat ikut, … maaf ya ganggu libur Om, tapi aku di suruh Papa."
"Papamu ada disana?" Jovian bertanya penuh selidik.
"Tentu saja, Om!" Gadis itu terkekeh pelan.
Kaki Jovian kembali melangkah, mendekati sebuah pintu keluar.
"Berisik sekali Om? Om lagi liburan yah? Ah Om Jo Nggak bisa nganter Pah, lagi di luar."
Gadis itu berteriak, berbicara dengan ayahnya.
"Saya bisa, tunggu satu jam. Saya baru saja selesai olahraga. Jangan mengada-ada kamu!"
"Nggak apa-apa Om kalau nggak bisa, kata Papa boleh kok keluar kalau Om emang lagi di luar. Maaf ya Om aku ganggu hari liburnya."
Dan setelah itu sambungan telepon Kiana putuskan sepihak.
"Ahh, … dia mulai berulah!"
Jovian segera berlari mendekati pintu lift, menekan dan menunggunya beberapa saat, kemudian masuk setelah pintu besi itu terbuka.
***
"Boleh ya Pahh!?" Kiana memohon.
Danu tidak menjawab. Pandangannya terus tertuju kepada layar laptop yang menyala, memeriksakan beberapa dokumen yang dikirimkan oleh orang kepercayaannya.
"Pah!?"
"Besok kamu masih libur, Kia. Tunggu besok kalau memang sekarang Jovian tidak bisa mengantar karena satu dan lain hal." Kata Danu tanpa mengalihkan pandangannya.
"Tapi Pah, aku mau jalan sama anak-anak."
Mata Danu melirik tajam, yang seketika membuat Kiana mengatupkan mulut dan berhenti berbicara.
"Ingat kata Papa apa?" Danu berujar.
"Pergi dengan Om Jo, atau tidak sama sekali." Ucap Kiana.
Danu mengangguk dengan bibir tersenyum.
"Itu ingat, terus kenapa masih memaksa?"
"Tapi kan Om Jo nya nggak bisa, dia lagi di luar Pah. Jadi biarkan aku pergi sendiri kali ini. Nggak macem-macem kok janji." Dia mengangkat dua jarinya.
Kiana menatap sang ayah penuh permohonan. Dan tentu saja ketika melihat itu Danu tidak tega. Tapi bukankah Kiana sudah sangat menurut kepada dirinya, bahkan dia sudah berusaha menghubungi Jovian? Lalu kenapa dia masih tidak bisa mengizinkan sementara yang terkendala disini pria itu.
"Pah? Janji nggak nakal!"
"Benar Jovian tidak bisa?"
"Iya, tadi bilang begitu."
Danu menghela nafasnya.
"Baiklah, tapi janji tidak melakukan apapun yang membahayakan dirimu. Coba Denis sedang tidak Papa kirim ke Kalimantan, … mungkin dia Papa panggil untuk menemani kamu."
"Jadi bagaimana?"
"Baik. Jam enam sore sudah harus di rumah, tanpa pengecualian."
Sesuatu di dalam diri Kiana ingin menolak, rasanya ingin kembali merengek meminta kelonggaran. Namun dia sadar, jika dirinya sedang menjadi gadis penurut dan baik hati.
"Terimakasih, Papa!"
Kiana mendekat, menghambur memeluk ayahnya, dan tak lupa memberikan kecupan basah di pipi sang ayah dengan gemas, membuat pria itu terkekeh kencang.
"Eh iya, aku lupa. Kartunya di pegang Om Jovian!"
Danu membuka laci di meja kerjanya, mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah, dan memberikannya kepada Kiana dengan sukarela.
"Satu juta cukup?"
"Cukup, untuk makan-makan saja."
"Baiklah. Selamat bersenang-senang dengan teman-temanmu. Ingat! Jangan melakukan apa yang akan membuat dirimu bahaya, dan Papa kecewa."
"Iya iya." Kiana mendekat lagi, dia kembali mencium pipi ayahnya, kemudian keluar dari ruang kerja ayahnya.
"Aku pergi ya Pah, … Ma, … dahhh!" Teriak Kiana sambil berlari ke arah pintu utama yang terbuka sangat lebar.
Sementara Herlin berdiri mematung di lantai dua, menatap punggung putrinya yang pergi semakin menjauh dengan penampilan rapih namun sedikit terbuka. Kiana terus berlari bahkan sebelum ibunya turun dan berpamitan langsung.
"Anak itu!" Herlin menggeleng-gelengkan kepalanya.