Berawal dari kesalahan yang Faiz Narendra lakukan di masa lalu, membuat hidup Keluarga Narendra terancam bahaya.
Berbagai teror, dan rentetan penyerangan dilakukan secara diam-diam, oleh pelaku misterius yang menaruh dendam kepadanya.
Namun bukan hanya pelaku misterius yang berusaha menghancurkan Keluarga Narendra.
Konflik perebutan pewaris keluarga, yang dilakukan oleh putra sulungnya, Devan Faiz Narendra, yang ingin menjadikan dia satu-satunya pewaris, meski ia harus membunuh Elvano Faiz Narendra, adik kandungnya sendiri.
Sedangkan Elvano yang mulai diam-diam menyelidiki siapa orang yang meneror keluarganya. Tidak sengaja dipertemukan, dengan gadis cantik bernama, Clarisa Zahra Amanda yang berasal dari keluarga sederhana, dan kurang kasih sayang dari ayahnya selama hidupnya.
Ayah Clarisa, Ferdi tidak pernah menyukai Clarisa sejak kecil, hanya karena Clarisa terlahir sebagai anak perempuan. Ferdi lebih menginginkan bayi laki-laki untuk meneruskan keturunannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laksamana_Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Wulan sedang sibuk mencuci baju di belakang rumahnya. Dengan kain basah yang digosok-gosoknya dengan penuh semangat, ia mencoba membersihkan noda yang membandel dari pakaian keluarganya.
Tok
Tok
Tok
Suara ketukan pintu membuat Wulan menoleh. Ia meletakkan ember dan sikat cucinya ke tepi, dan menyeka keringat yang membasahi dahinya. Langkahnya tergesa-gesa menuju pintu depan.
"Siapa yang datang di jam segini" gumam Wulan Dengan langkah ceria, Wulan membuka pintu, dan tersenyum ramah kepada tamu yang datang.
Namun senyumnya langsung membeku, ketika ia melihat siapa yang berada di hadapannya.
"Ibu, apa yang membawa ibu kesini? tanya Wulan spontan dengan sedikit gugup, ketika melihat orang yang datang itu adalah Ajeng, ibu mertua Wulan.
"Ya suka-suka saya lah, ini kan rumah anak saya" jawab Ajeng dengan nada yang tidak suka membuat Wulan menghela nafas.
"Maaf bu, silahkan masuk" ucap Wulan sembari ingin mencium tangan ibu mertuanya, namun Ajeng menarik kasar tangannya dan langsung masuk kedalam rumah
Sekali lagi Wulan hanya bisa menghela nafas, dan mengikuti langkah kaki ibu mertuanya.
Ini bukan pertama kalinya ibu mertuanya bersikap seperti ini. Pertemuan mereka selalu diwarnai oleh ketegangan yang tak kunjung usai.
Dari awal pernikahan, Ajeng memang tidak merestui hubungan antara anaknya, Ferdi dengan Wulan. Ia sama sekali tidak menyukainya, karena Ajeng merasa bahwa Wulan tidak pantas menjadi menantunya.
Namun, Ferdi begitu mencintai Wulan dan memohon kepada Ibunya untuk merestui hubungan mereka.
Setelah beberapa bulan melihat betapa bahagianya Ferdi bersama Wulan, akhirnya Ajeng merasa terpaksa untuk setuju pada pernikahan mereka.
Lambat laun, dia mulai menerima keberadaan Wulan menjadi bagian dari keluarganya.
Apalagi ketika Wulan mengumumkan bahwa dia sedang mengandung, Ajeng merasa senang akhirnya akan memiliki cucu.
Namun, kebahagiaan Ajeng runtuh ketika dia mengetahui bahwa bayi yang dilahirkan oleh Wulan adalah seorang perempuan. Ajeng merasa kecewa dan marah pada Wulan.
Dia merasa bahwa kehadiran seorang cucu perempuan tidak akan memberikan kebanggaan pada keluarganya.
Bukan cuma Ajeng, Ferdi juga merasa sangat kecewa menerima kelahiran bayi perempuan itu.
Bagi mereka berdua, sebuah garis keturunan yang kuat adalah hal yang sangat penting.
Sikap tidak suka Ajeng terhadap Wulan mulai muncul kembali. Dia mulai menunjukkan ketidaksukaannya dengan sikap dingin dan jarak yang diajarkan kepada Wulan.
Wulan merasa sedih dan kecewa karena dia sudah berusaha sebaik mungkin untuk bisa diterima oleh Ajeng, namun semua terasa sia-sia
Mereka duduk satu sama lain dengan jarak yang agak jauh. Udara terasa begitu tegang di antara mereka.
Wulan mencoba untuk memulai percakapan dengan berbagai pertanyaan sederhana, namun jawaban dari Ajeng selalu singkat dan tanpa ekspresi yang jelas.
"Ibu apa kabar, sehat kan?"tanya Wulan
"Kamu gak buta kan? Bisa liat saya sehat apa enggak" balas Ajeng emosi.
"Maaf, bu" balas Wulan yang saat ini sangat tertekan jika berbicara dengan ibu mertuanya, karena setiap kata dan tindakannya selalu salah di mata Ajeng.
"Ibu mau dibikinin minuman apa?" tanya Wulan berusaha mengambil hati ibu mertuanya, namun sayang balasan Ajeng yang terkesan judes harus ia terima sekali lagi.
"Gak usah pakek segala di tawarin,kalau mertua dateng tuh langsung disediain. Apa harus gitu, saya ngemis-ngemis minta dibikinin minum" judes Ajeng tanpa berpikir jika kata-katanya bisa membuat Wulan merasa sakit hati.
"Baik bu, sebentar aku bikinin minuman dulu" pamit Wulan namun terhenti mendengar perkataan Ajeng.
"Gak usah, udah ilang hausnya" ucap Ajeng membuat Wulan menghela nafas mencoba bersabar, bagaimana pun orang yang ada di depannya ini adalah ibu mertuanya.
Wulan memilih diam dan membuat suasana hening terasa begitu menguasai ruangan.
Wulan merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh ibu mertuanya. Namun, dia tidak berani bertanya lebih jauh karena takut akan menyinggung perasaan Ajeng
Sementara Ajeng masih duduk di ruang tamu, sambil memandang tajam menantunya. Wajah Ajeng penuh dengan kedongkolan, dan kekesalan saat melihat, bagaimana Wulan tidak mampu mengurus Ferdi dengan baik.
"Kamu itu bisa gak sih, jadi istri yang becus?". tanya Ajeng dengan nada marah
"Maafkan saya, Bu. Saya sudah berusaha semampu saya untuk mengurus Mas Ferdi dengan baik," ucap Wulan sambil menundukkan kepala.
Ajeng menatap Wulan dengan tatapan tajam, ekspresinya penuh dengan kekecewaan. "Sudah berusaha semampumu?"
"Tapi lihatlah anakku, dia semakin kurus dan tidak terurus. Kamu seharusnya bisa menjaga suamimu dengan baik, bukannya malah membuatnya seperti ini!" bentak Ajeng dengan suara tinggi.
Wulan merasa tertohok dengan perkataan Ajeng. Sejak dua bulan belakangan ini, suaminya memang terlihat semakin lesu dan kurang semangat. Wulan sudah berusaha mencari tahu penyebabnya, tetapi Ferdi selalu menutup rapat diri dan tidak mau bercerita.
“Maafkan saya, Bu. Saya akan berusaha lebih keras lagi untuk menjaga Ferdi dengan baik,” jawab Wulan dengan suara gemetar.
Ajeng menyeringai sinis, “Sudah terlambat untuk menyesali diri sekarang. Kamu belum pantas menjadi istri anakku. Aku merasa menyesal telah menikahkan Ferdi denganmu.”
Wulan merasa semakin terpojok. Dia merasa tidak ada jalan keluar dari situasi ini. Dia mencoba menjelaskan lagi bahwa dia sudah berusaha sebaik mungkin, namun Ajeng tetap tidak terima dan terus mencacinya
"Ibu tidak bisa menghakimi saya begitu saja, Bu. Saya juga manusia, saya punya keterbatasan. Kalau ibu merasa saya tidak mampu, tolong beri saya kesempatan untuk belajar,” ucap Wulan dengan suara lembut
Ajeng terdiam sejenak, matanya masih menatap tajam Wulan. “Kamu merasa pantas menyuruhku memberimu kesempatan? Apakah kamu pikir aku akan percaya padamu setelah melihat keadaan anak ku?”
Wulan merasa semakin gugup. Dia merasa semakin tertekan dengan situasi ini. Dia sudah mencoba semampunya untuk tetap tenang dan sabar meskipun hatinya sedang hancur.
“Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud membuat Ferdi seperti ini. Saya akan berusaha lebih keras lagi,” ucap Wulan dengan suara lemah.
Ajeng menghela nafas panjang, ekspresinya sedikit melunak. “Baiklah, saya akan beri kamu kesempatan untuk membuktikan dirimu. Tapi kamu harus ingat, tanggung jawab sebagai seorang istri adalah hal yang harus kamu lakukan dengan sepenuh hati.”
Wulan mengangguk pelan, dia merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu meskipun masih merasa gelisah dengan kondisi pernikahannya. Dia tahu bahwa dia harus berjuang lebih keras agar bisa mendapat pengakuan dari Ajeng.
gak bisa berkata kata banyak