**"Siapa sangka perempuan yang begitu anggun, patuh, dan manis di depan Arga, sang suami, ternyata menyimpan sisi gelap yang tak pernah ia duga. Di balik senyumnya yang lembut, istrinya adalah sosok yang liar, licik, dan manipulatif. Arga, yang begitu percaya dan mencintainya, perlahan mulai membuka tabir rahasia sang istri.
Akankah Arga bertahan ketika semua topeng itu jatuh? Ataukah ia akan menghancurkan rumah tangganya sendiri demi mencari kebenaran?"**
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
lima tahun kemudian
Lima tahun berlalu sejak aku menerima pinangan Wijaya. Hidupku kini berpusat pada keluarga kecil yang telah kami bangun bersama. Putraku, Alvaro Kusuma, adalah segalanya bagiku. Wajahnya yang tampan dan senyumnya yang manis begitu mirip denganku, hingga setiap kali aku menatapnya, aku merasa diberkahi oleh cinta yang tulus dan tak tergantikan.
Alvaro adalah cahaya dalam hidupku. Dia selalu mengisi hari-hariku dengan tawa, keceriaan, dan kehangatan yang sulit dijelaskan. Jika sebelumnya aku merasakan kehampaan, kehadirannya perlahan menutup ruang-ruang kosong itu.
Wijaya berubah menjadi ayah yang luar biasa. Dia begitu memanjakan Alvaro, sering membawa kami liburan, dan tidak pernah sekalipun membiarkan kami merasa kekurangan. Aku menghargai setiap usaha yang dilakukannya untuk menjaga keluarga ini tetap utuh.
Namun, di balik semua itu, ada hal yang tidak bisa kuabaikan. Rasa bersalah itu masih menghantui—tentang perasaan yang belum sepenuhnya kuberikan padanya. Wijaya selalu menjadi suami yang baik, tetapi aku masih berusaha sepenuh hati untuk mencintainya seutuhnya, seperti seharusnya seorang istri mencintai suaminya.
Kadang, di tengah malam saat Alvaro sudah terlelap, aku duduk sendiri di balkon rumah kami yang besar. Aku menatap bintang-bintang di langit, bertanya-tanya apakah Arga juga melihat langit yang sama. Lima tahun telah berlalu, dan aku masih tidak tahu di mana dia berada.
“Arga...” Nama itu tidak lagi kurapal dengan sakit seperti dulu, tetapi tetap ada rasa getir yang sulit diabaikan. Apakah dia telah menemukan kebahagiaannya? Apakah dia sudah melupakan aku?
Hari-hariku kini penuh dengan tanggung jawab sebagai seorang ibu dan istri. Meski kadang aku merasa ada hal yang hilang, aku belajar untuk bersyukur. Aku memiliki Wijaya yang begitu baik, dan Alvaro, anak laki-laki yang menjadi kebanggaanku.
Aku sadar bahwa hidup terus berjalan, dan waktu tidak akan pernah berhenti untuk siapa pun. Bagiku, Alvaro adalah simbol kehidupan baru. Mungkin aku tidak bisa sepenuhnya melupakan masa lalu, tetapi aku tahu bahwa aku harus terus melangkah ke depan. Untuk putraku, untuk suamiku, dan untuk diriku sendiri.
Di dalam hatiku, aku selalu berdoa. Jika takdir menginginkan aku bertemu dengan Arga lagi, aku hanya berharap pertemuan itu akan membawa jawaban atas segala pertanyaan yang selama ini tersimpan di hati. Tetapi jika tidak, aku siap menerima apa pun yang telah Tuhan rencanakan untukku.
--
Arga melangkah dengan mantap menuju kafe yang dulu menjadi simbol perjuangan Mentari. Langkah-langkahnya terhenti ketika seorang bocah kecil berlari dengan tergesa-gesa hingga menabrak tubuhnya. Bocah itu jatuh dan menangis. Arga langsung berjongkok, mencoba menenangkan bocah itu.
“Hei, tenang ya. Kamu baik-baik saja?” ucapnya lembut.
Bocah itu mengusap matanya yang basah. Namun sebelum Arga bisa bertanya lebih lanjut, sebuah suara yang sangat ia kenal menggema di udara.
“Alvaro, sayang! Jangan lari-lari…”
Arga menoleh, dan waktu seolah berhenti. Di hadapannya berdiri Mentari, perempuan yang selama ini ia cari. Wajahnya masih seindah yang ia ingat, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Ekspresi panik di wajah Mentari berubah menjadi keterkejutan.
“Arga…” suara Mentari terdengar lemah, seakan keluar dengan berat dari bibirnya.
“Mentari…” Arga membalas lirih, menatapnya dengan pandangan penuh pertanyaan dan luka. Matanya lalu kembali ke bocah kecil yang kini memegang tangan Mentari. “Dia… anakmu?”
Mentari terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Namanya Alvaro,” jawabnya sambil menggenggam erat tangan anak itu.
Hati Arga terasa seperti dihantam palu. Sesak yang luar biasa melanda dadanya. Wajah bocah itu begitu mirip dengan Mentari—sebuah kenyataan yang membuat luka di hatinya semakin dalam.
“Aku kira kamu menungguku,” kata Arga akhirnya dengan suara serak, tatapannya tetap terpaku pada Mentari.
Mentari menghela napas panjang, air mata menggantung di sudut matanya. “Aku tidak bisa menunggu selama itu, Arga. Kamu pergi tanpa kabar, tanpa pesan. Aku menunggumu selama satu tahun… tapi kamu tidak pernah kembali. Aku pikir kamu tidak akan pernah kembali.”
Arga menggeleng pelan, rasa sakit begitu jelas di matanya. “Aku pergi untuk memperbaiki hidupku, Mentari. Untuk memperbaiki semua yang hancur saat itu. Aku kembali karena aku pikir kita masih punya kesempatan…”
“Maafkan aku,” potong Mentari dengan suara lirih, penuh rasa bersalah. “Aku tidak tahu apa lagi yang bisa kulakukan. Aku mencoba bertahan, tapi… aku juga harus melanjutkan hidupku.”
Arga terdiam, menunduk dalam keheningan. “Jadi… inilah akhirnya? Setelah semua yang kita lalui, aku hanya bisa melihatmu dari jauh, hidup bahagia dengan orang lain?”
Mentari tidak bisa berkata apa-apa. Air matanya mulai mengalir, sementara hatinya terasa dihimpit oleh rasa bersalah yang dalam.
“Kamu bahagia?” tanya Arga tiba-tiba, suaranya terdengar getir namun tulus.
Mentari terdiam sesaat sebelum menjawab, “Aku mencoba bahagia, Arga.”
Arga mengangguk pelan, menatap bocah kecil di samping Mentari. Ia berjongkok, menyentuh bahu anak itu dengan lembut. “Jaga ibumu baik-baik, ya, Nak. Dia perempuan hebat.”
Dengan itu, Arga berdiri dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi. Setiap langkahnya terasa berat, meninggalkan jejak luka yang tak akan pernah hilang.
POV Arga
Lima tahun. Waktu yang terasa panjang, namun sekaligus begitu singkat. Selama itu, aku terus bekerja keras, berjuang membangun hidup yang lebih baik. Aku ingin menjadi pria yang pantas untuk Mentari, wanita yang selalu kucintai dengan segenap jiwa.
Aku pikir dia akan menungguku. Aku pikir cintanya cukup besar untuk memahami kepergianku, untuk bersabar menantiku kembali. Tapi aku salah.
Setiap malam, aku teringat senyumnya, caranya memandangku dengan penuh kasih. Itu menjadi kekuatan sekaligus penyesalan terbesar dalam hidupku. Aku pergi tanpa pesan, tanpa kabar. Aku yakin saat itu adalah keputusan yang benar, agar aku bisa memberinya kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Tapi kini aku sadar, aku terlalu egois. Aku mengharapkan dia menungguku tanpa memberinya alasan untuk bertahan. Aku meninggalkannya dengan penuh harapan, namun tanpa kepastian.
Ketika aku melihatnya hari ini, hatiku seakan dihantam ribuan duri. Dia berdiri di sana, masih secantik yang selalu kuingat, tetapi ada kehangatan lain di matanya—kehangatan yang bukan untukku. Dan bocah kecil itu... anaknya.
Saat aku mendengar dia memanggil bocah itu dengan lembut, memanggilnya "sayang," sesuatu dalam diriku hancur berkeping-keping. Itu bisa saja anakku, keluargaku, jika saja aku tidak begitu bodoh meninggalkan semuanya.
Aku tidak bisa menyalahkannya. Aku yang pergi, aku yang menghilang. Tetapi aku tidak pernah berhenti berharap, bahkan hingga hari ini, bahwa aku masih ada di sudut hatinya. Namun nyatanya, waktu telah merenggut semua itu dariku.
Aku ingin marah, tapi kepada siapa? Kepadanya? Tidak. Dia hanya memilih untuk bertahan di tengah ketidakpastian yang kuciptakan sendiri. Kepada diriku? Mungkin. Karena keputusanku untuk pergi tanpa kata membuatku kehilangan segalanya.
Sekarang, aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, bersama bocah kecil itu. Hidupnya sudah bahagia, dan aku tidak lagi menjadi bagian dari cerita itu.
Lima tahun aku pergi, dan aku pulang untuk menyadari bahwa aku sudah terlambat.
semangat Thor